Wuwung Wangi
Wuwung (n.) Wuwung-an, bubungan atap.
![Wuwung Wangi](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_60819c78e8701.jpg)
–Kindly play Runaway by AURORA while you read this.
Panglima berjalan tertatih dengan kedua tungkainya yang tak lagi bisa dirasakannya. Tertatih dengan peluh menuruni dahinya, lehernya, membasahi pakaiannya. Peluh dari bekas pelarian yang pernah mencecap sedikit rasa bebas, yang kini ia sadari mulai berubah menjadi rasa takut.
Panglima memegang erat kekang kudanya supaya hewan itu tidak kabur untuk kedua kalinya. Supaya ia cepat pulih dan bisa segera dinaiki, agar tak lagi ia rasakan kakinya yang mati rasa berjalan tertatih-tatih. Tangan kirinya menyibak kasar helai rambut yang berjatuhan ke wajahnya supaya tidak menghalangi pandangan. Pelan-pelan, kepalanya mendongak, matanya melihat menembus dedaunan dari pohon-pohon yang menjulang tinggi. Memang sedikit tapi ia yakin pasti, matahari sudah perlahan turun. Sebentar lagi malam tiba, padahal ia belum menemukan tujuan.
Panglima dan kudanya, berdua tersaruk-saruk berjalan terus entah hendak ke mana. Sinar yang masuk dari sela-sela pepohonan makin lama makin memudar dan rumput-rumput serta semak-semak justru terasa tumbuh makin cepat, melukai kulit mereka di sana dan sini. Tubuhnya tak mengenal perintah lain selain jalan terus, dan jalan terus.
Benaknya hampir memaksanya untuk jatuh, atau mungkin menghilangkan kesadarannya, ketika indera penciumannya menangkap sesuatu. Sesuatu yang mungkin dapat menyelamatkannya dari kelelahan, haus, dan lapar sejak sehari lalu. Kakinya melangkah merubah arah. Tangannya yang lemah merogoh kantong belakang celananya dan mengeluarkan sebilah pisau dari sana. Dengan sedikit paksaan, dengan pisaunya ia memotong semak dan dedaunan yang menghalangi jalannya. Semakin jauh ia buka rangkaian sulur yang menutupi jalannya, semakin banyak goresan didapatkannya. Demi mengejar bau itu, dia tetap melangkah.
Entah sudah berapa lama dia tersandung dan tersengal, yang jelas bau itu semakin menguat. Tangannya berhenti memotong ketika apa yang dilihatnya di depan sana membuatnya terbata-bata merapal syukur. Tubuhnya ambruk ke depan ketika ia mendengar sebuah suara yang samar-samar datang ke arahnya. Pandangannya mengabur ketika sosok itu tampak semakin jelas, dan kemudian sepenuhnya hitam saat sebuah tangan menggapai jatuhnya.
[*****]
Untuk kedua kalinya, bau itu membangunkan Panglima dari situasi buruknya. Namun kali ini ia bangun dari tidur. Langit-langit yang dilihat oleh matanya pertama kali sama sekali asing. Begitupun dengan lantai kayu kasar yang menyapa kulit lengan dan pergelangan kakinya, atau aroma rempah-rempah yang menggeser bau asing tadi.
“Kukira kau akan tidur sampai besok.”
Panglima terkesiap, berusaha bangun untuk duduk tapi kembali jatuh dengan kepala yang seakan berputar cepat. Suara itu mendekat ke arahnya, mulai menampakkan wujudnya yang berupa seorang lelaki. Ia berjongkok dan meletakkan sebuah gelas berisi air ke lantai. Tangannya memegang bahu Panglima, perlahan membantunya duduk dan bersandar pada dinding.
“Siapa kau?”
“Respons yang bagus untuk orang lemah yang baru bangun dari pingsan selama tiga jam. Tapi lebih baik kau minum dulu airnya, atau kau bisa berbaring lagi dan bangun dua jam berikutnya.”
Panglima mendengus kesal. Ia tak suka dibantah, tapi ia akhirnya menurut. Air hangat itu diminumnya sampai habis. “Terima kasih,” gumamnya.
Lelaki itu tersenyum. Ia duduk di depan Panglima dan menyodorkan mangkuk yang menguarkan bau rempah-rempah yang Panglima baui sejak tadi. “Makan ini.”
Panglima baru ingat bahwa salah satu hal yang membawanya kemari adalah rasa lapar. Tanpa basa-basi ia mengambil mangkuk itu dan mulai memakan isinya.
Sup, entah daging apa. Ada wortel dan bayam juga, tapi rasanya jelas sekali rasa masakan lelaki. Rempahnya kuat tapi rasanya masih tipis-tipis, entah gurih atau hambar. Meski begitu Panglima menghabiskannya kurang dari lima menit.
Setelah perutnya terisi, barulah ia merasakan inderanya kini sepenuhnya bekerja. Cahaya remang-remang yang bergerak-gerak memenuhi ruangan ini berasal dari tungku, yang juga berfungsi untuk menghangatkan ruangan. Ia kemudian sadar bahwa ruangan ini adalah sebuah dapur.
Sebuah dapur yang aneh, tepatnya. Karena bukannya dipenuhi oleh bahan makanan, mejanya justru terisi oleh dedaunan dan kelopak bunga-bunga. Beberapa rak juga penuh oleh kotak kayu, atau botol kaca dari berbagai ukuran. Panglima tidak tahu harus menyebut tempat ini sebagai apa.
“Maaf kalau supnya tidak membuatmu begitu kenyang, tapi jadwal memasakku adalah besok pagi,” ujar lelaki itu sambil menerima kembali mangkuknya. “Kalau sudah baikan, kau bisa kembali tidur di kamar.”
Panglima menyahut, “aku tidak mengantuk.” Ia sedikit kaget suaranya sudah kembali normal. Makanannya benar-benar manjur.
“Ah, betul. Kau baru saja bangun. Bagaimana kalau kita obati luka-lukamu?”
Panglima mencoba bangkit, tapi ternyata kakinya masih gemetaran. Ia berdeham dan melihat ke arah pandangan lelaki itu. Rasa sakit dari goresan di tangan dan kakinya baru terasa saat ia sadar tubuhnya penuh luka.
“Aku tidak bisa memercayakan tubuhku pada orang asing.”
Lelaki itu diam sebentar sebelum tertawa terbahak-bahak. “Maksudnya kau ingin aku memperkenalkan diri?”
Panglima mencoba mempertahankan wajah seriusnya.
Lelaki itu menyodorkan tangannya. “Namaku Daksa. Daksa Padapa.”
Ragu-ragu, Panglima menjabat tangannya. “Aku Panglima.”
Daksa menyimpan tangannya sambil menganggukkan kepala. “Itu nama yang bagus.”
“Orang-orang memanggilku Alma, tapi aku lebih suka kau memanggilku Panglima.”
“Baiklah, Panglima.”
Daksa adalah orang pertama yang memuji namanya. Bukannya memprotes bagaimana namanya terdengar seperti nama laki-laki, atau namanya adalah nama yang aneh. Panglima suka itu.
“Terima ini, Panglima.”
Mengatasi keterkejutannya, Panglima menerima sebuah botol kecil dari tangan Daksa dengan sedikit terburu-buru. Botolnya hampir jatuh, dan itu mengundang komentar dari Daksa. “Hati-hati, aku menghabiskan seminggu untuk meraciknya.”
Panglima mencibir, tapi kemudian sadar bahwa ini adalah bau yang menjadi pertanyaannya sejak tadi. Bau yang menuntunnya melangkah kemari. “Apa ini?”
Tanpa menoleh dari meja dapurnya, Daksa bicara dengan tenang. “Esensi Rosewood. Itu berguna untuk meredakan penat dan syok mentalmu.”
Panglima membuka sumbat botolnya dan mendekatkan hidungnya pada bibir botol. Wanginya manis, tapi menenangkan. “Aku tidak pernah dengar sebelumnya.”
“Tapi kau pasti kenal Sonokeling. Keduanya sama saja. Minyak atsiri yang kau pegang sekarang berasal dari kayunya.”
Daksa berlutut dan mengambil botol itu dari tangan Panglima. Ia menuangkan beberapa tetes ke jari telunjuk gadis itu. “Oleskan di dahi dan belakang telingamu. Ini akan membantu.”
Saat itulah Panglima baru sadar bahwa tubuhnya lengket akibat keringat yang setengah mengering. “Tidak bisakah aku mandi dulu?”
Daksa berdeham dan memainkan botol minyaknya. “Kurasa sebaiknya besok pagi saja. Aku tidak mau membakar kayu untuk memanaskan air malam-malam begini. Dan … eh, aku sudah membasuh lenganmu saat kau pingsan tadi. Kurasa cukup steril untuk diobati tanpa … yah, tanpa kau perlu mandi.”
Panglima melotot, tapi sadar dia tidak bisa berbuat apa-apa. Yang keluar dari mulutnya hanyalah terima kasih sekali lagi. Ia menuruti Daksa dan mengoleskan minyak itu di dahinya. Pelan-pelan tubuhnya terasa lebih rileks.
Daksa meletakkan minyak tadi di lantai, dan kini ia mengambil botol lain yang ukurannya sedikit lebih besar. “Ini minyak tawon racikanku. Tutup hidungmu kalau baunya aneh.” Daksa berbicara.
Panglima menurut dan menutup hidungnya dengan jari. Sementara ia menyodorkan tangannya yang sebelah untuk diobati Daksa.
“Aku sudah membersihkan lukanya sampai steril, tapi kalau masih sakit tolong tahan sedikit.”
Minyak yang dioleskan di luka-luka sepanjang lengannya bereaksi begitu cepat. Rasanya agak perih, tapi hangat. Baunya kuat sekali. “Seperti jamu,” kata Panglima.
“Apa?”
Panglima menyodorkan tangan yang satunya. “Kubilang seperti jamu. Bau minyak ini.”
Daksa mengangguk. “Tidak seenak bau Rosewood, aku paham.”
Panglima mengamati jemari terampil lelaki itu mengoles obat di lengannya. Cukup lama dan detail, sampai akhirnya ia menutup botolnya, dan berganti ke botol yang lain. “Maaf, tapi aku akan mengobati kakimu sekarang,” katanya.
Panglima menyibak celana kainnya dan meluruskan kakinya pelan-pelan. Pergelangan kakinya terasa sakit sekali. Daksa memegangnya dengan lembut. “Sejauh apa kau berjalan, Nona?”
Panglima terdiam. “Mungkin seharian penuh,” gumamnya. “Kaki kudaku terjerat sulur dan ia hampir kabur. Dia terluka dan aku tak bisa menaikinya, jadi aku berjalan.”
Daksa membuka sumbat botol baru itu. “Kuharap minyak pala ini bisa menyembukan sendimu yang terkilir.”
“Kenapa beda lagi?”
Daksa mendongak. “Minyaknya? Tentu saja, karena khasiatnya berbeda,” ujarnya kemudian kembali pada kaki Panglima. “Dan aku juga ingin kau cepat sembuh.”
Panglima terdiam, tapi wajahnya jelas menyiratkan tanya. Daksa selesai mengobati kakinya ketika ia menyadari diamnya Panglima. Lelaki itu menatapnya dalam-dalam.
“Kau tampak hendak pergi dari sesuatu. Atau menuju sesuatu, yang aku tak tahu apa itu. Kalau memang benar, bukankah buruk bagimu terluka dan terjebak di pondokku ini?”
Panglima lagi-lagi terdiam. Ia tidak membenarkan atau menyanggah perkataan Daksa. Lelaki itu juga tidak meminta jawaban. Ia hanya tersenyum.
“Sebaiknya kau kembali tidur. Sisanya bisa kita bicarakan besok pagi.”
[*****]
Ketika bangun dan hendak menuju kamar mandi di luar, Daksa mendapati Panglima tertatih-tatih berjalan keluar dari kamarnya. Daksa dengan sigap mendekat dan memapahnya.
“Kenapa kau tidak panggil aku saja?”
Panglima menunduk malu. “Kukira sudah bisa jalan. Aku tidak mau terlalu merepotkanmu.”
Daksa mendudukkan gadis itu di tangga pondok yang turun menuju ke kamar mandi. “Tunggu di sini. Aku akan mengambilkanmu pakaian.”
Panglima melihat lelaki itu memasukkan gelondong kayu besar-besar dan membakarnya di tungku sebelum ia kembali masuk ke dalam pondok. Waktu yang dihabiskan Daksa di dalam membuat Panglima memanfaatkannya dengan memandang berkeliling.
Seperti yang dia pikirkan semalam, letak pondok ini memang masih di dalam hutan. Namun sedikit berbeda dari jalan yang ia tempuh kemarin, dari belakang pondok ini dapat terlihat jalan setapak yang mengarah entah ke mana. Panglima menduga itu adalah jalan keluar dari hutan. Dapat ia simpulkan, pondok ini benar-benar ideal untuk seorang penyendiri.
Setiap kali ia menarik napas, tercium wangi lilin yang dinyalakan Daksa di penjuru pondok semalam. Lelaki itu bilang lilin lavender bisa mengusir nyamuk dan membantu mereka tidur nyenyak. Panglima hanya tidak menyangka efeknya akan bertahan selama ini. Panglima suka.
“Hei, ini.”
Panglima menoleh dan mendapati Daksa sudah membawakannya sepasang pakaian. “Aku tidak tinggal dengan wanita, tapi ini pakaianku yang ukurannya paling kecil.”
Panglima baru ingat ia datang kemari dalam keadaan kacau-balau. Pakaiannya sobek sana-sini, jubahnya bahkan tersangkut entah di mana, juga ranselnya yang jatuh di suatu tempat di hutan ini. ia datang dengan tangan kosong. Malu-malu, Panglima menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.
Kehadiran Panglima di pondoknya tak lantas membuat Daksa melupakan rutinitas paginya. Ia kembali ke dapur untuk merebus air hangat dan kembali ke belakang untuk membakar lebih banyak kayu untuk memanaskan air mandi. Panglima selesai ketika ia juga selesai memetik bunga telang untuk teh pagi mereka.
“Apa itu?” tanya Panglima.
Daksa memberikan kelopak bunga-bunga biru itu pada Panglima. “Bunga telang. Akan enak untuk campuran teh nanti.”
Daksa membantu Panglima menaiki tangga untuk kembali ke dalam pondok. “Aku akan mandi, dan kau, bisakah memasak?”
Panglima memutar bola matanya. “Kau meremehkanku.”
Daksa tertawa. “Baiklah, masak apa saja yang ada di lemari. Asal jangan sentuh ramuan-ramuanku, atau bunga-bunga dan ranting-ranting, atau alat-alatnya.”
Daksa membuat Panglima mengerti seberapa berartinya sebagian besar barang dalam dapur aneh itu baginya, hanya dengan satu perintah. “Aku mengerti.”
Sepeninggal Daksa, Panglima mulai membuka lemari makanan dan mengeluarkan sayuran dari sana. Daksa tidak memberinya pilihan selain memasak sup. Ia menggerutu. “Masak apa saja yang ada di lemari,” ujarnya menirukan suara lelaki itu.
Sembari menunggu supnya matang, ia juga menanak nasi. Semua dia lakukan perlahan-lahan, karena kakinya yang masih sakit. Prosesnya juga tidak cepat, karena tungkunya hanya bisa muat satu panci. “Merepotkan,” keluh Panglima.
“Kau cuma belum terbiasa. Dan bisa juga karena kau lapar dan jadi tidak sabar.”
Daksa sudah berdiri di belakangnya. Lelaki itu berkutat dengan lemari makanan dan mengeluarkan roti dari sana. Benda yang sebelumnya tidak dilihat oleh Panglima. “Kau benar-benar lapar. Kau bahkan tidak mengeluarkan rotinya.”
Panglima malu sekali tapi Daksa hanya tertawa. Ia meletakkan roti di meja dan menepuk pundak Panglima yang berjongkok di depan tungku, mengaduk supnya. “Aku akan bawa teh dan rotinya ke depan. Kita makan di teras.”
“Aku akan menyusul,” ujar Panglima sambil pura-pura sibuk memasak. Laki-laki itu punya kebiasaan muncul tanpa aba-aba. Panglima harus waspada kalau tidak ingin membuat dirinya malu lagi.
[*****]
Panglima menghirup cangkir tehnya dalam-dalam. Rasanya menenangkan. Juga kicau burung dan desir dedaunan oleh angin, semua membuatnya merasa tenang. Diam-diam lelaki di depannya itu juga, Panglima merasa Daksa adalah pusat dari hutan ini. kicau burung, kepak sayap mereka, desir angin, gemerisik dedaunan, semua terasa seperti mengarah padanya. Lelaki itu punya andil kuat dalam pondoknya, juga tanpa disadari, pada hutan ini.
“Apa kau merasa baikan?”
Panglima mengembuskan napasnya. “Ya, dan itu berkatmu. Terima kasih.”
Daksa mengangguk. “Sama-sama. Kau boleh menetap dulu sampai kau bisa berjalan dengan baik.”
“Kau baik sekali,” kata Panglima.
Daksa memainkan cangkirnya. “Tidak gratis, Nona. Kau bisa bayar aku dengan cerita, misalnya?”
Panglima memicing tajam. “Apa maksudmu?”
“Tidakkah kau merasa lancang?” tanya Daksa dengan tenang. “Aku memberimu makan, tempat tinggal, pakaian, dan bahkan obat untuk luka-lukamu.”
Panglima meletakkan cangkirnya. Waspadannya meningkat. “Apa kau mata-mata yang diutus kerajaan?”
Daksa mengedip bingung, kemudian tertawa rikuh. “Wah, kau jahat sekali. Aku benar-benar hanya ingin menolongmu. Apa aku tidak pantas dapat penjelasan dari mana kau berasal? Atau sebenarnya kau ini hendak ke mana?”
“Mata-mata? Omong kosong apa?”
Panglima merasa malu, tapi juga lega. Ia terlalu santai sejak kemarin, dan kini rasa takut itu kembali. “Maaf,” sesalnya.
“Jadi, Panglima, maukah kau bercerita?”
Gadis itu tampak ragu, tapi Daksa berhasil membuatnya bicara. “Aku kabur,” katanya.
“Semua berawal dari namaku, Panglima. Aku anak dari seorang mantan Jenderal, dan mantan Panglima prajurit wanita terakhir di kerajaanku. Bicara tentang prajurit wanita, kau pasti tahu tentang perang terakhir antara Utara dan Timur. Banyaknya wanita yang mati di medan perang dianggap menyusahkan, dan itu membuat keberadaan prajurit wanita ditiadakan hingga saat ini.”
Panglima menyesap tehnya sebelum lanjut berbicara. “Ibuku mati di sana. Perang terakhirnya setelah ia melahirkan aku. Anak perempuan yang ia beri nama sesuai dengan pangkatnya di jajaran pasukan, Panglima. Aku tumbuh kuat diiringi cibiran tentang bagaimana seharusnya perempuan bersikap, atau namaku yang seharusnya diganti. Demi menyelamatkan kehormatannya, ayahku bahkan sama saja dengan mereka. Mereka bahkan tidak mau memanggilku dengan namaku, dan membuat panggilan sendiri. Mereka menolak kehadiran anak perempuan yang tampak kuat, seperti lelaki kata mereka. Atau sebut saja dengan sederhana, mereka menolak kehadiranku.”
Daksa mengamati wajah tegas itu bercerita. Matanya Panglima mengawang jauh, seperti mencari sesuatu di antara pepohonan, semak belukar dan rumput liar. Daksa melihat gadis kuat itu menari di atas torehan lukanya. Sesuatu yang jelas Panglima sembunyikan untuk selalu tampak kuat, tapi kini tak dapat lagi ia bendung.
“Dan begitulah, ayahku turun dari jabatannya karena usia. Aku hendak pergi menggantikannya, tapi malah kena murka dan dipermalukan. Aku mencintainya, tapi aku merindukan kebebasan. Sesuatu yang tak pernah kudapatkan sejak aku dilahirkan.” Panglima tersenyum kecil. Kini ia menatap Daksa sepenuhnya.
“Karena itulah aku kabur. Ingin pergi dan mencari tempat yang bisa menerima seorang Panglima yang akan bersikap selayaknya Panglima. Tapi aku malah tersesat dan hilang arah. Ah, dari awal saja mungkin aku tidak punya tujuan.” Panglima menertawakan dirinya. “Aku hanya ingin pergi. Yang kucari adalah kebebasan.”
Daksa menghela napas kemudian tersenyum. “Kau salah pada bagian tidak pernah merasakan kebebasan sejak dilahirkan,” katanya. “Melalui namamu, kau sudah bebas. Mungkin sempat hilang, dan kau boleh pergi untuk mendapatkannya kembali. Kau memang terlahir untuk jadi Panglima.”
Sejenak Panglima tertegun mendengarnya. Daksa benar-benar orang pertama yang bisa membuatnya merasakan apa yang ingin ia rasakan. “Terima kasih.”
“Sama-sama,” balas Daksa. “Lagipula semua orang harusnya bisa melihat itu dengan jelas. Sinar dari matamu, bicaramu yang tegas, sikap berontak, dan keberanianmu mengambil keputusan. Kau memang Panglima.”
Panglima merasa pipinya memerah. Bukan karena malu, tapi kali ini karena senang. Ia berdeham dan mencoba mengganti topik. “Bagaimana denganmu?”
“Aku?”
“Ya. Siapa kau, atau bagaimana kau bisa tinggal di tengah hutan, atau mengapa kau tinggal sendiri? Ayolah, aku juga ingin dengar.”
Daksa tersenyum. Dan Panglima menyadari daya pikat lelaki itu selain ada pada pembawaannya yang selalu tenang, juga ada pada senyumnya yang indah, dengan sebuah lesung menghiasi pipi kirinya.
“Menurutmu aku ini apa?”
Panglima berpikir sejenak. “Tabib? Dukun? Yah, itu karena dapurmu penuh dengan rempah dan tumbuhan aneh, dan kau juga tampak ahli dalam urusan obat-obatan.”
Daksa tertawa kencang, sampai suaranya membuat beberapa burung beterbangan dari pohon-pohon dekat pondok itu. “Yah, kau tidak salah. Tapi lebih tepatnya aku ini ahli tumbuhan.”
“Intinya kau membuat obat?”
“Bukan hanya obat, tapi juga wewangian minyak atsiri seperti rosewood yang sudah kau kenal,” ujarnya menjelaskan. “Aku bekerja untuk kerajaan, dan sebenarnya Daksa adalah gelar yang kuwarisi turun temurun. Daksa artinya ahli, sementara Padapa itu tetumbuhan. Bisa kau lihat, aku juga terlahir untuk jadi seperti aku.”
Panglima ikut tertawa. “Aku setuju.”
Daksa menikmati mengamati bagaimana Panglima tertawa. Matanya menyipit dan pipinya merona merah. Meski masih tampak pucat dan lemah, gadis itu bisa dibilang dalam proses pulih, yang Daksa bisa billang cukup cepat dari perkiraannya.
“Kalau kau bekerja untuk kerajaan, mengapa kau tinggal di sini?” tanya Panglima. “Ini di tengah hutan. Kau jauh dari perkotaan dan pusat kerajaan. Bagaimana kau makan? Atau bagaimana kau mengatasi bosan hidup sendirian?”
“Kau baru tiba di sini sejak semalam, dan ini sebenarnya sudah di pinggir hutan,” kata Daksa. “Justru untuk menjaga temperatur dan kualitas minyak atsiri buatanku, aku tinggal di sini. Beberapa dari mereka cepat menguap atau tidak boleh juga terkena kulit langsung, jadi aku harus menjaganya dengan benar.”
Panglima mengerutkan dahinya. “Kedengarannya rumit.”
“Memang, tapi aku mencintai pekerjaanku.” Daksa tersenyum. “Tinggal di hutan juga berarti aku dekat dengan alam, sumber bahan-bahan untuk ramuanku. Aku juga tidak terlalu suka keramaian, dan di sini aku bisa bekerja dengan tenang tanpa diganggu. Kalau kerajaan butuh keterampilanku, mereka bisa membawa pasiennya kemari atau mengutusku pergi ke sana. Sederhana, semuanya sempurna.”
“Ah, dan untuk pertanyaanmu tentang maknanan, aku biasanya berburu. Aku juga pergi ke kota seminggu sekali, untuk belanja bahan ramuan yang tidak kutemukan di hutan, dan membeli bahan makanan.”
“Kau pergi menggunakan apa? Jalan kaki?”
Daksa menggeleng sambil terbahak. “Aku puya kuda. Oh, kudamu juga sudah kutaruh di kandang. Maaf, aku lupa bilang padamu.”
“Tidak apa-apa,” kata Panglima. “Terima kasih.”
Rasanya tak cukup segala terima kasih yang Panglima berikan untuk Daksa. Menerimanya saja sudah di luar akal Panglima, dan bahkan lelaki itu mengobatinya, dan mengijinkannya singgah sampai ia bisa melanjutkan perjalanan. Panglima beruntung bertemu dengannya.
[*****]
Sesuai yang Daksa janjikan, ia menerima Panglima di pondoknya sampai gadis itu pulih sepenuhnya. Tidak butuh waktu lebih dari seminggu bagi Daksa dan obat-obatan serta ramuan minyaknya—Panglima menyebutnya begitu—untuk membuat Panglima berjalan normal dan menghilangkan bekas luka di tubuhnya. Malam ini adalah malam terakhir bagi Panglima untuk singgah di pondok milik Daksa.
“Katanya kau mau buktikan padaku kalau dari sini juga bisa melihat bintang?” celetuk Panglima seusai mereka makan malam.
“Aku memang mau menunjukkannya padamu sekarang,” jawab Daksa. Lelaki itu mengambil lentera gantungnya dari tempatnya semula di dekat pintu. Ia juga melemparkan sebuah jubah pada Panglima.
“Pakai ini. Kita akan berjalan agak jauh.”
Panglima berjalan di sebelah Daksa yang memimpin jalan dengan cahaya dari lentera yang dipegangnya. Hutan pada malam hari ramai oleh suara jangkrik, kepak sayap kelelawar, dan beberapa kali gemerisik semak-belukar.
“Kau tidak takut?”
“Sudah biasa.”
“Pondok tidak kau kunci dengan benar. Apa tidak akan ada yang masuk?”
“Seperti apa misalnya?”
Panglima bergidik atas bayangannya sendiri, membuatnya mendekatkan diri pada tubuh lelaki itu. “Misalnya perampok? Atau mungkin beruang liar?”
“Tidak ada manusia yang bisa menemukan pondokku, Panglima,” ujar Daksa. “Dan semua binatang serta tumbuhan di hutan ini bisa dibilang sudah mengenalku. Mereka tak akan menyakitiku kalau aku tidak menyakiti mereka.”
“Bisa dibilang kau rajanya hutan ini, begitu?” Panglima mendengus. “Dan aku ini manusia, aku bisa menemukan pondokmu.”
Daksa berhenti dan menoleh untuk menatapnya. “Kau itu pengecualian. Sampai sekarang aku baru ingat untuk bertanya, apa yang membawamu datang ke pondokku?”
Panglima merasa aneh. Lelaki itu punya kemampuan unik membuat hal-hal di sekitarnya patuh dan menuruti permintaannya. “Minyak Rosewood,” bisik Panglima. “Baunya tercium dan aku mengikutinya. Begitulah aku sampai di pondokmu.”
Daksa menatapnya dalam-dalam, membuat napas Panglima tercekat. Namun tidak ada hal lain yang dilakukan lelaki itu selain menepuk dahi Panglima. “Kau beruntung,” katanya.
Panglima masih terpaku di tempatnya berdiri ketika Daksa menariknya untuk berjalan lagi, dan berhenti lagi tak lama kemudian. Kini di hadapannya terbentang sebuah danau kecil yang tampak tenang. “Kita sampai,” ujar Daksa.
Panglima menatap lelaki itu dengan heran. “Maksudmu? Katanya kita akan melihat bintang?”
Daksa tersenyum dan memberikan lenteranya untuk dipegang oleh Panglima. Ia sendiri berdiri di belakang Panglima untuk menurunkan tudung jubah gadis itu. Mereka maju sampai ke bibir danau.
“Kita memang akan melihat bintang.”
Daksa berjongkok dan Panglima mengikutinya. Daksa yang diam membuat Panglima semakin bingung, tapi gadis itu mengikuti arah pandang Daksa. Seketika ia mengerti apa yang Daksa maksud.
Danau itu memantulkan langit di atasnya, yang sama sekali tidak tertutup oleh dahan pohon dan dedaunan, seperti yang sudah bosan Panglima lihat di penjuru hutan ini. Airnya tampak menyala terang akibat pantulan sinar bintang-bintang. Tak hanya itu, cahaya terang dari danau juga memikat banyak kunang-kunang untuk datang. Hewan kecil bercahaya yang indah, pantulan sinar bulan, serta suasana ynag tenang. Hal paling indah yang pernah Panglima saksikan sepanjang hidupnya.
“Ini indah,” gumamnya.
Daksa mengamati gadis itu terpesona, sementara baginya pemandangan ini sudah biasa. “Kau bisa kembali kapan saja, Panglima.”
Mendengar namanya, Panglima menoleh. “Kembali ke mana?”
“Ke sini,” jawab Daksa. “Kau bisa kembali ke sini kapanpun kau bosan melihat bintang yang anti kau liaht di langit kota tempatmu tinggal. Atau kalau kau penasaran bagaimana danau ini terlihat di siang hari, aku akan menunjukkannya padamu.”
“Terima kasih,” ucap Panglima tulus. “Itu sangat berarti. Terima kasih telah menerimaku, Daksa.”
“Kapanpun, Panglima. Dan mungkin sudah saatnya kau memanggilku Bumi.”
“Bumi?”
Daksa mengangguk. “Namaku. Daksa Bhumi Padapa.”
Panglima membalas jabat tangan lelaki itu. “Kalau kau mampir ke kota setelah hutan ini, kau tidak akan menemukanku hanya dengan menyebut gelar Daksa. Bisa-bisa kau bertemu dengan ayahku.”
Panglima tertawa. “Baiklah Bumi. Dan sebaiknya kau juga ingat untuk balas menyapa kalau kita bertemu di jalan.”
“Mana mungkin aku lupa, hanya ada satu Panglima yang kukenal.”
Malam itu Panglima berhasil lupa tentang tujuannya mencari bebas. Hutan itu, danau, pantulan sinar bulan, kicau jangkrik dan kelip kunang-kunang, serta Daksa di sebelahnya, semua itu membuatnya merasa telah sampai pada tujuannya. Pondok di tepi hutan itu berwujud lebih besar dalam benak Panglima, dan rumah itu mencakup semua yang telah menerimanya dan menyambut kedatangannya. Tempat itu ia beri nama; Wuwung Wangi.
[*****]
Seperti seminggu yang sudah Panglima lewati di pondok Daksa, pagi ini ia kembali mencium atsiri lavender memenuhi rumah. Ia keluar dari kamar dan mendapati Daksa sudah sibuk di dapurnya. “Sebaiknya kau segera bersiap-siap kalau tidak mau sampai di kota malam hari,” sapanya saat melihat Panglima keluar.
“Kau bilang ini sudah di pinggir hutan? Bukankah berarti tidak akan jauh?”
“Pinggir hutan, dekat desa. Kau baru akan sampai di kota kira-kira sore hari kalau kau berangkat pagi ini.”
Sementara Panglima pergi mandi dan bersiap-siap, Daksa mengisi tas ranselnya dengan perbekalan senjata, makanan dan air untuk gadis itu. Ia juga pergi menyiapkan kuda milik Panglima di halaman belakang, yang langsung mengarah ke jalan setapak yang akan membawanya keluar dari hutan. Daksa sedang membelai kuda putih itu ketika Panglima datang menghampirinya.
Untuk sejenak, mereka berdua hanya saling bertukar pandang, sebelum Panglima berjalan dan memeluk tubuh lelaki itu. Daksa cukup terkejut, tapi akhirnya membalas pelukan gadis itu dan membelai rambut panjangnya yang terurai. Takut akan air mata yang keluar kalau pelukannya tidak segera berakhir, Panglima melepaskan dirinya cepat-cepat.
Daksa mengamati Panglima yang menunduk dan menggelung rambutnya ke atas dengan cepat. Ketika mereka bertatapan, sebuah senyum sudah terukir sempurna di wajah Panglima.
“Terima kasih, Bumi.”
Daksa mengangguk dan membungkuk singkat. Tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan sebuah botol kecil dari sana. Ia kemudian menggapai tangan Panglima dan meletakkan botol itu di sana. “Bawa ini,” katanya.
Panglima mengamati botol kecil itu berguling seiring gerak telapak tangannya. “Apa ini?”
“Atsiri Rosewood yang kau suka,” jawab Daksa. “Yang kuharap dapat menuntunmu kembali kemari, membaui wanginya langsung dari kayu-kayu sonokeling yang menopang pondokku.”
Panglima tidak dapat menahan senyumnya. “Kau ingin aku untuk kembali?”
Daksa balas tersenyum. “Seharusnya itu pernyataan, bukan pertanyaan.”
Dan sampai kapan pun tidak akan pernah Panglima lupakan bagaimana wajah rupawan itu tersenyum kepadanya, mengantarnya pergi, juga menghendakinya untuk kembali. Meski masih panjang jalanannya mencari kebebasan yang selama ini ia rindukan, jauh dalam hatinya Panglima tahu ke mana ia harus kembali. Ia punya tempat.
Hutan ini, pondok kayu di tepinya, wewangian halus yang melingkupinya, serta lelaki itu, Daksa Bhumi Padapa. Panglima tak akan pernah lupa hari-hari singgahnya. Selamanya Wuwung Wangi akan ada dalam kepala dan hatinya.
Tinggal sekali tarik pada kekang kudanya untuk membawanya pergi, ketika Panglima memutuskan untuk berbalik sekali lagi. “Sampai kita bertemu lagi, Bumi?”
Suara yang memanggil nama itu mengalun lembut, selamanya akan terbang bersama burung-burung, menghampiri sela-sela dahan pohon di seluruh penjuru hutan; ia menjawab, “Sampai kita bertemu lagi, Panglima.
22421, ©ranmay.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.