Rejekiku dari Silitmu

Rejekiku dari Silitmu
(Catatan: seri Tulisan di Truk)
 
"Loh, mas-nya ada di rumah?" tanya mpok Yama pemilik warung sayur.
 
"Iya, jeng, saya kira mas-nya sedang tugas," mbak Rahim sesama pelanggan nimbrung.
 
Semua orang di kampung tahu, bila pagi-pagi aku ikut motor suami sampai warung mpok Yama, tandanya suami berangkat kerja. Artinya, selama bebetapa hari ke depan, mereka takkan melihat suamiku. Sebagai supir truk antarpulau, usumlah bila dinasnya berhari-hari. Tentu saja mereka heran karena tiga hari berturut-turut melihatku diturunkan suami di depan warung mpok Yama.
 
"Tadi itu berangkat kerja, koq," jelasku.
 
Agak malas menjelaskan lebih panjang, tapi tahu bahwa itu tak mungkin. Diskusi warung sayur sudah tersulut.
 
"Saya juga pikir, koq tumben kemaren dan kemarennya lagi diantar suami ke sini. Saya kira kemarin itu dia berangkat kerja?" tanya ceu Tati.
 
Nah, kan, si terompet Bagdad sudah berbunyi. Ceceu yang satu ini memang paling-paling. Pandai sekali dia kalau mengorek kabar dari orang. Bukannya aku ingin merahasiakan situasi keluarga. Malas saja rasanya jadi pembicaraan di kampung. Obrolan di kampung    sering seperti pohon kacang panjang. Sulurnya suka merambah ke mana-mana seenaknya.
 
Aku tahu takkan bisa menghindar. Sambil jongkok memilih kentang, aku tanggapi saja.
 
"Yang kemarin berangkat kerja koq. Yang kemarinnya lagi juga. Tadi juga. Besok juga," ujarku acuh tak acuh.
 
"Loooooh?"
"Eeeeeh?"
"Kooooq?"
 
Paduan suaran sumbang melantun. Aku tertawa geli.
 
"Koq tiap hari pulang? Bukannya kalau antarpulau bisa berhari-hari nggak pulang?" tanya ceu Tati.
 
"Sekarang sudah nggak antarpulau lagi," jawabku tersenyum kecil. Sudah waktunya cerita kubuka.
 
Anak kami yang berumur kurang dari satu tahu, sejak masuk 7 bulan, tiba-tiba mengembangkan penyakit rindu ayahnya tiap kali ayahnya pergi. Dia jadi panas tinggi.
 
"Tiga kali sampai harus ke IGD tengah malam, diantar anak yang punya kontrakan," kataku.
 
Kulihat beberapa orang di warung saling melirik. Pasti mereka tahu saat-saat tengah malam aku pergi dengan anak lelaki pemilik kontrakan. Kuyakin mereka bertanya-tanya ada apa, mungkin saja sudah ada gosip tak genah yang menyebar. Bisa jadi mereka juga sudah menghubung-hubungkan urusan suamiku yang tak lagi pergi berhari-hari, dengan pemuda itu. Terserahlah...
 
"Yang terakhir sampai-sampai telinganya harus ditusuk untuk menurunkan panas yang mencapi 40° Celcius," lanjutku.
 
"Aduuuuh!"
"Aaaaaaah!"
"Eeeeeeh".
 
Paduan suara itu lagi...
 
"Karena itu, dengan berat hati suamiku memutuskan untuk berhenti jadi supir antarpulau."
 
Sepi. Tak ada yang bersuara. Aku bangkit dari jongkokku.
 
"Timbangin kentangnya, nih, mpok Yama".
 
"Eh..., eh...Iya, iya," mpok Yama gagap bagai terbangun dari mimpi.
 
"Oh, ada buah atep ya! Suamiku suka nih, bagus buat dengkulnya, katanya," ku berkata lagi.
 
Aku sudah malas melanjutkan cerita sebenarnya, tapi tahu sebentar lagi ceu Tati pasti akan bertanya lagi. Jadi, kutunggu saja.
 
"Tapi, kalau nggak kerja, gimana bisa dapet duit?" Itu suara ceu Tati.
 
"Kan bisa jadi supir lain. Taksi onlen, misalnya," sambung mpok Yama.
 
"E tapi abangnya sudah kerja lagi, kan? Tuh, tiap hari dia pergi berangkat," Butet, yang paling pendiam di antara semua, urun suara. Semua mata memandang Butet sambil mengangguk.
 
"Iya, sudah dapat kerja lagi. Maunya sih bawa taksi onlen, atau supir kantoran. Waktu mengundurkan diri, dia bilang ke bos-nya barangkali ada kesempatan itu. Sayangnya, tak ada. Tapi, belum seminggu di rumah, mantan bos-nya menelpon".
 
"Dir, ada yang cari supir truk tangki nih. Sekitar Jabodetabek saja. Mau?" kata bos-nya waktu itu.
 
"Awalnya sih suamiku ragu," kulanjutkan cerita.
 
"Eh, kenapa!? Rejeki jangan ditolak!!!" seru ceu Tati.
 
Aku tertawa kecil sambil terus menancapkan mata ke biji-biji kolang-kaling.
 
"Tak mungkin ditolaknya, pasti sudah diterima. Kan tiap hari dia berangkat kerja," lagi-lagi Butet si pendiam berbicara. Diam-diam cerdas juga dia.
 
"Tapi, ngeri kali bawa truk tangki. Kalau  meledak, uwah, tak bisa kubayangkan!" Butet melanjutkan sambil menggelengkan kepalanya.
 
Aku tertawa.
 
"Iya, ngeri kalau tangkinya meledak," kataku di tengah tawa.
 
"Oalah, mas Kadir sekarang bawa truk tangki bensin thoooo!" seru mbak Rahim.
 
Aku selesaikan dahulu derai tawaku sebelum menjawab.
 
"Iya, sekarsng dia bawa truk tangki. Tapi...," kuhela nafas menahan tawa, karena tak sanggup membayangkan apabila tangkinya benar-benar meledak.
 
Semua mata memandangku. Menunggu lanjutan ksta-kataku.
 
"Tapi..., tangki tinja".
 
Sejenak tak ada yang bersuara. Mungkin mencerna ucapan terakhirku. Mungkin..., entahlah.
 
"Aaaaah..., itu lebih ngeri kali kalau meledak!!!" Butet menjerit.
 
Semua mata memandang Butet, lalu bagai ada komando, terpingkal bersama.
 
"Eh, maaf! Maaf ya, mbak Santi," katanya padaku. "Semoga mbak nggak sedih karena pekerjaan baru Mas Kadir".
 
"Nggak usah sedih, kan pekerjaannya halal," kata mpok Yama.
 
"Iya, aku bersyukur, sangat bersyukur malah, bahwa mas Kadir tak nganggur terlalu lama. Dan, bisa pulang tiap hari, jadinya si dedek senang dan nggak demam lagi," jawabku.
 
"Alhamdulillah ya".
"Bagus tuh".
"Kabar baik".
 
"Truk tangki bisa dikasih tulisan nggak ya?" ceu Tati bersuara lagi.
 
"Tulisan apaan?" tanya mpok Yama.
 
"Truk-truk kan bak belakangnya suka ada tulisan. Semacam doa dan harapan, begitu, mpok," kata ceu Tati ke mpok Yama.
 
Lalu padaku, "Yang dulu kan tulisannya TABAH MENANTI, doa mas Kadir untuk mbak Santi yang harus rela ditinggal pergi kerja berhari-hari. Saya penasaran, yang sekarang apa".
 
Wah, ingat saja ceu Tati ini.
 
"Ya nanti saya tanya ke mas Kadir," kataku.
 
"Kalau belum ada, suruh pasang. Kan itu doa".
 
"Iya!"
"Betul!"
"Setuju!"
 
"Kata-katanya jangan yang sama, kalau bisa yang lucu-lucu, tapi bermakna" sambung ceu Tati.
 
"Apa ya bagusnya," kata npok Yama.
 
"Rejekiku dari Silitmu," mbak Rahim nyeletuk.
 
Hahaha...., semua tertawa terpingkal-pinggal.
 
"Lucu tuh,” kata mpok Yama.
 
Warung mpok Yama hari ini sungguh ramai gembira, dan menular ke hatiku. Mungkin sebentar lagi akan tersebar berita soal pekerjaan baru mas Kadir. Biarlah, toh tak ada yang buruk soal itu.
 
Dan, rasanya nanti malam akan kusampaikan usul mbak Rahim itu ke mas Kadir.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.