Ulang Tahun Ayah

Malam nanti, pesta ulang tahun Ayah. Akan pas rasanya kalau diramaikan dengan acara tiup lilin, di atas sebentuk tart black forest!

Ulang Tahun Ayah
Sumber foto: https://en.m.wikipedia.org/wiki/File:Black_Forest_gateau.jpg
Dengan bahagia dan bangga, aku masuk ke dalam rumah. Dua tanganku memegang erat namun dengan sangat hati-hati, sebentuk kotak kue besar. Yang berisi kue tar black forest, untuk acara ulang tahun Ayah nanti malam.
 
"Halo, bu, sudah datang nih black forest-nya," laporku pada Ibu di dapur, yang sedang sibuk mempersiapkan bakso kuah untuk nanti malam juga.
 
"Ah, lekker," Ibu berkata sambil tersenyum senang. Sedap, begitu katanya.
 
Aku tadi sengaja pergi ke Cikini, Jakarta Pusat, dari rumahku di Jakarta Timur. Khusus untuk membeli black forest ini, di toko roti legendaris Tan Ek Tjoan yang waktu itu masih berlokasi di Jl. Cikini Raya. Di seantero Jakarta pada masa awal 1990-an itu, sebenarnya sudah cukup banyak toko tempat membeli kue istimewa ini. Banyak juga yang mungkin lebih enak. Tapi, aku sangat suka black forest yang berasal dari Tan Ek Tjoan. Karena aku yang membelikannya, maka pilihan tempat membeli sepenuhnya berada di tanganku.
 
Kuletakan kotak kue di meja makan. Transit sejenak sebelum masuk ke lemari es.
 
"Apa itu, Dang?" tanya keponakanku yang tiba-tiba muncul.
 
Dia memanggilku Budang, kependekkan dari bundo gadang. Kalau bahasa Jawanya, Bude.
 
"Black forest buat ulang tahun Opa nanti malam," jawabku.
 
"Mau lihat donk," kata bocah laki-laki umur 6 tahun itu.
 
"Boleh," kataku sambil membuka kotak untuk memperlihatkan kue kebanggaanku.
 
Mata keponakanku berbinar sangat, saat melihat kue yang cantik itu. Warna coklat kehitaman dari serpihan coklat di permukaan kue memang menggiurkan. Dipercantik oleh hiasan krim warna putih. Di atas ceplokan-ceplokan krim itu, bertengger merahnya buah ceri awetan yang berkilau, yang masih lengkap dengan batang-batang panjangnya nan juga merah.
 
Jangankan anak kecil, saya saat melihat kue itu juga jadi sangat tergiur. Bahkan, hanya dengan memikirkannya saja air liur sudah meleleh. Hal mana yang mendorong saya untuk membeli kue ini buat ulang tahun Ayah.
 
"Aku boleh minta cerinya, Dang?" tanya keponakan dengan penuh harap.
 
"Tentu boleh. Tapi, nanti ya," responku.
 
"Boleh minta banyak?" si keponakan makin berharap. Matanya tak lepas dari si kue tar.
 
"Boleh aja," sahutku santai.
 
"Boleh semua?" dia makin berharap.
 
"Jangan donk, harus bagi-bagi. Kan nanti dipotong bersama kuenya.
 
"Oooh...," jawabnya pelan, terlihat sangat kecewa.
 
Hatiku terasa ikut runtuh melihat kekecewaannya.
 
"Tapi, nanti kamu boleh dapat yang utuh koq," kataku cepat-cepat.
 
Kuniatkan hati untuk nanti menyingkirkan satu atau mungkin dua buah ceri utuh untuknya.
 
Wajah keponakan tersayang ganti berubah ceria. Hatiku pun kembali ke tempatnya. Sambil tersenyum, kumasukan kotak kue ke lemari es. Lalu, bersibuk ria membantu ibu mempersiapkan acara ulang tahun Ayah.
 
Bukan pesta besar. Hanya akan dihadiri oleh beberapa tante dan oom dari pihak keluarga Ibu, dan sepupu-sepupu tentunya. Pesta ulang tahun sederhana begini adalah tradisi dalam keluarga dari pihak Ibu.
 
Malamnya, acara berjalan lancar, hangat, dan menyenangkan. Andalan Ibu berupa baso sapi dan baso ikan, serta ayam goreng ungkep, sukses besar. Ibu tak terlalu luas kepandaiannya dalam urusan memasak, terutama dalam porsi besar. Tapi, menurutku ibu sangat jago di urusan dua masakan ini.
 
Kini, tibalah acara menyanyikan lagu panjang umur dan tiup lilin. Kukeluarkan kotak kue dari lemari es. Kubuka, dan kukeluarkan si cantik yang menggiurkan ini. Sambil tersenyum senang, kupasang lilin angka sesuai usia Ayahku di permukaan kue tar. Di antara serpihan coklat kehitaman yang dihiasi krim putih, yang sungguh semakin menggoda selera.
 
Eh..., serpihan coklat dihiasi krim putih? Eeehhh!?
 
"Tutaaa!!!" kuteriakan nama keponakanku.
 
"Apa, Dang?" tanyanya polos.
 
"Cerinya kamu makan ya?" kubertanya meski sudah tahu jawabannya.
 
"Iya. Kan tadi kata Budang, boleh". Duh, itu muka koq polos banget sih...
 
"Tapi kan Budang bilang nanti. Itu artinya kalau sudah tiup lilin," kataku antara sebal dan geli.
 
Aku tahu sebenarnya dia paham artinya. Anak itu pintar. Terlalu pintar sih mungkin.
 
"Tapi, kan dapetnya dipotong-potong. Aku maunya bulet-bulet," jawabnya.
 
Pintar kan dia? Tak mau dapat potongan, jadi libas saja duluan.
 
"Ya terus kenapa semuanya? Ada sepuluh lho tadi!" aku masih protes.
 
Hei, aku juga suka ceri itu. Aku juga mau!
 
"Enak sih," jawabnya lagi.
 
Aduh!!! Gemas!!!
 
"Lagipula, yang ulang tahun kan Opa aku," katanya lagi.
 
Semua tertawa. Termasuk saya tentunya. Ya sudahlah, suasana malah menjadi semakin seru. Dan, tokh kue tar itu hanya tak ada cerinya saja. Kuenya sendiri masih utuh. Meski di bawah terlihat ada colekan, yang saya tahu siapa pencoleknya.
 
Acara tiup lilin pun berlangsung meriah. Ceri hilang, ceria datang. Cheerio…   =^.^=
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.