Semangkuk Tinutuan

Semangkuk Tinutuan

"Karena mi itu karbo olahan, merusak gizi dan natural-nya Tinutuan!" protesku setengah cemberut. 

Papaku tertawa meringis, "Kase kaluar jo depe mi!" sahutnya dengan logat Manado yang kental. 

"Iyo!"  Sambil menggerutu aku memindahkan mie dari mangkuk Tinutuanku ke piring lain. Sungguh aku tidak habis pikir kebiasaan orang Manado zaman sekarang yang suka mencampur  masakan bubur Manado dengan mie 

"Atau mo beli baru jo for ngana?" tanya Papaku dengan nada suara yang lembut. 

Jika aku iyakan serta mengangguk maka tubuh tua itu berusia tujuh puluh sembilan tahun itu pasti akan berjalan lagi ke warung Tinutuan demi aku. Beliau selalu memanjakan setiap aku datang dari Jakarta. 

Jarak dari rumah Papa ke warung itu memang hanya sekitar lima ratus meter, tetapi sudah bukan umurku lagi untuk bersikap merajuk seperti itu. Aku tidak tega.

"Tidak usah, Papa, ini masih bisa dimakan kok," ucapku seraya mengulas senyum. 

Semangkuk Tinutuan hangat kunikmati dengan syukur sepenuh hati. Seporsi menu sederhana berlimpah cinta dari Papa. 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.