Surat Dokter Untuk Gambar Anom

Surat Dokter Untuk Gambar Anom
Suasana kantor Ogilvy. Saya Mas Anom gak ada di foto itu

 

Gambar Anom adalah salah seorang guru saya dalam bidang copywriting. Sewaktu kami masih kerja bareng, dia banyak memberi saya arahan yang berkenaan dengan klien-klien yang ditangani oleh Ogilvy. Misalnya klien Anu senengnya copywriting gaya Anu. Klien ini senengnya dipuji dan diangkat-angkat dan sebagainya. Intinya hubungan saya sangat baik dengan salah satu dedengkot periklanan di jamannya ini. Dan yang saya paling suka dari senior saya ini adalah dia selalu tersenyum. Gak pernah sekalipun dia memperlihatkan wajah garang meskipun secara hirakhi kedudukannya jauh di atas saya.

Hubungan saya dengan Gambar Anom mulai merenggang ketika dia dinobatkan menjadi Manager HRD. Bukan merenggang karena musuhan, loh, tapi karena kami jadi jarang berdiskusi tentang copywriting lagi. Dan Mas Anom ini adalah tipe orang yang sangat berdedikasi dalam menjalankan tugasnya sebagai HRD. Hal itu juga yang menyebabkan kami sering adu argumentasi karena saya sering terlambat datang ke kantor.

Tapi begitulah hidup. Selalu ada perubahan seiring dengan perjalanan waktu. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana beradaptasi dengan perubahan itu. Dan itu sama sekali tidak susah. Yang susah adalah bagaimana datang tepat waktu ke kantor. Itu doang, sih....

Suatu hari seorang temen ngajak saya mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur. Sebagai pendaki yang terperangkap di belakang meja kantor tentu saja saya langsung tertarik dan ikut bergabung dengan mereka. Perjalanan akan memakan waktu total 5 hari. OK, jadi saya harus bolos 3 hari, pas 5 hari jika ditambah hari Sabtu dan Minggu.

Sorenya saya pergi ke tempat praktek temen saya yang berprofesi sebagai dokter. Ketika suster on duty memanggil, saya pun langsung masuk ke ruang praktek temen saya tersebut.

"Weits, Bud. Tumben lo kemari. Sakit apa lo?" tanya Sang Dokter sambil menjulurkan tangan ngajak salaman.

"Gue gak sakit. Gue cuma mau minta surat keterangan dokter dari lo. Gue mau pendakian minggu depan." kata saya cuek.

"Anjrit, lo. Dari jaman dulu lo selalu nyusahin gue aja!" bentak dokter itu

Meskipun berkata demikian, Si Dokter membuka lacinya dan melemparkan sesuatu dan dengan tangkas saya menangkap benda tersebut. Setelah saya amati, ternyata itu segepok surat keterangan sakit yang sudah distempel dan ditandatangani.

"Gila lo! Banyak amat ngasihnya? Gue cuma butuh selembar." kata saya keheranan.

"Udah! Bawa aja semua. Itu bisa lo pake selama dua tahun. Jadi minimal hidup gue tenang karena selama itu gak perlu ketemu lo lagi." kata dokter gemblung itu.

"Ntar kalo ada yang butuh surat keterangan ini kayak gue...."

"BAWEL! Udah sana pergi ke gunung!" potong si dokter lalu berteriak ke arah asistennya, "Suster, next!"

Akhirnya saya pun pergi ke gunung Semeru. Gunung tertinggi di pulau Jawa. Letaknya ada di antara kota Lumajang dan Malang. Perjalanan begitu melelahkan. Sepulangnya ke Jakarta waktu sudah menunjukkan pukul 8 hari Minggu malam. Dan saya sulit membayangkan bahwa esok paginya jam 8 saya harus datang ke kantor tepat waktu. Mission impossible!

Senin pagi, saya terlambat datang ke kantor. Badan rontok, tulang-belulang luluh lantak. Tanpa disadari saya tertidur di kubikel dan baru terbangun ketika temen-temen kreatif ngebangunin saya ngajak makan siang. Sebetulnya saya males juga jalan kaki tapi karena mereka ngajak makan di warung favorit saya akhirnya saya setuju. Tempat makan itu menyajikan ayam presto yang rasanya lezat bukan main, letaknya tepat di belakang gedung kantor.

Sepulangnya makan siang. Mas Anom menghampiri saya di kubikel.

"Bud, kamu kemaren gak masuk 3 hari." katanya dengan suara lembut dan senyum tersungging di bibirnya.

"Iya, Mas Anom. Saya sakit. Sekarang juga belom sembuh makanya saya sampe ketiduran tadi di kubikel." kata saya dengan suara dilemes-lemesin

"Ada surat dokter? Peraturan di perusahaan, kalo kita gak masuk dua hari harus ada surat sakit." katanya lagi masih dengan senyum manis menghias wajahnya yang awet muda.

"Oh, ada dong. Mau berapa lembar?" tanya saya ngebecandain dia.

"Maksudnya?" Mas Anom langsung kebingungan.

"Nggak, saya becanda. Saya cari dulu surat dokternya. Ntar saya anter ke ruangan Mas Anom."

"OK, saya tunggu sebelum jam 3. ya" Abis ngomong gitu Mas Anom kembali ke ruangannya yang cuma berjarak 4 meter dari kubikel saya.

Setelah merasa suasana aman, saya mengambil gepokan surat keterangan surat sakit tersebut dari laci. Dengan santai saya menulis jadwal "sakit' saya sesuai tanggalnya lalu melepaskan sehelai surat keterangan tersebut sehingga berpisah dari gepokannya.

Dengan langkah ringan, saya berjalan menuju kamar Mas Anom dan langsung menyerahkan apa yang dia minta "Ini Mas, surat keterangan sakitnya."

"Okay, terima kasih." sahut Mas Anom tetap dengan senyum manisnya.

Dengan seksama Mas Anom memperhatikan surat keterangan sakit tersebut. Katanya, "Warna bolpen di keterangan sama warna tinta di bagian tanda tangan kok beda ya?"

"Oh gak tau, Mas. Maklum dokter jaman sekarang..." jawab saya sekenanya.

"Loh...loh...loh...kok ada dua surat dokternya?" kata Mas Anom sambil menunjukkannya pada saya.

Astaghfirullah! Ternyata saya telah melakukan kegoblokan yang luar biasa. Jadi waktu saya memisahkan lembar surat keterangan yang paling atas, ternyata yang terambil dua lembar. Tentu saja yang satu lagi masih kosong kecuali tandatangan dan stempel dokter doang.

Saya tentu saja malu bukan main! Dengan cepat saya merebut surat keterangan yang masih kosong tersebut dari tangan Mas Anom sambil berkata, "Maaf, Mas. Saya salah. Surat keterangan ini buat jadwal sakit saya yang berikutnya."

Tanpa mengucapkan sepatah kata, saya langsung ngeloyor keluar dari kamar Mas Anom. Saya menyadari bahwa saya telah melakukan kesalahan besar. Kalo Mas Anom mengadu ke management, habislah saya. Bule-bule gila di kantor itu pasti akan dengan senang hati memecat saya dari Ogilvy.

Untungnya Mas Anom memang bijaksana. Peristiwa itu berlalu begitu saja. Saya tidak pernah dipanggi oleh management. Beberapa kali saya melihat Mas Anom berjalan berkeliling di ruang Creative Department. Berkali-kali dia melewati kubikel saya tapi dia gak pernah mengungkit-ungkit soal surat dokter itu. Dia cuma menyapa saya dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya.

Hari ini Mas Anom telah pergi. Saya gak terlalu bersedih karena saya sangat yakin dia juga sedang tersenyum-senyum di atas sana. Mas Anom orang baik dan dia pantas mendapat tempat yang terbaik. Insya Allah! Al Fatihah buat Mas Anom.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.