Pelajaran buat Mamah

Pelajaran buat Mamah

Sore itu rumah berantakan.

Bayangin, di ruang tengah yang sekaligus ruang TV, ruang makan, ruang baca dan ruang tamu ini lantainya nyaris penuh sama kepingan puzzle, Lego dan guntingan kertas warna-warni. Masuk sedikit ke kamar anak-anak di bagian depan rumah, wah jangan ditanya, ibaratnya dari sana lah muntahan lava mainan tadi berasal; lebih banyak puzzle, lebih banyak lego, lebih banyak kertas warna-warni dan ditambah cacahan Play-Doh yang nempel di lantai, di muka para pasukan boneka sampai ke pintu lemari dan jendela.

Sore itu jarum jam menunjuk ke angka 5. Artinya, sebentar lagi Maghrib datang. Sebentar lagi, waktunya anak-anak mandi, makan, kerjakan PR dan istirahat. Begitu yang ada di pikiran Mamah yang sejak punya anak suka ngerasa jadi kayak robot; semua ada jadwalnya, dan semua HARUS dilakukan sesuai jadwal. 

Jadi ketika liat rumah kayak begitu bentuknya, walaupun itu adalah pemandangan sehari-hari, rasanya di dalam kepala kayak ada yang mau meledak. Hampir setiap sore sejak pandemi melanda, anak-anak jadi nggak bisa main di luar seperti dulu. Alhasil, semua mainan di rumah dikeluarkan demi menyalurkan energi dan kreatifitas mereka. 

Sore itu, tanduk Mamah ikutan keluar seperti yang selalu terjadi setiap menjelang Maghrib seperti sekarang ini. Karena ternyata, ngomong sama anak usia delapan dan enam tahun itu butuh perjuangan, ya. Kalau mereka lagi asyik tenggelam di dunia mainannya, wassalam aja Mamah ngomong satu kali bisa didengerin. Suara Mamah harus naik sekitar satu-dua oktaf supaya terdengar dan bikin anak-anak bergerak.

Singkatnya, Mamah mesti marah-marah biar anak-anak nurut, gitu.

Sore itu, rumah berantakan. Mamah belum masak, Mamah belum mandi, dan Mamah lelah seriosa buat nyuruh anak-anak. Jadi, sore itu--ntah kesambet apa--Mamah mencoba cara lain supaya didengar. Dengan nada super rendah dan datar, Mamah panggil dua anak perempuannya sampai mereka nengok.

"Anak-anak, ayo beresin mainannya karena ini udah mau Maghrib dan kalian mesti mandi. Sekarang ya, nggak pake nunggu Mamah marah, ya."

Masih merepet, tentu, tapi dengan nada lebih rendah. Kalau biasanya merepet ala-ala Eminem, mungkin bayangin ini lebih ke nuansa Jay-Z kali, ya. 

Di luar dugaan Mamah, anak-anak terdiam. Terus bilang "OK Mah," sambil ngeloyor dan--praise the rap Lord--mulai mungutin puzzle satu-satu! Mamah juga jadi diem, takjub berpikir ini beneran sedang terjadi? Tapi diemnya Mamah cuma bertahan sepuluh detik, soalnya inget belum masak makan malem. 

Lalu sambil masukin Lego ke tempatnya, si Sulung tiba-tiba nyamperin ke dapur dan bilang, "Mah. Mamah hebat, sudah berusaha untuk tidak marah-marah," terus ngeloyor lagi lanjut beberes sama adiknya.

Mamah yang lagi motong kentang buat dipanggang lagi-lagi terdiam, ngeliat anak-anaknya yang sore ini beresin mainannya sambil keliatan senang, nggak kayak biasanya yang rada ngedumel karena abis kena omel. Sesekali terdengar mereka nyanyi-nyanyi kecil entah lagu apa, dan entah bagaimana hati Mamah pun rasanya hangat dan penuh cinta, bikin pengin senyum sambil lanjut motong kentangnya.

Sore itu, rumah berantakan. Tapi Mamah dapet pelajaran dari anak umur delapan; ternyata nggak perlu suara tinggi buat didengerin sama anak-anak, tapi cukup suara yang penuh kasih sayang dan pengertian.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.