L U G U
SARAH.SAHABAT.SELINGKUH ............

Akibat dari pesan Ibu terakhir, pikiranku jadi agak terganggu. Terus terngiang beberapa pertanyaan dalam benakku. Apakah suamiku ini benar orang baik? Benarkah ia sepenuhnya setia padaku? Sejauh ini aku tidak ada rasa secuil pun curiga terhadap Mas Yono, suamiku. Mungkin menurutku, kata selingkuh itu tidak akan pernah hadir dalam kamus hidup Mas Yono. Ia orang yang terlalu baik untuk dapat melakukan sesuatu yang menyakiti hatiku.
***
Sore itu aku sedang duduk berdua dengan Ibu di teras belakang rumah. Kami duduk menghadap taman, memandangi aneka bunga warna-warni yang sedang mekar. Kami juga menikmati hujan gerimis rintik-rintik. Bau tanah dan rumput basah membawa memori indah bagiku. Pada masa kecil aku dengan keempat saudara kandungku sering bermain air di bawah hujan. Berlari-lari. Berteriak-teriak. Tertawa bersama, saling menertawakan satu sama lain bila ada yang jatuh terpeleset.
“Ibu teringat ketika kau dan saudara-saudaramu bermain di bawah hujan,” kata Ibu menyeruput teh hangat Jawa yang sedikit sepat sesuai dengan kesukaannya.
Sambil memuji-muji lupis buatanku, Ibu menanyakan bagaimana keadaan Mas Yono. Aku pun dengan bangga mengabari Ibu kalau suamiku itu baik-baik saja. Aku bercerita kalau hidup perkawinanku sangat bahagia. Tidak ada suatu kekurangan apapun. Aku menyakinkan Ibu kalau Mas Yono sangat menyayangiku. Ibu hanya mengangguk perlahan.
Kemudian Ibu menggeser kursi duduknya, mendekat ke tempat dudukku. Ibu merangkul bahuku dari belakang, sambil mengelus perlahan. Suara ibu terdengar lirih hampir seperti orang berbisik. Meskipun Mas Yono itu orang baik, tapi ibu berpesan agar aku harus tetap berhati-hati menjaga suami. Ibu mengingatkan betapa baik ayah terhadap kami semua. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Tidak ada gelagat yang aneh. Semua serba baik-baik saja ketika itu.
“Sampai pasien perempuan jalang itu datang. Lalu ia mengaduk-aduk rumah tangga kita,” nada suara Ibu mulai naik. Terasa cara Ibu berbicara masih ada dendam.
“Seketika semua hancur berantakan,” kali ini terdengar tekanan suara Ibu sangat berat dan penuh emosi.
Mulutku tertutup rapat, aku seperti kehabisan kata-kata. Hanya tanganku bergerak mengelus-elus paha Ibu.
Tiba-tiba alarm berbunyi keras dari telepon genggamku. Aku pun terbangun. Mimpi yang aneh. Mimpi yang sangat jelas kejadiannya. Membuatku rindu pada almarhumah Ibu. Suamiku masih tertidur lelap. Sengaja aku menatap wajahnya beberapa saat. Entah kenapa tiba-tiba perlahan aku merasakan muncul adanya rasa was-was.
***
Sore hari itu, aku telah mempunyai janji untuk bertemu dengan kedua sahabatku Inge dan Minah. Kami telah bersahabat sejak kami masih duduk taman kanak-kanak. Sampai kini usia kami hampir memasuki kepala empat. Dari waktu ke waktu, kami pasti menyempatkan diri untuk bertemu. Kadang makan siang. Kadang hanya ngopi-ngopi saja.
Kali ini kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang baru buka dekat rumahku. Aku tiba terlebih dahulu. Sengaja aku mencari tempat duduk di luar ruangan, smoking area. Inge perokok berat. Sedangkan aku dan Minah tidak merokok. Nah, aku sudah hafal betul bila Inge tidak dapat merokok ketika ia menikmati kopinya pasti ia akan uring-uringan. Daripada pusing mendengar gerutuannya, lebih baik aku dan Minah mengalah.
Minah mengabari lewat pesan Whatsapp kalau ia terlambat. Ketika aku sedang asyik melihat telepon genggamku, dari sudut mataku, aku dapat menangkap ada sosok orang sedang berjalan. Langkahnya besar-besar, agak tergesa-gesa cara jalannya. Dengan tinggi badan yang hampir mencapai 175 cm dan dengan cepatnya melangkah seakan terasa udara yang ia lewati terbelah dua. Sosok itu berjalan makin mendekat. Betul saja, pundak kananku ada yang menepuk. Aku serta merta menoleh ke arah kiri. Sudah pasti Inge, sapaannya selalu konsisten seperti itu. Arah berdiri dan arah datangnya tepukannya selalu berlawanan.
“Sudah ku duga yang datang itu pasti kamu,” aku berkata sambil berdiri menyambut kedatangannya.
“Iya deh, hebat,” kata Inge singkat.
Langsung Inge memelukku sambil cipika-cipiki.
“Kamu juga hebat, jam segini baumu masih kecut,” aku meledek Inge.
Inge tidak marah, ia tahu betul apa arti kecut yang aku maksud bukan arti asem kecut sesungguhnya. Inge tahu betul kalau aku bukan menghina bau badannya.
Sambil menunggu Minah. Aku dan Inge mulai saling bertukar cerita. Berbeda dengan Inge, Minah datang seperti siluman. Ia muncul dengan tiba-tiba, tanpa terdengar suara sepatu melangkah. Minah langsung duduk. Ia tidak suka dengan tradisi cipika-cipiki, jijik menurutnya.
“Tuh, kalau jalan seperti Minah tanpa suara tau-tau sudah duduk. Inge, kamu tuh harusnya belajar sedikit feminin seperti Minah,” sengaja aku meledek Inge.
Inge hanya tersenyum kecil, sambil sibuk mengeluarkan rokoknya. Walau cara berpakaian dan gerak-geriknya paling tomboi diantara kami bertiga, Inge selalu berdandan rapi. Ia suka memakai anting besar dan kalung panjang. Aku selalu kagum dengan cara ia berdandan.
Dari awal pertemuan kali ini, aku sudah tidak sabar untuk menceritakan mimpi bertemu dengan almarhumah Ibu. Juga dengan spontan aku menceritakan kegelisahan hatiku akhir-akhir ini. Aku takut kalau Mas Yono itu selingkuh.
Inge dengan sigap mengatakan buat apa curiga. Mimpi adalah mimpi. Jangan bodoh menurutnya. Ia mengatakan hidupku bisa hancur hanya gara-gara termakan oleh sesuatu yang tidak nyata adanya. Berulang kali ia menasehatiku untuk melupakan semuanya.
“Hidupmu itu di sini, Sarah,” Inge sedikit geregetan berkata sambil mengetuk jari telunjuknya berulang kali di atas meja.
“Bukan di alam mimpi,” lanjutnya.
“Iya,” jawabku.
Lalu Minah mulai dengan komentar-komentarnya. Ia berbicara dari sudut lain. Menurut Minah, suamiku itu orang baik, taat pada agama, suka menolong, dan sangat perhatian. Kali ini aku menanggapi Minah dengan agak membantah. Ayahku dulu juga persis seperti lelaki yang apa Minah gambarkan. Tidak ada yang mengira kalau ia sebagai dokter kandungan yang terhormat bisa menghianati keluarganya dengan sangat berdarah dingin. Ayah meninggalkan kami tanpa pamit.
Dengan singkat aku mengingatkan kembali, bagaimana Ibu dan kelima anaknya sangat terpukul dengan keputusan ayah yang sepihak. Pada saat itu, kami semua benar-benar menderita batin karena harus menghadapi kenyataan pahit itu.
Minah terdiam mendengar ceritaku. Ia menarik napas panjang. Walau sebetulnya dia sudah tahu perjalanan hidup pahitku itu. Pada saat itu, Minah dan Inge mengikuti hari demi hari seluruh kejadian yang menyedihkan itu.
“Sudahlah, Sar. Suamimu tidak sama dengan ayahmu itu,” kata Minah.
Aku pun jadi berpikir lagi, benar kata Minah. Mas Yono tidak seperti Ayah. Ayah selalu mempunyai alasan yang sah ketika ia pulang malam. Ada pasien melahirkan, itu selalu menjadi senjata alasan kuat dari ayah. Berbeda dengan Mas Yono jarang sekali pulang malam. Kalau pun ada pekerjaan yang harus diselesaikan sampai larut malam, pasti aku tahu apa yang ia kerjakan.
Tiba-tiba aku tersadar, memang ada satu kesamaan antara kedua lelaki ini. Ayahku harus melayani para pasiennya yang semuanya perempuan. Suamiku juga, ia harus melayani para pelanggannya yang hampir semuanya perempuan. Mas Yono hobi bercocok tanam, akhirnya bukan hanya hobi, ia mengembangkan perkebunan sayuran organik sebagai bisnis. Berbagai macam sayur-mayur tersedia di perkebunan itu. Mas Yono lebih memilih untuk menjual produknya langsung ke konsumen. Ia merasa ribet kalau harus jadi pemasok di supermarket. Menurutnya, tidak tahan menangih hutang ke bagian keuangan supermaket, buang waktu dan tenaga. Jadi, pelanggan Mas Yono kebanyakan para ibu rumah tangga.
Hatiku jadi makin risau ketika tersadar akan hal itu.
Inge memecahkan lamunanku. Ia bertanya apakah Mas Yono itu sering memperlihatkkan tanda-tanda yang mencurigakan dari tingkah lakunya? Pertanyaan Inge bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan aku untuk menjawab terlebih dahulu dari satu pertanyaan ke pertanyaan berikutnya. Diantaranya, ia bertanya apakah suamiku itu sering pulang malam? Apakah secara tidak sengaja Mas Yono sering memanggil namaku salah? Apakah ada hal-hal mencurigai ketika ia bersamaku? Terakhir Inge bertanya apakah ada chat yang mencurigakan dari telepon genggamnya?
“Aku tidak pernah buka handphone-nya, kami saling menjaga privasi masing-masing,” jawabku.
“Malah aku tidak tahu password handphone Mas Yono,” tegasku.
“Iya, memang seharusnya seperti itu,” jawab Inge.
Minah langsung membantah. Menurutnya sebagai seorang istri harus sesekali memeriksa telepon genggam sang suami. Bukan soal privasi menurutnya, tetapi ini soal menjaga keutuhan rumah tangga.
“Ah, bukannya lebih baik tidak tahu daripada tahu nanti malah jadi berantakan,” Inge menyela omongan Minah, sambil mengisap dalam rokoknya, lalu ia membuang asap rokok perlahan ke arah berlawanan dari tempat aku dan Minah duduk.
“Lah, kamu tau apa, kau tidak menikah,” kata Minah dengan agak sedikit ketus.
Aku hanya diam mengamati mereka berdua yang sedang asyik berdebat soal apakah seorang istri pantas untuk memeriksa telepon genggam suaminya atau tidak. Sebetulnya lucu, aku yang mempunyai masalah untuk mencari bantuan pendapat dari mereka, lah, malah sekarang mereka berdua yang berdebat.
Diam-diam aku mencerna semua pembicaraan ini. Badanku tidak bergerak sedikitpun, hanya kedua bola mataku saja yang bergerak kekiri-kanan. Terasa berulang kali kelopak mataku berkedip cepat. Kata orang-orang yang mengenal diriku, bila mata ku sedang bergerak tak henti-henti ke kiri kanan jangan ada yang mengganggu, menurut mereka aku sedang berpikir serius.
“Sar, kamu sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan dari Mas Yono-mu?” tanya Inge.
Aku tersentak dengan pertanyaannya. Dengan perlahan aku menggelengkan kepalaku. Aku pun sepertinya harus yakin kalau suamiku itu tidak macam-macam.
***
Selain rutin bertemu dengan kedua sahabatku itu, kami sering mengadakan makan malam bersama dengan keluarga. Jadi aku, Mas Yono, Minah, Mas Santo (suami Minah), dan Inge sering makan bersama. Dikar, anakku satu-satunya, juga sering ikut bergabung bersantap bersama.
Minggu malam akhir bulan November, kami semua sepakat untuk makan malam di rumahku. Aku paling senang mengadakan makan malam di rumah. Bukan untuk penghematan, aku merasa lebih nyaman untuk mendapat suasana akrab. Walau tidak punya pembantu, aku selalu dengan suka cita mempersiapkan acara makan malam untuk orang-orang yang kucintai. Prinsipku semua tamu (siapa pun mereka) yang duduk bersama dalam perjamuan makan di meja makanku harus pulang dengan kenyang dan gembira.
Untuk santapan malam ini, aku menyiapkan menu masakan Manado. Ketika sedang asyik mengeluarkan piring-piring makan dari lemari, tiba-tiba Minah muncul dan sudah berdiri di sudut meja dapur. Sungguh mengagetkan. Ia memegang sebuah kotak bujur sangkar bermotif bunga, berisi puding coklat. Puding buatan Minah memang selalu banyak yang menyukainya.
Suara teriakan sapaan halo terdengar panjang dan keras memenuhi ruangan dapur. Siapa lagi kalau bukan Inge. Ia masuk sambil menenteng tas coklat. Dari logo tas yang Inge pegang, aku dapat menerka pasti isinya kopi. Ia meletakan tas itu di atas meja. Satu per satu cup plastik kopi, Inge keluarkan.
“Sarah, Mas Yono suka kopi gula aren tidak?” tanya Inge.
“Wih, itu minuman kesukaannya,” jawabku.
“Wah, kebenaran aku beli satu yang pakai gula aren,”
Inge langsung berjalan menuju keluar membawa kopi gula aren itu untuk ia berikan kepada Mas Yono. Ia berjalan sambil memberi tanda dengan jari telunjuk dan jari tengah menempel, berulang kali ia maju mundurkan di depan mulutnya. Aku tahu maksudnya, aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku saja.
Masakan terakhir yang harus aku masak adalah tumis bunga pepaya. Tumisan sayuran favorit ini melengkapi seluruh deretan makanan yang telah tersaji di tengah-tengah meja panjang. Semua sudah rapi tertata termasuk peralatan makan sudah lengkap.
Entah bagaimana awalnya, selalu menjadi kebiasan aku duduk di ujung meja sedangkan Mas Yono duduk di ujung meja satunya. Dikar dan Minah duduk di samping kiri kananku. Mas Santo dan Inge duduk di samping Mas Yono. Secara otomatis semuanya pasti mengambil posisi tempat duduk yang sama.
Dikar berpakaian rapi dengan tas ransel di punggungnya jalan menghampiriku. Ternyata ia lupa kalau malam itu ada belajar bersama di rumah temannya. Ia pamit tidak dapat ikut makan bersama. Aku langsung memberi isyarat dengan mataku ke Dikar untuk berpamitan dengan para tamu juga.
Inge langsung berdiri ketika Dikar menghampirinya. Ia memeluk Dikar dengan cepat dan ia langsung menempelkan pipi kiri dan kanannya ke pipi Dikar. Aku hanya tersenyum geli melihat mimik muka Dikar yang risih. Memang setiap Inge memeluknya Dikar selalu merasa tidak nyaman.
“Iih, Tante Inge bau lemon,” spontan Dikar berkata.
“Mending, daripada bau got,” Minah menggoda Dikar.
Inge spontan menunjukan wajah asam ke arah Minah. Sedang lainnya tertawa mendengar komentar Minah. Dikar hanya berpamitan ke Minah dan suaminya dari seberang meja, tidak mendekat.
Mas Yono membuka acara makan dengan mengambil piring lonjong berisi ayam rica-rica. Ia bangkit dari kursinya, lalu berjalan menghampiri Minah.
“Paha atau dada, Min?” tanya Mas Yono.
“Dada, Mas Santo paha,” jawab Minah
“Lah, sok tahu, bisa saja Mas Santo mau dada juga kan?” ledek Inge.
Semua tertawa. Aku sungguh bahagia mendengar senda gurau seperti ini. Soal saling ledek meledek sudah biasa di antara kami. Aku juga bangga mempunyai suami yang sangat ramah. Mas Yono tahu betul bagaimana menjadi tuan rumah yang baik. Sampai giliran Inge, Mas Yono langsung meletakan sepotong paha di atas piringnya.
“Nanti aku ambil sendiri, Mas,” kataku.
Malam itu kami makan sambil bersendau gurau. Tidak ada topik penting yang kami bicarakan. Pun tidak ada diskusi menarik. Semua serba mengalir dengan pembicaraan yang ringan- ringan saja.
Minah menyajikan puding coklatnya. Mas Yono mengambil cup kopi yang tertinggal di teras. Setelah menghabiskan sepotong puding, rupanya suamiku menyukainya. Ia mengambil sepotong lagi.
“Kau hebat Inge, kopi ini cocok sekali dengan puding coklat,” kata Mas Yono kepada Inge.
Inge tersenyum sipu mendapat pujian dari Mas Yono. Sedangkan Minah yang selalu protes sana-sini, juga ikut menyelutuk.
“Lah, kok Mas Yono malah puji kopinya Inge yang cuma bikinnya pake duit doang. Pudingku juga dikomentari dong.”
Mas Yono terkekeh mendapat protesan Minah. Lalu sambil memasukan sepotong puding ke dalam mulutnya, ia mengacungkan dua jempol sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Minah tertawa puas.
Bagiku malam seperti itu adalah kebahagian tersendiri. Semua menikmati seluruh hidangan, canda tawa yang tidak putus-putus, sepertinya tidak ada yang bisa melebihi kebahagian suasana itu.
Tiba saatnya harus beberes meja. Aku sudah mulai membawa piring kotor ke dalam dapur. Dan juga sudah mulai mencicil satu persatu piring kucuci. Inge datang menghampiriku. Dengan perlahan dan agak ragu ia meminta izin untuk menitipkan mobilnya di rumah. Ia ingin pulang dengan taxi online saja.
“Sudah malam, jangan naik taxi. Nanti Mas Yono saja yang antar kamu pulang,” aku menyarankan seperti itu.
“Ah, janganlah! Malu,” jawab Inge spontan.
“Eh, kayak baru kali ini saja,” komentarku.
Setelah kedua sahabatku membantu membereskan dapur, mereka pamit pulang. Aku masih lanjut membereskan sisa-sisa piring kotor. Dapurku harus betul-betul bersih sebelum aku berangkat istirahat malam.
Aku mulai merasakan badan agak sedikit penat, terutama di bagian kedua kaki. Kini saatnya, giliranku membersihkan diri. Badan sudah bersih, celana panjang piama satin membuatku nyaman berbaring. Ketika baru saja aku rebahan, telepon genggamku berbunyi. Dari suara dering yang sengaja khusus aku pasang, telepon itu pasti dari Mas Yono.
“Sarah, ban mobil kempes. Aku harus mencari tukang tambal ban. Jangan tunggu aku, kau tidur duluan ya,” terdengar suara Mas Yono dari ujung telepon.
“Inge kasihan, ya, Mas,” spontan aku teringat Inge.
“Oh, aku sudah otw home. Inge sudah kuantar,” Mas Yono menjelaskan.
“Hati-hati, Mas.”
Aku melanjutkan rebahan sambil memeriksa dan membalas pesan-pesan yang masuk di telepon genggamku. Sejak sore aku belum menyentuh teleponku ini.
***
Suara bunyi nyaring alarm ayam berkokok tepat jam 5 pagi selalu menyentak tidur nyenyakku. Aku selalu mengumpulkan tenaga dan kesadaranku untuk memulai aktivitas harian. Tadi malam rupanya aku tertidur pulas. Aku menoleh ke suamiku yang masih asyik di alamnya sendiri dengan suara dengkurannya. Heran, ia tidak pernah terbangun oleh suara ayam virtual itu. Melihat wajahnya damai terlena pulas, tiba-tiba timbul rasa bersalah dalam diriku. Seharusnya aku bertahan menunggunya sampai pulang tadi malam. Bahkan aku tidak tahu jam berapa suamiku pulang. Sepertinya, aku tertidur ketika sedang melihat pesan-pesan di WA. Sekilas ada perasaan bersalah.
Setiap pagi pekerjaan rutinku pertama adalah mengumpulkan semua pakaian kotor keluarga. Sebelum pakaian kotor itu masuk ke dalam mesin cuci, satu per satu pakaian itu aku periksa terlebih dulu. Terkadang aku menemukan tisu, bon belanja, uang, atau kunci. Ketika aku mengambil kemeja Mas Yono, kupeluk kemeja itu sebagai tanda kasih. Mungkin untuk orang lain yang melihat kelakuanku ini agak sedikit lebay atau berlebihan. Biarlah, aku menyukai apa yang kulakukan. Aku suka bau keringat dari kemeja suamiku.
Agak terkejut ketika aku mencium bau rokok dari lengan kemeja yang dipakainya semalam. Dengan lugu aku berpikir, pasti bau rokok itu datang dari si tukang tambal ban. Mas Yono tidak merokok. Kasihan Mas Yono malam-malam ia masih harus berurusan dengan ban kempes.
Sebelum memasukan kemeja itu ke dalam mesin cuci, sekali lagi aku mencium bagian lain dari kemeja itu. Seperti terhenti detak jantungku seketika. Bau kali ini bukan bau rokok. Bau sesuatu yang sangat kukenal. Lah, kenapa bau itu bisa berada disini? Berulang kali aku ciumi kemeja itu berpindah dari satu bagian ke bagian lainnya. Bagian dada dan lengan dari kemeja itu terasa baunya paling kuat.
Aku terhempas lemas, duduk di samping mesin cuci. Sekonyong-konyong rasa marah, geram, berang, sedih, takut, kecewa, dan penasaran datang berbarengan dalam diriku. Kepalaku pening. Hatiku terasa diiris-iris. Perutku mual. Aku tidak tahu harus bagaimana. Perlahan air mataku pun mulai membasahi kedua pipiku.
Aku raih telepon genggam yang ada di dekatku. Tanpa pikir panjang aku tekan nomor telepon sahabatku.
“Morning, pagi sekali Sarah,” terdengar suara agak parau menjawab teleponku.
“Miiinnn…. Minaaaahhhh,” suaraku sangat lemah sambil terisak-isak.
“Sarrrr, Sarah, ada apa?” suara Minah langsung berteriak.
Tidak ada satu kata pun yang mampu keluar dari mulutku. Aku tidak mampu menjawab apapun pertanyaan Minah. Di ujung telepon masih terdengar suara Minah berulang kali berteriak memanggil-manggil namaku. Aku masih terduduk lemas di lantai. Aku benamkan mukaku di antara kedua lututku, menangis sejadi-jadinya.
Aku tahu persis siapa pemilik bau kecut di kemeja suamiku itu. Milik seorang perempuan pengecut. Penghianat. Perempuan jalang istilah Ibuku. Kini bau lemon itu betul terasa seperti bau got. Bau busuk yang memporandakan hidupku.
Sungguh sangat menyakitkan. Tanpa dapat meredakan tangisku, aku menjerit sekuat-kuatnya.
“Ibuuuuuuuu….. Ibuuuuuuu…. Ibu!”
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.