MERETAS IKATAN

MERETAS IKATAN
Source Pixabay.com

          Almira tidak lagi bisa berkata-kata. Detik itu juga dia mengemasi pakaiannya. Tidak seluruhnya karena terlalu banyak untuk dibawa dalam sebuah tas. Sementara Bima perlu tempat juga untuk baju-baju seragam sekolahnya. Dia tidak mungkin meninggalkan Bima bersama Ayahnya.

            “Aku tidak ingin melihat kalian di rumah ini, lagi” kalimat itulah yang telah mengusirnya dari rumah. Diucapkan tanpa emosi oleh lelaki yang selama enam tahun ini telah menjadi Suaminya. Sepasang mata lelaki itu pun hanya memandangnya hampa sesaat saja ketika dia berkemas.

            “Kita mau ke mana Bunda?” Bima bertanya setengah berbisik.

            “Ke rumah Nenek,” Almira menjawab dengan ketenangan luar biasa. Bahkan air matanya pun tetap tertahan aman di balik kacamatanya.

            “Ayah kenapa Bunda?” Rupanya Bima masih belum mengerti  pada apa yang terjadi.

            “Bunda tidak tahu tapi sebaiknya kita cepat pergi,” bujuknya  sembari menata perasaannya yang terluka. Entah perasaan apa yang tengah berkecamuk di dada Dimas ketika dia dan Bima bergegas meninggalkan rumah. Dimas masih Suaminya saat ini meskipun tidak lagi menghendaki  mereka tinggal serumah. Almira sungguh tidak tahu apa kesalahannya sehingga  terusir dari rumahnya.

            Bima  akan  berpamitan tetapi  Ayahnya sudah mengunci pintu kamarnya.  Anak lelaki usia lima tahun itu menatapnya kecewa . Wajahnya  masih muram   ketika Almira mengajaknya segera ke luar dari rumah. Itu adalah rumah yang mereka bangun bersama dengan uang pinjaman dari Bank yang baru setahun lalu lunas.

            “Tunggu sebentar Bim, Bunda mau telpon taksi,” ucapannya itu tak mampu menghapus kemuraman di wajah Bima.  Jangankan Bima, dia sendiri pun tak bisa mengerti pada tindakan Dimas.

            Beberapa saat sebelum berkemas tadi, Dimas menghampirinya untuk mengungkapkan isi hatinya yang terpendam sekian lama. “Aku tidak pernah mencintaimu bahkan sejak kita menikah. Kutahan-tahan sampai sekian lama tetapi aku tetap tidak bisa mencintaimu. Sekarang aku benar-benar ingin lepas. Melihat kalian setiap hari sangat menyiksaku. Rasanya sangat tidak nyaman bersama kalian.”

            “Kamu tidak pernah mencintaiku ? Bahkan setelah kita memiliki Bima ?” Almira tak bisa percaya pada pendengarannya.

            “Benar. Aku tidak pernah mencintaimu,” sahut Dimas  sambil membelakanginya. Dimas tidak berani beradu pandang dengannya selama pembicaraan berlangsung. “Aku menikahimu karena kedua orang tua kita menginginkan kita segera menikah.  Waktu itu aku tidak ada pilihan lain. Aku tidak ingin mengecewakan keluarga kita.”

            “Selama  setahun kita pacaran dulu kamu juga tidak mencintaiku?”  kejar Almira seraya menyeka tetesan air matanya. Tidak ada jawaban yang didengarnya setelah itu karena Dimas berlalu dari hadapannya tanpa sepatah kata pun. Hawa dingin dari AC di kamarnya membuatnya menggigil sesaat. Pasti Dimas telah mengatur suhunya hingga di luar batas toleransi yang bisa ditanggungnya. Almira tidak tahan dengan suhu dingin meskipun dia yang memutuskan memasang AC karena Bima membutuhkan udara sejuk agar bisa tidur lelap.

             Taksi yang ditelponnya sudah  berhenti di depan pagar rumahnya. Bima meloncat  girang ke dalam taksi diikuti Almira yang menenteng travel bag warna coklat tua. Segera sesudah menghempaskan tubuh di  dalam taksi, dia menelpon Ibunya untuk memberitahukan kedatangannya malam itu. Harapannya, Bapak dan Ibunya tidak terkejut melihatnya hanya berdua dengan Bima datang ke sana.

            “Kalian kenapa ? “ suara cemas Ibunya segera menyadarkannya kalau dia sedang dalam masalah serius.

            “Tenanglah Bu. Kami hanya berpisah sementara. Kelihatannya Dimas perlu waktu untuk sendiri.”

            Perjalanan mereka ke rumah Nenek  tak sampai setengah jam. Kedatangan mereka disambut Kakek dan Nenek dengan senyum yang dipaksakan agar Bima senang. Almira bisa merasakan itu  ketika   beradu pandang dengan Ibunya.

        “Kamu sudah makan belum Bim?”  Nenek menunjukkan kekhawatiran di wajahnya.

            “Makan malam belum Nek,” Bima melihat Bundanya agak takut-takut. Sepiring nasi goreng yang sudah dihabiskan sebelum membantu Bunda memasukkan pakaian ke dalam tas tadi  pasti tidak akan dilupakan oleh Bunda.

            “Mau makan lagi?” tanya Bunda agak kesal.

            “Biarkan saja kalau dia mau makan lagi. Nenek masak sop dan ayam goreng itu Bim. Sana makan lagi sama Kakek!”

            Tak banyak yang diceritakan Almira kepada Ibunya. Sekali lagi ditegaskan kalau Dimas hanya sedang ingin sendiri karena ada banyak pekerjaan yang harus ditangani akhir-akhir ini. Tentang cinta Dimas yang sesungguhnya tak pernah tumbuh bukan sesuatu yang menarik untuk disampaikan kepada Ibunya. Barangkali Mas  Deni akan lebih bisa memahami permasalahan yang sedang dihadapi kini. Sebagai lelaki dia pasti bisa mengerti perasaan sesama lelaki.  Pikiran tentang Kakak lelakinya itu membuatnya ingin segera menghubungi Mas Deni malam itu juga. Kalau dia tinggal sekota, pasti ke sanalah Almira dan Bima akan datang malam ini.

            “Besok Sabtu kita ke Bandung Bim, “ Almira berkata pelan sesudah menerima telpon dari Mas Deni.

            “Ke rumah Oom Deni ?”  Sepasang mata kecil Bima berbinar cerah.

“Aku kangen Oom Deni, Bunda. Kalau Ayah bisa seperti dia aku seneng sekali. “

            Baru disadari Almira kini kalau Bima lebih dekat pada Mas Deni dari pada Ayahnya. Setiap kali Mas Deni pulang ke Yogya Bima pasti diajak jalan-jalan atau makan-makan di restoran. Dimas sebagai Ayah jarang bisa melakukan kegiatan bersama Bima.  Akhir pekan Dimas lebih banyak digunakan untuk istirahat di rumah karena sudah terlalu lelah dengan tumpukan pekerjaan dari Senin hingga Jumat. Bima sering kesal dibuatnya hanya menunggui Ayah yang tidur sepanjang hari di hari Sabtu. Sementara Bunda masih harus bekerja di akhir minggu.

 Meski  Deni Kakak Almira tapi  dia baru menikah sekitar tiga tahun yang lalu dan masih belum punya anak. Istrinya  sepuluh tahun lebih muda. Mereka  tinggal berjauhan karena Istri Mas Deni lebih  berat pada pekerjaannya dari pada mengikuti Suami. Sementara Mas Deni juga menyetujui Istrinya tetap tinggal bersama orangtuanya di  Yogya. Kelihatannya tak ada masalah  dengan long distance relationship di antara mereka. Bagaimana  bisa terjadi masalah  di antara Dimas dan Almira yang bertemu setiap hari?

Masih ada dua hari lagi sebelum Sabtu. Setiap hari Kakek antar jemput Bima ke sekolahnya sedangkan Almira naik sepeda motor ke kantornya. Supaya tidak mendapat pertanyaan dari teman-teman kerjanya dia sengaja datang lebih pagi. Mereka tidak akan melihatnya berangkat ke kantor naik sepeda motor sendiri. Tidak diantar jemput Dimas menggunakan mobil seperti biasanya.

Walaupun menginap di rumah Ibunya sendiri, Almira merasa gelisah. Sulit memejamkan mata sesudah Bima terlelap di sampingnya. Ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Sebagai Istri yang selalu melayani Suami, rasanya ada yang kurang tanpa menyiapkan makan pagi dan makan malam untuk Dimas. Perhatiannya kini hanya tercurah pada Bima.  

Tak sabar menunggu bertemu Mas Deni untuk mengurai kisah yang sedang dijalaninya. Saat ini dia tak ingin berbagi kisah dengan teman-temannya karena tidak akan membantunya keluar dari masalahnya.  Bisa jadi mereka  malah akan menyebar gosip ke mana –mana yang justru akan menghancurkan keluarganya. Lantas bagaimana mencari ketenangan hati?  Ke mana akan mencari dukungan yang akan menguatkannya.? Apakah Ibu mertuanya sebagai sesama perempuan yang mencintai Dimas akan bisa membantunya? Meskipun ragu, Almira mencoba menelponnya. Mengisahkan petaka kecil yang membuatnya harus meninggalkan rumah.

“Sabar  ya Mira,” hanya kata itulah yang didengarnya. “Ibu juga tidak tahu harus bagaimana. Biarkan saja dia sendiri . Tunggu sampai perasaannya kembali tenang .”

“Sampai kapan saya harus menunggu?”

“Ibu juga tidak tahu.”

Tidak ada seseorang yang diharapkan bisa menolongnya mengatasi masalahnya. Tidak ada mediator yang menghubungkan Almira dengan Dimas. Lelaki pendiam yang telah bekerja keras demi menunjukkan pada Almira bahwa dia adalah Suami yang bertanggung jawab itu tidak punya teman dekat. Semasa kuliah  pun tak ada yang ingin menjadi temannya. Hanya Almira yang dekat dengannya  hingga Dimas berhasil merebut simpati  Bapak Ibu kemudian hubungan keduanya berlanjut ke jenjang pernikahan.

Apakah ada perempuan lain di hati Dimas?  Almira tidak yakin dengan kecurigaannya. Dimas bukan tipe lelaki yang mudah menawan hati lawan jenisnya. Penampilannya biasa saja. Pakaian yang dikenakan bukan kategori pakaian bermerk terkenal. Almira malah lebih sering membeli kain untuk dijahitkan menjadi baju kerja Dimas. Mobil yang dibeli secara kredit itu pun mobil lama  setengah pakai. Tidak ada perempuan yang tertarik melihat penampilan maupun mobilnya. Dia juga tak pandai bermanis-manis kata untuk merayu perempuan. Uang di dompetnya juga tak banyak . Penghasilan Almira lebih banyak darinya.

Hari Sabtu  menjadi awal terbitnya harapan baginya.  Harapan itu terus mengikutinya  sampai taksi yang membawanya dari stasiun   Cicendo berhenti di depan rumah Mas Deni. Kabut tipis masih menyelimuti langit ketika  Bima berteriak kegirangan  begitu bertemu Oom Deni. Keduanya berpelukan lama lalu Oom Deni menciumi Bima. Pandangannya berubah sendu begitu mendapati tatapan mata Almira yang menyimpan kesedihan.

“Bunda, aku mau tidur lagi. Mandinya nanti saja ,” seru Bima dari kamar tidur Oom Deni. Sepanjang malam dia tidak bisa tidur di kereta api karena terganggu oleh suara mesinnya yang menurutnya sangat berisik.

Sangat menguntungkan bagi mereka jika Bima tidur karena tidak perlu berbicara pelan-pelan agar Bima tak mendengarnya. Permasalahan orangtuanya terlalu rumit untuk bisa dimengerti anak sekecil dia. Selama tiga hari ini dia   telah bertingkah menjengkelkan di sekolahnya. Guru-gurunya  sampai kewalahan dibuatnya. Hal itu sempat membuat para guru ingin tahu apa yang sedang terjadi di rumah. Almira bisa dengan pintar menutupinya dengan beralasan kalau Ayah Bima sedang sibuk sehingga Bima butuh perhatian lebih dari orang lain.

“Mira, aku ikut sedih mendengar apa yang terjadi pada kalian,” Mas Deni membuka pembicaraan sesaat setelah Bima tertidur. “Kukira Dimas sedang  bermasalah dengan dirinya sendiri. Dia tertekan oleh pekerjaan dan tesisnya yang nggak selesai-selesai.,”

“Apa hubungannya dengan aku dan Bima?”

“Pekerjaan dan tesisnya itu menjauhkan dia dari kalian. Dia nggak punya banyak waktu untuk kalian dan itu membuatnya merasa bersalah. Ajaibnya, kamu dan Bima tidak pernah mengeluh dan menuntut perhatian darinya. Itu membuatnya merasa tidak berharga bagi  kalian,” Mas Deni menuturkan lebih jelas lagi. Sejurus lamanya terdiam  lalu matanya bergerak ke kanan dan ke kiri  seperti sedang berpikir keras untuk mengatakan sesuatu. “ Kamu terlalu mandiri, Mira. Kalau kekurangan, kamu berusaha mencari tambahan penghasilan sendiri. Dia merasa tidak berguna untuk kalian.  Perasaan itulah yang membuatnya tak ingin bersama kalian lagi.”

“Apakah benar begitu Mas?”  Almira menatap Kakaknya ragu-ragu.

“Lalu apa yang harus kulakukan agar kami bisa tetap bersama?”

            “Tunjukkan padanya kalau kamu juga perempuan yang lemah. Ini untuk membuat dia merasa berharga dan berguna untuk kamu dan Bima,” Mas Deni menepuk lembut punggungnya.

            Almira terdiam lama memikirkan apa yang akan dilakukan untuk menunjukkan kelemahan dirinya. Sejak kecil dia terbiasa mandiri karena didikan orangtuanya yang sangat keras. Kini  sebagai istri dia  tidak boleh terlalu  mandiri  lagi. Ini pasti akan sulit dilakukannya

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.