Tisu Toilet

Cerita Perth

Tisu Toilet
 
Kondisi toilet di banyak negara di luar Indonesia, terutama pada bangsa-bangsa Barat, cenderung kering. Membasuh diri setelah melepas hajat, tak dilakukan masyarakatnya dengan air. Adat dan kebiasaan tiap bangsa dan negara memang berbeda-beda. Dimaklumi saja.
 
Di Australia pun begitu adanya. Ketika tiba di Perth pada awal September 2023 lalu, awalnya gagap juga. Gimana ya, begitu, tapi aku coba mengikuti saja apa yang ada. Bisa sih pakai air yang ditampung ke dalam botol plastik bekas kemasan air 600 mL untuk membasuh diri.
 
Mengapa harus memakai botol bekas? Bukannya botol khusus atau sejenisnya? Itu adalah karena sifatnya yang sementara belaka. Ketika kami sudah pulang, botol tersebut akan menjadi sampah plastik untuk didaur-ulangkan.
 
Payah juga ya, sebab di toilet Barat sudah pasti tak ada ember dan gayung. Keran air juga tak tersedia. Tak ada pula jet spray yang banyak dipakai di Indonesia. Untuk mengisi botol 600 mL dengan air untuk membasuh, harus dilakukan di keran wastafel di luar toilet sebelum masuk toilet. Tapi, akhirnya cara ini tak jadi pilihanku.
 
Pemakaian air di botol buatku pribadi jadi ribed juga. Kemungkinan malah akan kecer-kecer ke mana-mana. Sebab, mengenal diriku, aku ini bukan orang yang bisa menembak tepat sasaran. Melempar bola ke depan saja selalu meleset, apalagi ke belakang. Diduga, bentuk tanganku yang bengkok di siku merupakan penyebabnya.
 
Jadi, ya yang keringan aja deh. Cukup memakai tisu saja. Dengan keringan, ada keuntungan lain lho ternyata. Tidak menjadi ndredeg kedinginan kena air hehe...
 
Soal basuh membasuh di toilet, kalau dipikir lagi, orang Indonesia itu unik juga ya. Karena, memakai dua cara dalam satu kali ritual toiletnya. Air dahulu, lalu tisu untuk mengeringkannya. Hal ini sungguh tak irit secara ekonomis, bukan? Tidak cukup ramah lingkungan juga, ya nggak sih! Pakai air iya, kertas pun juga hahaha...
 
"Tisu bisa di-flush saja ke toilet," kata Ami pada suatu kesempatan.
 
Ami itu sepupuku yang tinggal di Perth, Australia Barat, nyonya rumahku selama aku di kota itu. Awalnya, aku ragu juga. Tapi, karena nyonya rumah sudah bersabda, aku lakukanlah itu. Kenyataannya, ya lancar aja—maksudnya toilet tak segera tersumbat. Lumayan pula, karena tempat sampah kecil di toilet jadi tak cepat penuh.
 
Aku jadi teringat kejadian di rumah orangtua-ku pada masa dulu sekali. Pada suatu waktu, Oma (nenek kami) yang sudah sangat uzur, menginap di rumah. Beliau hanya bisa berbaring saja, segala aktifitas hariannya pun harus dibantu oleh seorang perawat. Termasuk yang sangat personal.
 
Satu saat, toilet di rumah kami tiba-tiba mampet. Sampai harus dibongkar segala. Di dalam salurannya kemudian ditemukan gumpalan-gumpalan tisu yang menumpuk menjadi satu, dan membuat mampet saluran pembuangan toilet. Rupanya, si perawat membuang air besar dan air kecil Oma ke toilet bersama tisu-tisunya sekaligus.
 
Sejak saat itu, aku yakin bahwa tisu itu tidak bisa hancur bila di-flush. Mungkin beda jaman ya, beda teknologi juga. Toilet di rumah kami itu sudah bercokol di sana sejak jaman Belanda. Tisu dulu dan tisu sekarang juga sudah berbeda pastinya.
 
Seperti di Indonesia, tisu di Australia juga bermacam ragam. Kemasan, ketebalan, merek, atau detil lainnya; bisa berbeda-beda. Tisu toilet yang disediakan di kamar-kamar saat kami berada di Esplanade Hotel di Busselton, misalnya, ternyata lebih tipis daripada yang kami pakai di rumah Ami di Perth.
 
Yang di Esplanade per satu gulung tisu toilet terbungkus kertas yang tipis tapi kuat. Kurasa, itu sesuai dengan kebutuhan tamu hotel. Cadangan tisu yang belum terpakai akan tetap bersih, bila secara individual berada dalam keadaan terbungkus. Dilihatnya juga enak.
 
Sementara, tisu toilet di rumah Ami tidak terbungkus secara individual. Melainkan, jumlah besar yang telanjang berada dalam satu plastik besar. Paket bulk yang sedemikian memang lebih praktis untuk rumah tangga. Dan, pasti lebih murah jatuhnya bila membeli dalam partai besar dibandingkan secara eceran.
 
Yang tak kuketahui adalah, apakah di Australia juga ada coreless tisu toilet atau tidak. Alias, tisu tanpa rol karton di tengahnya. Coreless tisu toilet kuyakini merupakaan kreasi atau ciptaan masyarakat Indonesia, yang dengan lenggang kangkung santai menaikkan harkat tisu toilet ke meja makan.
 
Aku sempat banyak bekerja mendampingi wartawan asing dari negara-negara Barat. Mereka yang belum biasa datang ke NKRI, sering terkaget-kaget melihat tisu toilet nangkring pada meja di rumah makan lho! Aku cengesan saja. Menerangkannya susah juga, maksudnya, susah diterima oleh pemikiran mereka. Ya itu tadi, ada perbedaan kebiasaan dan adat istiadat.
 
Tisu toilet di meja menjadi praktis bila pengambilannya dilakukan dengan cara ditarik di bagian rengah gulungannya. Awalnya, orang berkreasi dengan mencopot rol kartonnya. Lalu, jadi lebih praktis karena produsen yang pandai kemudian menjual tisu toilet tanpa rol dalam. Tak hanya lebih praktis, tapi ternyata bisa jadi lebih murah juga karena memotong biaya produksi.
 
Berikutnya adalah, terciptalah wadah-wadah tisu yang mudah diletakkan di meja. Dengan lubang di bagian tengah untuk menarik tisunya. Bentuknya pun bervariasi. Mau bulat, mau kotak; ada semua. Tinggal pilih.
 
Mungkin, lebar tisu toilet yang lebih kecil, dan adanya kemudahan untuk menyesuaikan panjang yang diperlukan, membuat tisu toilet lebih disukai di Indonesia. Ini teori ngasal aku saja sih. Seru juga ya kalau ada penelitian tentang ini secara lebih dalam.
 
Pastinya, tisu toilet yang naik ke meja itu, kini telah dihargai dengan panggilan yang lebih sopan: tisu gulung.   =^.^=
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.