Uang yang tumbuh di pohon
![Uang yang tumbuh di pohon](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_6099c9a4b1c9d.jpg)
Entahlah bagaimana ada anggapan dari saudara-saudaraku atau teman-temanku, kalau tinggal di luar negeri identik dengan kekayaan yang berlimpah dan hidup yang selalu berkecukupan. Bahwa uang bisa didapatkan dengan sangat mudah tinggal memetik di pohon di belakang rumah.
Tidak tahukah mereka bahwa hidup di negeri orang amat sangat berat. Tidak ada saudara yang tinggal dekat rumah, tidak ada asisten rumah tangga yang selalu siap membersihkan rumah dan menyiapkan makanan.
Hidup di negeri orang menuntut kita untuk mandiri dan tegar menghadapi apa saja.
Bagaimana dulu aku harus bisa hidup satu bulan dengan uang dua puluh dolar saja, karena uang yang lain habis untuk membayar sewa apartemen dan membayar listrik.
Untuk penambah biaya hidup aku kerja mengantar koran. Bangun jam setengah tiga pagi, aku gendong anakku yang masih berumur lima tahun. Dia tidur di mobil, aku bekerja. Waktu itu statusku single parent.
Kalau aku mengantar koran ke satu panti jompo, anakku aku baringkan di sofa di ruang tamu bangunan itu. Dan aku mengantar koran kesetiap kamar di tiga lantai bangunan itu.
Aku menabung uangku selama setahun supaya bisa membeli tiket pulang pergi ke Indonesia. Waktu itu bapak ibuku masih ada. Jadi setiap tahun aku usahakan untuk pulang ke Indonesia. Biaya tiket sekitar lima belas juta rupiah pada waktu itu. Dan aku sediakan uang saku lima juta rupiah.
Aku tidak pernah menceritakan berat dan susahnya hidup pada bapak ibuku. Aku hanya mohon doa restu mereka supaya segala usaha dan pekerjaanku lancar.
Selama delapan tahun aku jalani kerja mengantar koran setiap pagi dari jam tiga pagi sampai jam lima pagi. Kemudian aku tidur sebentar. Jam sepuluh aku berangkat ke pekerjaanku di bidang kosmetik pada satu departemen store terkenal di kotaku.
Dari penghasilan mengantar koran aku bisa pulang setiap tahun. Sedangkan dari kerjaku di kosmetik gajiku untuk membayar sewa apartemen dan untuk kami berdua hidup.
Setelah aku menikah lagi, kehidupan kami semakin membaik. Setiap bulan Juli suamiku pulang ke Eropa menengok orang tua dan saudara-saudaranya. Aku pulang ke Indonesia bulan Agustus atau September.
Tetapi karena perombakan kebijakan pada tempat kerjaku, di seluruh Amerika posisi Brand Manager kosmetik di departemen store ini ditiadakan. Aku mendapat pesangon dan uang setiap bulan dari pemerintah Amerika selama dua tahun karena pemutusan hubungan kerja ini.
Pada tahun itu aku bisa ikut suamiku mengunjungi keluarganya di Jerman dan Bosnia. Anakku tidak bisa ikut karena dilarang pengadilan untuk pergi keluar Amerika, berdasarkan keputusan surat perceraianku dengan ayah anakku.
Kemudian kami memutuskan untuk membeli rumah sendiri, karena sudah beberapa tahun kami hanya menyewa apartemen. Aku sudah bekerja lagi, tetap di bidang perawatan kulit. Dari rumah ketempat kerjaku hanya memakan waktu dua puluh menit lewat highway.
Karena kerjaku di industri retail terutama penjualan kosmetik, yang penting adalah hasil penjualan. Aku sering stress juga apalagi mendekati akhir bulan, kalau target penjualan belum tercapai alamat bakal dipanggil ke kantor manajer.
Tetapi setiap pekerjaan selalu ada masa naik turun. Karena pekerjaan suamiku di bidang engineering pun, stressnya berbeda dengan bisnis retail.
Bagaimanapun juga rumah kami yang dikelilingi beberapa pohon oak yang besar-besar, bisa memberi kami ketenangan dan kenyamanan di luar hiruk pikuk pekerjaan. Rumah kami menjadi oasis pada waktu jiwa kami lelah dan memerlukan setitik air.
Beberapa pohon murbei dan pohon oak yang kecil-kecil di belakang rumah tidak berdaun uang. Kami memetik uang dari perasan keringat kami bekerja keras lima hari dalam seminggu. Ternyata di Amerika uang tidak tumbuh di pohon seperti anggapan beberapa orang yang aku kenal.
***skc***
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.