Surat Untuk Ibu Pertiwi

Surat Untuk Ibu Pertiwi

"Papa, pagi ini Alin tinggal belanja ke supermarket dulu, ya? Makanan sudah siap semua."

"Mama, susu panas sudah siap."

"Untuk persiapan Imlek Mama mau Alin masakin apa?"

"Aduuhh pliis, jangan soto ayam, jangan lontong opor. Ini Imlek, Mama, bukan lebaran Idul Fitri."

"Semoga nanti masih ada kue keranjang di toko Asia."

"Oohh no! Kita tetap minum wedang ronde di hari Imlek?"

 

Rumah akan menjadi ramai saat menjelang Imlek. Pembahasan menu menjadi topik utama setiap tahun, dan menu yang tersaji saat Imlek adalah menu istimewa untuk kami semua. Terutama Mama dan Papa selalu meminta sajian menu nusantara untuk perayaan Imlek di rumah kami.

 

Hari ini jadwal belanja ke toko Asia, semua catatan belanja sudah kubaca ulang hingga dua kali, memastikan tidak ada yang terlupakan. Musim dingin di Amsterdam sangat menyiksa, jadi butuh perjuangan untuk keluar rumah walau sekadar belanja kebutuhan rumah, terutama bahan makanan. Terlebih akan ada perayaan Imlek, maka dipastikan kebutuhan makanan akan bertambah banyak.

 

Imlek masih selalu dirayakan dalam tradisi keluarga kami. Pada hari itu kami keluarga besar Lee akan berkumpul makan bersama, menikmati sajian khas Imlek dan juga berbagai menu Indonesia yang selalu hadir. Di hari itu kami memuaskan diri dengan selera nusantara.

 

*****

 

Dengan berjalan kaki, Alin bisa sampai di toko Asia yang dimaksud. Ada beberapa toko Asia di kota Amsterdam, tetapi yang menjadi langganannya adalah toko miliK pasangan Vietnam-Indonesia ini. Beruntung bila berjumpa langsung dengan Eddy pemiliknya yang berasal dari Sragen, kota kecil di Jawa Tengah, yang sudah lama tinggal di Belanda. Akan banyak bonus yang diberikan Eddy, ini bagian dari ungkapan rasa persaudaraan sesama warga pendatang.

 

"Gutten morgen, Mai ..." sapa Alin begitu membuka pintu toko. Embusan pemanas ruangan terasa kontras menyentuh kulit wajahnya yang dari luar terasa sangat dingin.

 

"Ja, Lee ..." sapa wanita Vietnam yang khas dengan kecantikannya.

 

"Hai, Lee ... apa kabar?" sapa hangat lelaki dari balik tumpukan selada segar yang sedang ditata.

 

"Kabar baik Eddy, musim dingin kali ini luar biasa," balas Alin dengan suara serak.

 

"Hahahaha! Hangatkan diri dengan kolak singkong kayu manis pasti enak, ya?" ujar Eddy sambil tertawa.

 

"Pliiss Eddy jangan memulai dengan menyebut makanan surga itu, aku tak sanggup mendengarnya," balas Alin tertawa.

 

"Baiklah, ini daftar belanjaku. Aku tidak yakin apakah ada stok kluak di toko ini. Karena Mama minta dihidangkan rawon untuk Imlek," ujar Alin sambil menyodorkan daftar belanja pada Eddy.

 

Sambil tertawa dibacanya daftar belanja yang diberikan Alin padanya. Tangannya mengambil keranjang dan mulai memasukkan apa saja yang ada di daftar belanja itu.

 

"Kau beruntung semua ada di toko kami, bahkan kluak tersedia banyak sekali."

 

"Apakah kamu ingin membeli lebih untuk stok di rumah?" tanyanya merasa bangga bahwa tokonya menyediakan semua barang yang dicari pembelinya.

 

"Yay! Terima kasih Eddy, baiklah tambahkan 3 butir, ya," sahut Alin bahagia.

 

"Ini ada abon ikan asin, baru saja datang dari Surabaya. Aku yakin akan enak buat taburan bubur Manado," ujar Eddy.

 

"Hei! Sudah kubilang jangan sebut apapun yang berkaitan dengan makanan surga, Eddy! Kamu sungguh terlalu," sahut Alin sambil mengambil bungkus abon ikan asin yang dimaksud Eddy.

 

"Aku baru menyadari bahwa toko ini adalah mesin penguras uang, karena aku tergoda membeli semua barang yang ada di sini," ujar Alin disambut tawa Eddy dan Mai.

 

"Baiklah, tambahkan peyek kacang itu, sambal pecel pedas, asam jawa, dan kecap manis," gumam Alin sambil tangannya sibuk memilih barang.

 

"Masaklah yang enak, menyambut Imlek dengan suka cita, semoga tahun depan menjadi berkah untuk kita semua," sahut Eddy dengan bijaksana.

 

"Silakan datang ke rumah kami. Kalian bisa melepas rindu dengan menikmati makanan Indonesia di rumah kami.”

 

“Mama dan Papa pasti senang bila kalian berdua bisa bergabung bersama merayakan Imlek," tawar Alin pada Eddy dan Mai yang tersenyum tulus pada pelanggannya.

 

*****

 

Dapur sudah bersih kembali, barang belanjaan sudah tertata rapi. Dituangkannya segelas cokelat panas untuk dirinya, menyeruput cokelat panas sambil melihat keluar jendela, memandang pohon yang tertiup angin. Membayangkan dingin udara di luar sana membuat badan Alin bergidik, bahkan ia yang sudah dalam ruangan berhawa hangat saja masih merasa kedinginan, apalagi yang di luar sana?

 

"Alin ... jangan lupa kirimkan angpao untuk Kardi dan Lasmi, tambahkan untuk anaknya juga. Papa lupa tahun ini Wulan anaknya akan masuk SMA. Katakan padanya doakan Papa dan Mama di sini," ujar Papa sambil berjalan tertatih menghampiri Alin di dapur.

 

"Baik Papa, nanti Alin kirimkan angpao untuk mereka."

 

"Papa mau cokelat panas?"

 

"Hhmm...kalau jahe panas Papa mau."

 

"Hahaha, pilihan tetep pada jahe ya, Pa?."

"Alin buatkan wedang jahe terenak, ya Papa."

 

"Tadi ada bonus jahe dan kayu manis dari Eddy."

"Aku juga mengundang mereka makan bersama saat Imlek. Semoga mereka berdua bisa bergabung bersama kita ya, Papa.”

“Imlek kali ini Cici Mee tidak bisa pulang kumpul bersama kita karena Jerman lockdown," celoteh Alin sambil menyiapkan wedang jahe untuk papanya yang sudah duduk di meja makan. Berdua, mereka menikmati minuman hangat, sambil memandang luar jendela dengan pikiran masing-masing.

 

"Menjelang Imlek di manapun pasti angin kencang, di Jakarta pasti juga hujan angin. Semua orang takut bila masuk bulan Februari menyambut Imlek dengan hujan badai kencang, tapi kita orang Cina menyambutnya dengan suka cita pertanda keberuntungan untuk kita semua di tahun mendatang," ucap Papa sambil mendekap mug jahe dengan kedua telapak tangannya.

 

"Papa, kita sudah 23 tahun kita pindah ke Amsterdam. Dan Papa masih saja membicarakan Indonesia," ujar Alin dengan suara parau.

 

"Apa? 23 tahun? Sepertinya baru kemarin kita pindah," balas Papa.

 

"23 tahun Papa, kita sekarang di Amsterdam. Jauh dari Indonesia tetapi Papa seolah tidak berada di Amsterdam. Mengapa Papa tidak bisa melupakan Indonesia? Bahkan untuk memberi rasa aman pun Indonesia tidak mampu," ujar Alin sambil menatap papanya.

 

"Huus! Jangan pernah berkata seperti itu. Omamu lahir dan tutup usia di Indonesia, Papa pun demikian, lahir, tumbuh dewasa di sana, bahkan Papa dan Mamamu menikah serta melahirkan anak-anak di Indonesia. Jadi jiwa kita semua Indonesia."

 

"Tapi Papa ...."

 

"Sudahlah ... bagaimanapun jiwa kita Indonesia. Suatu saat nanti kita harus kembali ke Indonesia, karena di sanalah tempat kita," ujar Papa pelan.

 

Tak ingin berdebat, maka Alin hanya diam mendengarkan Papa berkata tentang keinginannya untuk kembali ke Indonesia. Bahkan berpikir tentang Indonesia pun Alin tidak pernah, kecuali dia merasa berkewajiban membahagiakan kedua orang tuanya dengan menuruti keinginan menikmati masakan Indonesia. Maka perlahan Alin belajar mengolah masakan Indonesia, hingga saat ada pameran budaya maka dengan bangga Alin akan menyuguhkan keahliannya memasak sate, soto, rawon, rendang atau apapun menu Indonesia.

 

Tetapi untuk kembali ke Indonesia, hal itu tidak pernah ada dalam bayangannya sekalipun, karena jauh di lubuk hatinya masih ada tersisa amarahnya pada negeri itu.

 

*****

 

Alin duduk di depan meja belajar dalam kamarnya, diambilnya album foto yang disimpannya dalam laci. Perlahan dibukanya setiap lembar, terdapat foto dirinya dari berbagai usia. Dipandanginya wajah serta mencoba mengingat setiap momen yang ada.

 

Ada foto Alin dengan pakaian adat Betawi yang diingatnya saat itu sedang perayaan hari Sumpah Pemuda, tangannya membawa bendera merah putih kecil, berfoto saat acara pengibaran bendera. Iya, Alin ingat saat itu lomba baris-berbaris antar sekolah, dirinya dimandat sebagai petugas pembaca Undang-Undang Dasar 1945 dengan pakaian serba putih. Dirinya tampak cantik sekali. Diamatinya peci hitam dikepalanya serta lambang garuda kecil yang tersemat di ujung pecinya. Perlahan diusapnya foto itu, ada getaran yang berusaha diraihnya kembali, rasa yang lama sekali berusaha dibuangnya entah karena apa. Perlahan tangannya bergetar mengusap foto itu, tak terasa air matanya menetes hingga jatuh ke tangannya.

 

Tangisnya pecah, entah karena apa. Berusaha berdamai dengan amarah yang lama terpendam. Semua bayangan masa lalu muncul bergantian bagai slide film yang tayang secara acak antara bahagia, sedih, hingga pilu muncul menguasai otak dan jiwanya. Kali ini Alin tak ingin lari lagi, tak ingin menghindar dari semuanya dan bertekad akan menghadapi apapun itu. Maka terus saja dikuatkan hatinya untuk menyaksikan kembali semua bayangan yang muncul di otaknya. Akan disambungnya semua potongan kehidupan yang sudah lama tercecer, hingga akan menjadi puzzle utuh yang akan dinikmati kapanpun tanpa beban.

 

Diambilnya selembar kertas, dipilihnya kertas terindah berwarna biru muda dengan ornamen burung bangau di pojok bawah. Dengan tangan gemetar, ditulisnya semua isi hati yang lama terpendam.

 

Amsterdam, 11 Februari 2021.

 

Hari ini cuaca dingin, bahkan sangat dingin. Setiap inci tubuh serasa ditusuk oleh ribuan jarum es. Aku merasakan ini sebagai siksaan, lalu bagaimana dengan Papa dan Mama? Tubuh tuanya harus menahan dingin pada tulangnya hingga menjadi beku. Tidaklah heran bila Papa dan Mama selalu membayangkan hangatnya mentari pagi yang menerobos jendela rumah kami yang dulu. Membayangkan duduk di teras balkon sambil menikmati kopi pagi, merasakan hangat masuk ke setiap pori-pori kulit kami, menjadikannya berwarna tembaga walau sesaat.

 

Tak ada batasan waktu menikmati panas matahari, tak ada jeda waktu untuk merasakan limpahan sayur mayur dan musim buah sepanjang tahun. Bahkan musim panas di sini tidak pernah sepanas masa lalu, hingga kami selalu menghadirkan panas masa lalu itu dalam bayangan agar kami kuat menghadapi dingin di sini.

 

Yah, hanya menghadirkan bayanganmu aku menjadi kuat, berusaha menepis dingin karena sejatinya aku sangat rindu padamu. Bahkan pada indahnya gumpalan salju, yang kubayangkan adalah menggenggam pasir pantai yang kemudian jatuh dari sela-sela jemari tanganku, mengelitik telapak kakiku. Berat langkah berjalan di pantai tidaklah seberat hati menepis setiap kerinduan padamu.

 

Membayangkan bermain ombak dengan tawa, membuat istana pasir di pantai walau menjaganya agar tidak runtuh diterjang ombak lebih susah ketimbang membuatnya. Setiap kenangan harus aku kuburkan dengan paksa karena yang aku tahu adalah bahwa kami semua tidak diinginkan untuk menikmati itu semua.

 

Untuk kenangan lain tentangmu justru lebih menyiksa, bagaiamana lidah kami selalu rindu aroma rempahmu. Lidah kami memiliki sensor yang terlanjur kalian manjakan oleh cita rasa kuah opor, gulai, soto, rendang, rawon dan entah banyak lagi yang semuanya tidak bisa disamakan dengan masakan manapun juga dibelahan bumi ini. Bagaimana aroma sate bisa menerobos indra penciuman tanpa basa-basi, lumuran bumbu dan kecap yang dibakar bisa membuatku hilang arah, lalu jangan pernah mengucapkan beberapa kudapan istimewa seperti kolak pisang, dawet, cendol, klepon karena itu adalah hukuman terberat untukku. Puluhan tahun aku menjauh darimu tetapi tak pernah berhenti aku luluh dengan pesonamu melalui menu khas nusantara.

 

Sejujurnya semakin kami berlalu menjauh semakin lekat pesonamu yang tak pernah bisa kami pungkiri. Semua tentangmu adalah dua keping yang berbeda dan semua adalah siksaan. Bahkan kerinduan adalah siksaan terhebat untukku, bagaimana aku selalu terbius menyaksikan pertunjukan, semua tarian, seni, kerajian dari semua penjuru negerimu.

 

Undangan pentas budaya Indonesia adalah obat mujarab untuk jiwaku, tetapi ada sisipan amarah yang masih membara setiap kali apapun yang berbau Indonesia mendekatiku. Gemulai para penari Bali semacam badut yang memperolok keberadaanku di sini. Pementasan Lenong yang penuh gelak tawa adalah wujud celoteh amarah dan hinaan yang semua tertuju padaku. Bahkan Wayang Kulit yang selalu ditunggu warga Indonesia sebagai pelepas rindu pada tanah air adalah tontonan yang tak ubahnya pagelaran yang mengumbar kebencian bagiku.

 

Dari semua sisi, kamu adalah kehancuran untukku. Bagaimana bisa? Apakah aku begitu nista di hadapanmu? Bahkan aku tak tahu siapa yang menjadi pengkhianat di antara kita. Aku bahkan ingin melupakan semua tentangmu, tetapi sangatlah butuh perjuangan karena kedua orang tuaku sangat memujamu.

 

Setiap detik, hanya dengan menghadirkan sedikit saja keindahanmu, mereka seperti sanggup untuk hidup lebih lama. Setiap hari selalu ada pembahasan tentangmu, bagaimana mungkin aku bisa menghasutnya untuk ikut membencimu karena apa yang sudah kalian perbuat pada kami adalah ketidakadilan.

 

Kali ini aku sangat ingin bertanya, sejak kapan di Indonesia itu muncul paham pribumi dan non pribumi? Perbedaan itu bagai jurang pemisah yang sangat dalam hingga sulit untuk kita lalui. Sejak kapan ada bibit kebencian pada keduanya, hingga kita sebagai saudara sebangsa menjadi lupa pada perjuangan pahlawan yang berjuang melawan penjajah. Bahkan banyak sekali pejuang dari etnis Cina saat itu, berjuang bersama demi Indonesia yang merdeka.

 

Janganlah kalian iri ataupun marah bila secara sosial kami kalian anggap lebih kaya. Bukankah secara terbuka kami memang hanya diberi kebebasan secara sosial di bidang perekonomian? Kami hanya diberi ruang hidup sebagai pedagang di negeri ini, tak ada tempat untuk kami duduk di pemerintahan. Bahkan belum menjadi abdi negara kami sudah dihadang oleh pintu baja yang sangat sulit ditembus. Maka jangan menjadi marah saat kami dan keturunan kami tekun berjualan. Kami disiplin dalam berdagang, mengumpulkan keuntungan dari setiap rupiah demi kelangsungan hidup, dan bila mana itu sebagai buah dari usaha kami maka kalian tidaklah pantas untuk marah pada kami. Semua kami lalukan dengan kerja keras.

 

Entahlah, aku tak tahu mengapa kalian sangat membenci, mengapa selalu ada amarah yang disertai makian serta cacian keji untukku dan keluargaku? Apa yang salah dengan kami semua? 

Tidakkah kalian paham bahwa kita tidak pernah bisa memilih kita terlahir sebagai apa atau siapa?

 

Bila saja bisa memilih aku ingin terlahir menjadi Indonesia seutuhnya. Tapi bagaimana kami yang terlahir menjadi keturunan bisa menentang takdir?

Bukankah kalian semua mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa pemilik takdir yang paling mutlak?  Apakah kalian bisa marah pada sang pemilik kehidupan?

 

Demi apapun embel "keturunan" sangatlah menyiksa, se-Indonesia apapun kami berbuat, tetaplah kalian tidak mempercayai ketulusan kami. Bahwa kami bisa menjadi lebih Indonesia dari kalian semua yang terlahir menjadi pribumi asli.

 

Apa yang salah dengan mata sipit kami, bila kami bisa lebih jelas melihat semua yang ada di muka bumi? Lebih bisa membedakan mana yang hitam dan mana yang putih sebagai standar kejujuran?

 

Apa yang salah dengan kulit pucat kami? Rambut lurus kami? Itu semua bukanlah standar ketulusan untuk memberikan yang terbaik bagi negeri. Kalian pribumi sebagai milik sah negara Indonesia, apa yang sudah kalian perbuat?

 

Silakan bandingkan, bagaimana saudara kami yang kalian katakan keturunan Cina itu bisa mempersembahkan medali emas dari berbagai cabang olahraga. Mereka berjuang untuk mengharumkan negeri, sementara kalian kaum pribumi masih sibuk berdebat  tentang siapa yang lebih banyak memberi sogokan maka dia yang pantas menjadi lurah.

 

Indonesia, negeri yang tak pernah sepenuhnya jadi negeriku ....

 

Perih luka yang tertoreh itu masih terasa, hari itu adalah kutukan untuk kami etnis Cina yang berada di negerimu, termasuk keluargaku. Bagaimana kami dihinakan, bagaimana harga diri kami terkoyak oleh sebuah hasutan yang merupakan bagian dari kebodohan abadi. Apa yang kalian dapatkan untuk sebuah penghinaan tidak akan pernah abadi.

 

Kalian bisa merampok semua harta yang kami miliki tapi ingat, kalian tidak pernah bisa merampas semangat berjuang kami yang kali ini aku akui kami dapatkan dari leluhur yang berbeda dari kalian. Bahkan kalian bisa memperkosa tubuh kami. Ingat, cuma tubuh yang terdiri dari seonggok daging, tetapi kalian akan menyaksikan bagaimana kami akan membangun kembali semua yang runtuh menjadi jiwa baru yang siap berjuang untuk mempertahankan harga diri yang kalian injak-injak dan rampas secara paksa.

 

Aku masih ingat setiap detail kejadian di hari itu. Mungkin ini adalah awal dari semua keputusasaanku dan jalanku berdamai denganmu.

 

Udara Jakarta hari itu sangat panas, tak ada yang berbeda. Dari pagi semua aktivitas kami jalani dengan normal, kecuali berita di televisi tentang demo yang terjadi di ibukota . Kami cuma sekedar saling mengingatkan untuk waspada bila mana terjadi pergerakan yang membahayakan.

Pagi itu Papa mengingatkan Mama untuk diam di rumah, mengunci pintu selama Papa ke toko. Aku yang hari itu sekolah diingatkan untuk segera pulang, kakakku Melani yang hari itu punya jadwal mengajar les piano disuruh segera pulang bila sudah selesai mengajar. Dan kami semua mematuhinya.

 

Siang itu aku dan Cici Mee serta Mama sudah berkumpul di rumah. Di televisi berita kerusuhan sudah tersiarkan. Kami semua ketakutan, karena pusat kota Jakarta sudah lumpuh, banyak orang yang datang menyerbu ibukota, membakar semua toko milik etnis Cina, tidak hanya merampok tetapi juga membakar dan menjarah apapun yang ada di depan mata mereka, mobil, menjarah rumah, bahkan ada beberapa yang menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan.

 

Kondisi sudah tidak bisa terkendali, Papa sempat menelpon untuk meminta kami siaga membuka pintu bila Papa sudah datang, maka dengan ketakutan kami berjaga mendengarkan dengan seksama deru mobil yang datang. Sementara telepon berdering dari seluruh keluarga yang menanyakan kondisi kami, meminta kami untuk bersiap-siap mengungsi ke luar kota, tetapi bagaimana bisa? Kami pasti akan ditandai sebagai orang Cina jika keluar rumah dalam situasi seperti ini.

 

Mama menyiapkan semua surat-surat berharga, uang, perhiasan dan beberapa dokumen. Pembantu kami, Lasmi, sudah mengikat sajadah di depan pagar sebagai tanda bahwa itu adalah rumah kediaman warga muslim. Walau sebenarnya itu upaya untuk mengelabui para perusuh yang kabarnya sudah mengarah ke kompleks perumahan kami. Papa mengetuk pintu tanpa kami dengar suara mobilnya datang, ternyata Papa memarkir mobil di rumah tetangga muslim yang rumahnya di ujung kompleks. Papa berlari pulang untuk berkumpul dengan kami semua. Kami semua ketakutan, walau senjata sudah Papa siapkan untuk melindungi kami semua. Gudang bawah tanah dibuka, Lasmi menyiapkan segala keperluan kami termasuk air minum, makanan, pakaian. Keran air yang terhubung ke gudang bawah tanah dinyalakan dan beberapa kotak lilin, selimut, serta obat-obatan Mama juga sudah dibawa.

 

Kardi supir Papa sibuk membawa kasur ke gudang bawah tanah untuk Mama, karena kondisi Mama saat itu memang sedang sakit. Kami semua berkumpul di gudang bawah tanah, dengan semua yang kami anggap berharga walaupun sejatinya tak ada yang lebih berharga daripada rasa aman.

 

Aku masih ingat pesan Papa untuk jangan pernah berteriak. Diam dan berdoa, serta tetap tenang dalam situasi apapun. Walau gerbang rumah sudah digembok dan digantungkan sajadah, tetapi tetap saja kami ketakutan. Hingga kami sayup-sayup bisa mendengar deru langkah banyak orang sambil berteriak sepanjang jalan.

 

"Ganyang Cina ... ganyang Cina ...."

"Cina komunis! Cina PKI! Bunuh Cina!"

"Cina pengkhianat! Bunuh Cina!"

 

Dan masih banyak lagi teriakan yang mengandung provokasi, teriakan yang sebelumnya tidak pernah aku dengar, ujaran kebencian yang sangat menyakitkan hati.  Tepat di depan rumah ada yang berteriak, "Ini rumah orang Cina! sajadah ini palsu! Ganyaaaaaang!". Aku sudah tidak mengenali lagi negeriku saat itu.

 

Lalu kami berpelukan sambil terus berdoa agar diberi keselamatan. Memang pintu gudang bawah tanah ini sangat sulit diketahui oleh orang, Papa sengaja membuat gudang ini untuk barang toko yang tidak muat ditaruh di atas. Selain untuk efisiensi bangunan, Papa memanfaatkan kontruksi bangunan yang menjorok ke bawah.

 

Entahlah apa yang diperbuat para perusuh itu di dalam rumah kami, doa kami pada Tuhan semoga mereka tidak ada yang diberi niat untuk membakar rumah. Seandainya itu terjadi dipastikan kami semua akan mati terpanggang di dalam gudang bawah tanah. Dua malam sudah kami bertahan di gudang bawah tanah, tidak ada yang boleh keluar karena kami tidak yakin akan selamat bila keluar. Semua hubungan dengan orang luar terputus. Tetangga tak ada yang mengetahui keberadaan kami, mereka hanya tahu bahwa rumah kami tak luput dari penjarahan, semua benda berharga diambil, rumah bagai kapal pecah.

 

Selama kami di gudang bawah tanah, aku bisa jelas melihat ketulusan Pak Kardi dan Lasmi yang mengurus Papa, Mama dan kami semua. Bahkan mereka bisa menyiapkan Mama teh panas, mengingatkan Papa dan Mama untuk minum obat seperti biasanya, bahkan menyiapkan kami makan walau itu hanya mie instan.

 

Di hari ketiga, Pak Kardi memutuskan untuk menjadi orang pertama yang keluar gudang untuk melihat situasi. Setelah melalui perdebatan yang panjang, Papa akhirnya mengijinkan supir setia keluarga kami itu keluar gudang. Dengan janji kami tidak boleh keluar bila bukan teriakan dari Pak Kardi. Tak terbayangkan betapa setianya Pak Kardi hingga rela bertaruh nyawa untuk kami semua.

 

Lima jam kami gelisah menunggu kedatangan kembali Pak Kardi ke dalam gudang persembunyian. Akhirnya dengan mata sembap beliau bercerita kondisi rumah kami yang hancur berantakan. Ternyata Pak Kardi sempat mendatangi Pak RT tetangga kami untuk meminta perlindungan atas keselamatan majikannya. Dengan rasa terharu kami semua saling berpelukan sebagai ungkapan terima kasih.

 

Malam yang gelap gulita, dengan penjagaan warga yang ketat kami dipindahkan ke rumah Haji Ruslan tetangga kami yang baik hati. Kami disediakan kamar untuk istirahat, makanan yang enak, serta kebutuhan untuk mengungsi selama beberapa hari sampai situasi kondusif. Kami tidak pernah tahu ada saja orang baik yang membantu, dan itu kami balas dengan rasa syukur yang sangat.

 

Papa mengatakan bahwa kami akan pergi keluar negeri untuk menyelamatkan diri, karena sudah bisa dipastikan kondisi negara akan lama stabil. Banyak pertimbangan yang semuanya berujung bahwa kami memang harus keluar dari Indonesia.

 

Tangis kami pecah seketika, terutama Lasmi yang sontak memeluk aku dan Cici Mee, memohon pada Papa untuk jangan pergi. Dengan isak tangis Mama berkata bahwa Lasmi dan Pak Kardi harus tetap diam di rumah menjaga semua yang tersisa, menunggu rumah kami bahwa semua gaji akan dikirim walau kami berada jauh dari mereka.

 

Tak ada yang tersisa, semua hilang menguap bersama rasa takut kami. Bagaimana kehidupan kami esok tak terpikirkan, yang utama kami harus keluar dari Indonesia.

 

Apa yang bisa kami bawa saat itu? Hanya kenangan buruk dan rasa trauma yang mungkin akan bersarang di jiwa kami hingga kami mati. Melihat kedua orang tulus yang membantu kami selama ini menangis maka kami memiliki rasa percaya diri bahwa ada kesaksian dari orang pribumi bahwa kami sekeluarga walaupun keturunan Cina masih pantas untuk ditangisi dan disayangi. Itu saja sudah cukup untuk kami.

 

"Papa, Alin ikut ke rumah ya? Pliis … ijinkan Alin pulang ambil buku harian dan album foto di kamar. Alin mau bawa itu pergi," rengekku malam itu.

 

"Tidak! Tidak ada yang boleh keluar dari rumah Haji Ruslan. Sangat berbahaya," ujar Papa keras.

 

"Tapi Papa, kita perginya kan malam, tak ada yang melihat," ujarku masih merengek.

 

"Alin, kali ini turuti kata Papa."

 

"Papa ... Alin mau ambil barang Alin di kamar," rengekku sambil terus menangis.

 

Karena ini adalah malam terakhir aku di bumi Indonesia, besok pagi sekali Pak Haji Ruslan akan membawa kami ke bandara. Selanjutnya kami akan terbang ke Belanda untuk mengungsi. Seorang sahabat Papa di Belanda bersedia menampung kami dan membelikan kami empat tiket.

 

Maka karena Papa tidak tega melihatku menangis maka aku dan Cici Mee diijinkan ke rumah mengambil beberapa barang yang kami miliki untuk kami bawa ke Belanda. Tak pernah terlupakan bagaimana aku dan Cici Mee dipakaikan hijab oleh Bu Ruslan, agar kami bisa mengelabui siapapun yang melihat agar disangka kami pribumi muslim.

 

Demi barang pribadi yang berharga itu kami mau didandani apapun, berjalan di kegelapan malam, didampingi warga kompleks untuk menjaga keamanan kami. Tanganku terasa sangat dingin saat menggandeng tangan Cici Mee, dengan senter kecil kami masuk ke ruang tamu yang sudah porak poranda. Rasa sakit yang menusuk hati, seperti melangkahkan kaki di rumah asing, kami sudah tidak mengenali lagi rumah itu. Ruang tamu yang ditata Mama dengan cinta, meja kursi yang tertata rapi sudah tak berbentuk, pajangan foto di dinding sudah tergeletak di lantai, bingkainya pecah tak beraturan, terinjak seperti tak berharga. Dengan menangis aku dan Cici Mee mengambil foto yang berserakan, dengan sigap memilah berkas penting kami. Ijazah, album foto, kamera yang ada di lemari, ingin kami bawa semua agar kenangan itu ikut bersama kami.

 

Jangan tanya bagaimana rasa sedih saat kami masuk ke kamar tidur Papa, semua hancur berantakan, tak ada yang tersisa. Merasa cukup kami keluar dari rumah, masih dengan rasa sedih yang sangat. Papa memberi amanah pada Pak Kardi dan Lasmi untuk membersihkan rumah, menjaga rumah dan menempati rumah kami, berharap mereka bisa tinggal di sana sebagai keluarga dan menjaga semuanya untuk kami. Yang entah kapan bisa kembali lagi menempati rumah itu.

 

Sepanjang malam kami habiskan untuk menangis, ribuan kali Mama mengucapkan maaf dan terima kasih pada Pak Kardi dan Lasmi, ribuan kali pula mereka mengucapkan terima kasih. Pak Haji Ruslan sekeluarga sampai ikut menitikkan air mata melihat kami semua yang menghabiskan malam dengan saling berbagi kasih seolah kami terpisahkan dan tak akan berjumpa kembali.

 

"Mami jaga kesehatan ya? Nanti Lasmi jauh gak bisa masakin air panas lagii, Lasmi gak bisa pijet kaki Mami lagi," ujarnya sambil mengusap air mata.

 

"Kalau Lasmi kangen Cici Mee dan Cici Alin gimana? Siapa yang siapin sarapan Cici semua? Terus yang siapin baju sekolah siapa? Kalau dekat Lasmi ikut Mami aja," ujarnya penuh haru.

 

Hanya Lasmi yang masih memiliki energi untuk berbicara, sementara kami hanya menangis dalam diam dengan pikiran masing-masing. Aku berusaha memahami semua mimpi buruk ini, mencoba menerimanya dengan sedikit saja perasaan dan pemahaman anak gadis berusia 19 tahun yang saat itu baru saja menikmati euforia kelulusan sekolah, mempersiapkan diri untuk menjadi mahasiswa. Dan dalam sekejap semua hilang musnah tak berbekas, dipaksa untuk pergi dari tempatnya berpijak, pergi dengan luka, rasa takut, depresi dan trauma.

 

Indonesia, negeri yang aku rindukan ....

 

Jakarta masih gelap gulita ketika kami menyusuri jalannya dengan ketakutan. Masih terbayang wajah Pak Kardi dan Lasmi di depan pintu pagar yang menangis melepas kami, keluarga Haji Ruslan yang juga tak kalah sedih melihat kami di dalam mobil. Mama melepas kalung yang dikenakannya dan memberikannya pada Lasmi sebagai kenangan, dan kami semua menagis karena perpisahan yang terpaksa.

 

Sepanjang jalan aku masih bisa merasakan suasana mencekam. Bekas ban yang dibakar di tengah jalan raya, bangkai mobil terbakar korban keberingasan, gedung yang masih mengeluarkan asap, di banyak titik patroli ada saja petugas dengan senjata lengkap. Semua tampak begitu runyam hingga aku tak lagi mengenali kota kelahiranku. Rasa asing dan trauma, membuatku ingin segera tiba di bandara. Namun ternyata kondisi bandara tidak seperti yang aku bayangkan.

 

Memasuki pintu, kami disambut oleh banyak sekali orang-orang dengan wajah lelah dan kusam yang kondisinya tidak jauh berbeda dari kami. Semua surat-surat dibawa oleh Pak Ruslan untuk mencegah kemungkinan terburuk kami dihadang massa. Saat Haji Ruslan memberikan tas kulit yang diselempangkan di badannya pada Papa, aku bisa merasakan kesedihan beliau. Ia memeluk Papa dan membisikkan pesan yang aku tidak tahu. Anggukan kepala Papa menandakan bahwa pesan itu adalah doa untuk keselamatan kami sekeluarga. Sungguh perpisahan yang sangat memilukan, satu lagi orang pribumi yang akan kukenang kebaikannya sampai kapanpun.

 

Bandara sangat riuh, semua orang ingin cepat pergi meninggalkan Indonesia. Tak ada wajah damai yang terpancar. Tiap panggilan operator dari pengeras suara akan membuat kami bergetar, awas dengan apapun di sekeliling, hingga kami menjadi manusia yang saling mencurigai walau sesaat.

 

Kelegaan dirasakan saat nomor boarding pesawat kami disebutkan, kami bergandeng tangan dengan langkah tergesa. Papa berjalan paling belakang seolah menjaga kami semua. Tak ada air mata kecuali dari Mama yang masih mendesah gelisah. Tas koper yang berisi pakaian seadanya menjadi barang paling berharga untuk kami bawa. Semua penumpang pesawat adalah etnis Cina. Aku baru menyadari bahwa seandainya kami melawan mungkin kami bisa menang karena kami juga terhitung sangat banyak. Tetapi untuk apa melawan? Bukankah itu akan menjadi masalah baru?

 

Sejak pesawat kami lepas landas aku tak pernah ingin melirik ke bawah, seolah ingin melupakan semua peristiwa di belakang. Aku hanya ingin segera sampai di tempat baru, menikmati semua kehidupan baru.

 

Menikmati kota Amstredam dengan keindahannya, berusaha bahagia karena kami selamat tanpa ada luka di tubuh kami, meskipun jiwa kami terluka cukup parah. Apalagi saat mendengar kabar bahwa sepupu kami depresi parah karena saat peristiwa tersebut ia diperkosa oleh para penjarah. Saat mendengar kabar itu Mama berteriak histeris membayangkan sakit hati dan jiwa yang menimpa sepupu kami. Hampir seminggu Mama tak ingin makan apapun, hanya menangis dan terus memeluk aku dan Cici Mee.

 

Tak pernah aku menyadari bahwa sejak itu juga aku menolak untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Bahkan aku tak pernah sanggup mengucapkan namamu, Indonesia, entah mengapa.

Walau Papa selalu mengajak kami menghadiri upacara bendera setiap hari kemerdekaan Indoneaia tanggal 17 Agustus di KBRI. Kami akan naik kereta dari Amstredam, menikmati perjalanan dan sampai stasiun kami akan berjalan kaki menuju KBRI, berdiri rapi dengan hikmat mengikuti upacara bendera. Aku selalu melihat Papa hikmat menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap kali pengibaran bendera di KBRI. Papa akan mengajak kami lebih lama di sana untuk menikmati makanan khas Indonesia yang dihidangkan di KBRI.

 

Ada bahagia yang terpancar di wajah papa, untuk melepas kerinduan pada tanah air. Tetapi untukku semua biasa saja, aku tak ingin melihatkan kebencian pada Indonesia, tapi aku pun tak bisa menampakkan rasa banggaku pada Indonesia.

 

Bahkan aku tidak pernah benar-benar menatap hormat pada bendera yang berkibar di depan KBRI, seperti Papa yang berdiri dengan sikap hormat pada kain merah putih yang berkibar di tiang bendera itu. Semua hilang entah ke mana. Mungkin saja tertinggal di gudang bawah tanah tempat kami bersembunyi, atau di bingkai foto kami yang hancur terinjak di lantai, atau mungkin juga di kamar tidurku yang diacak oleh para penjarah malam itu, mungkin juga pada tempat tidur Papa yang aku lihat bagai kapal pecah pada malam kami masuk ke rumah, mungkin juga pada teriakan para perusuh yang sangat membenci kami etnis Cina. Entah rasa cintaku pada Indonesia ada di mana, dan aku tidak berusaha mencarinya.

 

INDONESIA

 

Menuliskan kata ini membuat tanganku bergetar. Aku mencoba mengurai rasa pada kata itu. Mencoba mencari apakah masih ada tersisa cinta untukmu. Aku tak ingin menjadi pengkhianat, aku tak mau menjadi seperti apa yang mereka tuduhkan untuk kami, bahwa kami tetaplah putra putri Indonesia meski bermacam-macam yang kalian hinakan pada kami.

 

Sejauh apapun kami pergi ternyata kami tetap mencintaimu, Indonesia. Kami tak pernah bisa melupakan apapun tentangmu. Dalam jiwaku terus mengalir budaya dan segala bentuk keragamanmu. Banggalah aku menyebut diriku Indonesia.

 

Selama ini aku mengingkarinya karena aku marah, namun pagi ini Papa menyadarkan aku bahwa berdamai dengan keadaan itu bukan masalah. Bahwa semua sudah menjadi takdir dan garis hidup kita. Tak perlu menjadi marah hingga hati membatu. Karena kita berbeda dengan semua pengacau negeri yang hanya bermodal amarah, kita berbeda dari mereka.

 

Aku tak ingin menjadi sama dengan mereka. Aku ingin berdamai, ingin menjadi putra putri Indonesia yang setia mencintai Indonesia dengan menjaga semua dalam kedamaian.

 

Aku menuliskan semua ini sebagai hadiah untuk diriku di hari kasih sayang dan juga di tahun baru Imlek ini. Aku ingin menjadi Alin yang terlahir dengan jiwa baru, melangkah tanpa marah dan benci. Berusaha berdamai dengan semua kehidupan masa lalu, menjadikan kisah pilu sebagai kerikil kecil penghalang, bukan sebagai tolak ukur melangkah.

 

Hari ini aku semakin yakin bahwa cinta itu tidak butuh pengakuan, dan begitulah yang terjadi pada rasa cintaku untuk Indonesia. Dengan sabar Indonesia menunggu aku untuk mengatakan cintaku padanya, dengan kasih yang tulus membawa aku lebih memahami arti cinta sejati. Aku mencintai Indonesia sepenuh jiwaku. Tak perduli kalian mengatakan aku Cina, aku PKI, aku pengkhianat, tetapi Indonesia tahu bahwa itu tidaklah benar.

 

Aku sudah membuktikan bahwa sejauh apapun aku hidup, semua norma yang ditanamkan budaya Indonesia masih aku pegang. Begitu lekat Indonesia menjerat jiwaku, hingga aku tak bisa lepas darinya.

 

Hari ini adalah hari perdamaian diriku dan bangsaku, melalui surat ini aku ingin mengatakan bahwa aku cinta Indonesia. Aku ingin kembali menghirup aroma laut Indonesia, menikmati sejuk pegunungan Indonesia, aku sangat ingin menginjakkan kaki di pasir laut dan juga di rumput hijau Indonesia, menyusuri pematang sawah yang ada di Indonesia, mandi di bawah air terjun yang ada di tengah hutan Indonesia.

 

Dengan seijin Tuhan bawalah aku kembali padamu, Indonesia. Berilah aku kesempatan untuk menikmati hangat mentarimu dengan damai. Bahwa aku sangat mencintaimu, aku ingin menjadi putra bangsa yang bisa membuatmu bangga.

 

Salam damai dari Amsterdam

 

Alin Lee

 

*****

 

"Gong xi fat cai untuk semua yang di Belanda. Mami, Lasmi kangen ...."

 

“Gong xi fat cai juga ya, buat Indonesia. Iya Lasmi, Mami juga kangen ...."

 

"Di sini hujan terus Mami, tapi rumah aman tidak bocor. Saya mau ijin sama Cici Alin, boleh kan kamarnya dipakai Wulan? Semua barang Cici Alin saya pindahkan ke kamar Cici Mee."

 

"Heii, pakai saja Lasmi, semua barang yang di kamarku aku berikan untuk Wulan. Kamar itu juga untuk Wulan...."

 

"Terima kasih Cici ... terima kasih, ya."

 

"Kami yang berterima kasih, kalian sudah menjaga semuanya untuk kami. Kamu cek ya, kemarin aku sudah transfer angpao untuk kalian."

 

"Terima kasih Cici, sampaikan pada Mami dan Papi kami merindukan kalian semua."

 

Kali ini tidak hanya air mata tetapi ada getaran yang berbeda membuat darahku berdesir, bahwa kata kerinduan dari Lasmi, Pak Kardi dan semua keluarganya berbalas kerinduan yang tulus dariku.

 

"Tunggulah … kami pasti kembali ke Indonesia dan menjumpai kalian semua. Kamipun rindu Indonesia," ucapku dengan air mata berlinang.

 

Tiada yang mampu melebihi rasa cintaku padamu, Indonesiaku. Berdamai denganmu dan diriku sendiri adalah wujud cinta paling murni. Dalam setiap denyut nadi dan aliran darahku, kini kurasakan kemerdekaan. Aku telah merdeka, untuk mencintaimu sepenuhnya.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.