Barista Keempat Shift Ketiga

Seperti cahaya, Elisa tiba-tiba sudah berdiri di hadapan kami. Tersenyum, dan menatap kami. Istri saya memegang lengan saya. Tangannya gemetar. Bau harum bunga kembali menyeruak, semerbak namun lembut.

Barista Keempat Shift Ketiga
Sumber gambar: pixabay.com

Malam itu kurang lebih pukul setengah duabelas, ketika saya dan istri saya singgah di kedai Laku Kopi Bintaro. Saya memesan V-60, Istri saya memesan vietnam drip. Kami juga memesan seporsi tahu kornet.

Kami adalah pelanggan lama di kedai ini. Tak heran jika kami mengenal pemilik dan para pegawainya. Namun, siapa Elisa? Baru kali itu kami melihatnya.

"Saya baru tujuh hari di sini, Om. Sebelumnya saya di Bali," Jawabnya dengan suara pelan dan datar saat saya mengonfirmasi apakah betul dia orang baru di Laku Kopi. Pantas saja kami belum mengenalnya.

Terakhir kali kami datang ke Laku Kopi adalah sebulan sebelumnya. Jarak dari rumah kami di Kelapa Gading ke Bintaro yang terbilang sangat jauh tak menghalangi kami untuk, minimal sebulan sekali, datang ke sini. Kalau pas ingin ke Laku Kopi, saya atau istri saya cukup mengucap kode, "Ngopi enak, yuk!" dan berangkatlah kami ke Laku Kopi.

Biasanya, kedai ini selalu ramai. Namun, malam itu kedai sangat sepi. Kami tak melihat siapa pun selain Elisa. Ke mana yang lainnya?

Layar di telepon genggam saya menunjukkan pukul 00:13. Pantas saja. Sebagian bangku sudah tengkurap di atas meja kedai. Di bar, Elisa sibuk membersihkan dan menata perabotan. Meja bar juga tak luput dari sentuhannya. Sekali dua dia menyemprotkan cairan pembersih di atas meja itu lalu mengelapnya dengan pelan. Entah cairan apa yang digunakannya, bau harum ratus bunga.

Tak ada suara musik. Tak ada sendau gurau sebagaimana biasanya. Dan udara terasa begitu dingin.

Sesekali saya melirik Elisa. Wanita muda berkulit sawo matang dengan wajah manis dan berambut panjang itu masih nampak segar. Tak sedikit pun terlihat lelah. Seolah, dia baru saja memulai pekerjaannya hari itu. Apron hitam yang menandakan dia seorang barista kedai juga masih nampak sangat bersih.

Sesekali, lirikan kami beradu. Dan, ketika itu terjadi, saya merasakan getaran aneh. Seperti ada energi lain yang keluar dari matanya yang membuat mata saya terus tertawan oleh kelopak matanya yang bulat indah. Energi yang membuat jantung saya mendadak berdegub kencang dan melahirkan bulir-bulir keringat di kening saya. Bersamaan dengan itu, pori-pori kulit saya pun terangkat menjadi butiran-butiran di sepanjang lengan.

Seperti cahaya, Elisa tiba-tiba sudah berdiri di hadapan kami. Tersenyum, dan menatap kami. Istri saya memegang lengan saya. Tangannya gemetar. Bau harum bunga kembali menyeruak, semerbak namun lembut.

“Ada pesanan lain, om?” tanya Elisa dengan suara datar.

Entah kenapa, lidah saya mendadak kelu. Tercekat. Mata saya, lagi-lagi, tertawan oleh tatapannya. Istri saya mengguncang-guncang lengan saya, ngasih kode agar kami segera pulang saja. Melihat gelagat istri saya, Elisa mengarahkan pandangan padanya, tersenyum ramah, lalu tanpa sepatah kata pun, perempuan barista itu meninggalkan kami menuju bar.

Pukul 00:30, saat itu. Kami memutuskan pulang. Sepanjang jalan, kami terus membicarakan Elisa yang misterius dan suasana kedai yang tak seperti biasanya.

*

Sebulan setelah kunjungan itu, kami datang lagi ke Laku Kopi. Pukul 7 malam, kurang lebihnya. Tak seperti malam itu, kali ini suasana kedai cukup ramai. Kami mengambil meja di smoking room. Duduk bersama kami adalah Diah, pemilik kedai yang biasa dipanggil Tante Didi, dua orang pegawai kedai, dan seorang pelanggan yang baru kali itu kami berkenalan.

"Elisa ke mana?"

"Elisa siapa?" Didi bertanya balik.

"Barista yang manis itu,"

"Barista? Di sini gak ada barista cewek,"

"Yang dari Bali itu, loh..."

"Dari Bali?"


Saya ceritakan kunjungan kami malam itu. Tentang Elisa yang melayani kami dengan baik. Termasuk profil Elisa yang manis, berambut panjang, berbadan tinggi, namun agak misterius. Saya juga ceritakan bagaimana cara Elisa menyajikan pesanan kami, jumlah uang yang kami bayarkan untuk seporsi tahu kornet, secangkir V60 dan Vietnam drip. Semuanya saya ceritakan.

Tak ada yang salah, kata Tante Didi, semuanya sesuai SOP.

“Tapi, Elisa tuh siapa?” tanyanya.

Kemudian, berbekal galeri foto di dalam gawainya, Didi menunjukkan satu persatu foto pegawai Laku Kopi. Tak ada satu pun yang mirip Elisa.

"Di sini hanya ada tiga barista dan semuanya cowok," Didi menerangkan, "Memang ada tiga cewek, satu helper, satu kasir, dan satunya lagi saya,"

"Lalu, siapa Elisa? Siapa yang ngelayanin kami waktu itu?" tanya saya masih nggak percaya.

"Kalau benar ada yang melayani Om dan Tante malam itu, saya akan menegurnya. Karena last order di sini jam sebelas malam," lanjut Didi.

 

Tapi saya masih nggak percaya. Saya menduga, mereka hanya sedang membercandai kami. Membercandai pelanggan adalah hal yang lumrah di kedai ini. Bahkan, saya tahu, ada pelanggannya yang dipanggil Om Sidikalang hanya karena selalu memesan kopi Sidikalang. Ada pula yang dipanggil Om Satria Bergitar karena dia selalu meminjam dan memainkan gitar kedai sambil ngopi. Namun, suasana itulah yang justru bikin akrab dan bikin saya kangen untuk kembali lagi ke kedai ini.

"Sebentar, om ama tante ke sini tanggal berapa?" tanya Bagja, salah satu barista kedai yang ikut nimbrung.

Kusebutkan hari dan tanggal kunjungan kami malam itu.

"Lah, hari itu kan tutup, kita lagi outing di Pulau Pramuka,"

"Waduh!"

"Hmmh, sepertinya om ama tante lagi beruntung," ucap Didi.

"Beruntung gimana?

"Dilayani barista keempat shift ketiga."

 

Seketika, tawa kami pecah. Entah di mana lucunya. Tapi, sudahlah, namanya juga di kedai kopi. Hal sereceh apa pun bisa berbuah tawa. Hal yang bikin merinding pun bisa jadi candaan.

"Ngomong-ngomong, kopi bikinan Elisa enak gak, om?" tanya Bagja.

"Enakan ini sih," jawab saya sambil menyeruput V-60 Toraja Sapan.


Hmmh… untung kopinya sedap, suasana kedainya juga akrab. Jadi, saya nggak punya alasan untuk tidak kembali lagi ke Laku Kopi. Ditambah lagi, selalu ada cerita di Laku Kopi. Cerita itu bisa tentang apa saja dan dari siapa saja. Selain karena kopinya yang nikmat, suasana akrab khas kedai itulah yang membuat saya kembali lagi, lagi, dan lagi ke Laku Kopi yang beralamat di Ruko Althia Mahagoni Bintaro Jaya, Jalan Graha Raya Bintaro 12 A-B, Tangerang Selatan.

Mau ke sana? Ingat, jangan ke Laku Kopi di atas jam sebelas malam. Udah lewat last order!

 

***

Bintaro, 20 November 2018

Ditulis berdasarkan pengalaman nyata salah satu pelanggan Laku Kopi

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.