Cinta Pertama Untuk Jingga

"Lha, kok bangun? Ini masih pagi lho, Den Ayu," sapa pagi Emak pada Mayang.
Sapaan itu dibalas senyum oleh Mayang. Sambil berjalan pelan ke arah meja makan, Emak menarik kursi kayu yang umurnya lebih tua dari Mayang.
"Sudah diam duduk di situ. Mak'e, seduhkan kopi ya, itu ada singkong rebus baru matang sebentar, ya," ujar wanita paruh baya itu sambil berjalan menuju dapur.
"Ibu kemana, Mak? Kok kamarnya kosong?" tanya Mayang sambil mengawasi seluruh ruangan dengan kepala yang celingak-celinguk.
"Ibu masih di masjid, biasanya habis subuh lanjut pengajian. Nanti pulang sekalian belanja sayur di warung Bu Puji yang dulu jualan sayur keliling, ingat, kan? Sekarang dia buka warung sayur di rumahnya."
"Ooh iya, Bu Puji itu ibunya Ambar, kan? Dulu teman SMP, anaknya manis, kan? Ingat, ingat Mak'e!" sahut Mayang tak kalah seru.
"Naahh bener, hebat kamu masih ingat teman lamamu. Si Ambar sekarang ikut suaminya ke Kalimantan. Wes sukses jadi ibu rumah tangga, anaknya 5 hahaha," sahut Emak diakhiri dengan suara tawa.
Emak muncul dengan nampan berisi mug kopi dan sepiring singkong rebus yang asapnya masih mengepul.
"Rasain singkong ini dari kebun belakang, kemarin panen banyak banget, jadi tetangga pada dapet semua," ujar Emak promosi singkong hasil panen.
Tanpa menunggu Mayang mengambil singkong rebus dan mengunyahnya. Terasa perpaduan empuk, gurih dan manis singkong. Dengan perlahan dinikmatinya aroma seduhan kopi yang sangat dirindukannya.
"Den Ayu harusnya lebih sering pulang, tengok Ibu dan Emak di sini. Kasihanlah pada kami yang sudah tua ini. Terutama pada Ibu, biarpun diam Ibu itu memendam rindu pada Den Ayu."
"Maaf lho, Emak lancang ngomong gini, tapi beneran kemarin waktu Den Ayu telepon mau balik liburan, Ibu bahagia sekali. Langsung panggil si Ari buat ngecat kamar Den Ayu, langsung suruh benerin sepeda Den Ayu, karena pasti Den Ayu pengen jalan-jalan seputaran kampung pakai sepeda," lanjut Emak bercerita sambil menasihati Mayang untuk lebih sering pulang ke rumah.
"Iya, Mak. Aku kemarin sibuk sekali jadi gak bisa cuti. Kali ini aku pulang lama kok, pengen liburan tenang di sini," balas Mayang sambil mengunyah singkong rebus.
"Di kota gak ada singkong ya, Den?" tanya Emak polos.
"Ada, tapi gak seenak ini Mak'e. Ini beneran enak banget," ujar Mayang. Sambil tersenyum malu.
"Den tambah cantik, persis kaya Ibu. Mas Damar juga jarang pulang, paling Mbak Reni dan anak-anak yang bisa balik nengok Ibu sebentar. Tapi lumayanlah Ibu jadi terhibur, rumah jadi rame," lanjut Emak sambil tersenyum membayangkan keramaian yang dibuat oleh anak-anak Damar.
"Iya, kemarin aku sempat telepon Mas Damar katanya mau ambil cuti juga minggu depan biar bisa balik kumpul di rumah."
"Alhamdulillah … bisa kumpul semua. Emak ikut seneng, bisa masak yang banyak untuk kalian semua," ujarnya sambil memijat jemari Mayang lembut.
"Makasih ya Mak'e … sudah menjaga Ibu, nemenin Ibu selama kami gak ada di rumah," balas Mayang dengan suara serak karena terharu.
*****
Sepeda mini dengan warna yang sudah pudar itu melintas lambat menyusuri pematang sawah yang berada di pinggiran desa. Mayang sengaja berkeliling desa mengendarai sepeda yang sudah diperbaiki oleh Ari cucu Mak'e yang memang sekolah di STM. Ia patut diandalkan untuk memperbaiki apapun di rumah.
Siang itu sawah sudah sepi tak ada terlihat petani yang sedang menggarap sawah. Rasanya tak pernah puas Mayang menghirup udara segar, dengan aroma padi yang sedang menguning. Ini adalah kesempatan mahal bagi Mayang, sudah lama dia tidak mengisi rongga parunya dengan udara segar dan bersih.
Dipuaskannya menikmati pemandangan sawah dan ladang milik warga, hingga sepeda dihentikannya di pinggir aliran irigasi yang berupa selokan besar dengan air yang bersih mengalir deras. Mayang kemudian berjalan menyusuri irigasi yang dibeton dengan rapi. Dengan hati riang Mayang duduk sambil mencelupkan kaki di air merasakan sensasi dingin sejuk menjalar dari kaki ketubuhnya.
Lama Mayang bermain air sendirian. Mayang turun menyusuri selokan dengan arah berlawanan arus air hingga terasa kakinya menginjak bebatuan merasakan licinnya batu kali, dan juga lumut yang beberapa kali membuatnya hampir jatuh terpeleset. Seperti mendapatkan permainan menarik, Mayang terus saja berjalan menikmati derasnya arus yang berbenturan dengan kakinya.
Setelah berjalan jauh, Mayang duduk di tengah batu yang paling besar. Bersila layaknya seorang pendekar, memejamkan mata sambil menghirup udara dan mengembuskannya kembali seperti beryoga. Puas menikmati panas mentari yang menyerap pada kulit pucatnya, Mayang kembali menyusuri saluran irigasi kembali ke tempat semua.
Dikayuhnya sepeda melewati tengah desa melalui jalur yang berbeda dari jalur awal tadi. Banyak warga yang menyapa sambil tersenyum melihat Mayang. Warga desa masih sangat ramah, sekedar menyapa walau tidak kenal siapa yang disapa. Sungguh kehidupan yang indah, batin Mayang. Kehidupan yang sudah lama ditinggalkan oleh Mayang yang memutuskan untuk tinggal di kota besar dengan masyarakat yang tidak mengenal satu sama lainnya.
Di ujung jalan tampak warung kecil dengan niat berhenti membeli minuman, Mayang dikejutkan oleh sapaan ramah seorang ibu yang juga pemilik warung.
"Lho ini Mbak Mayang, kan? Putranya Bu Margo?" sapa ramah pemilik warung.
"Iya Bu, saya Mayang," balas Mayang ramah.
"Ya Allah tambah ayu. Kapan mudik? Ingat Mila, kan? Teman SD, SMP dan SMA-nya? Itu anak Ibu," lanjut pemilik warung.
"Iya ingatlah Bu … Mila teman saya dari TK malah, di mana Mila sekarang Bu?"
"Mila nikah sama anak kampung sebelah, tinggalnya di dekat rumah mertuanya, tapi sekarang ngajar di TK tempat kalian sekolah dulu. Masih ingat kan, sekolah TK-nya?" Ibu itu menjelaskan sambil menunjuk ke arah TK yang dimaksud.
"Aah iya, saya masih ingat sekolahnya di mana. Pulang jam berapa Bu, biasanya?"
"Biasanya jam 12 siang karena anak-anak ada belajar ngaji sebagai tambahan," balas Ibu sambil tersenyum.
*****
Dengan perasaan campur aduk antara bahagia dan takjub Mayang memasuki halaman sekolah TK yang masih bertahan dengan bentuk dan cat yang sama. Hanya ada beberapa tambahan permainan khas taman kanak-kanak dengan cat warna-warni.
Mayang menikmati suasana halaman sekolah sambil duduk di area taman sekolah yang memang sengaja dibuatkan bangku taman untuk para wali murid saat menjemput anak mereka.
Masih sepi karena ini belum waktu menjemput, diambilnya ponsel dari kantong celananya lalu dipotretnya beberapa sudut sekolah untuk disimpan sebagai kenangan pribadi.
Namun tiba-tiba pinggangnya dipeluk oleh tangan kecil yang seolah ingin berlindung dari kejaran temannya, sambil memeluknya erat, dan merengek menangis. Mayang yang terkejut berusaha tenang sambil melihat adegan dua anak laki-laki yang sama kecilnya mengejar anak perempuan yang saat ini masih memeluknya erat.
"Ibu tolong, Wawan nakal Bu. Dari tadi tarik rambut Jingga terus, pas Jingga pukul malah Wawan marah mau pukul Jingga," adunya polos dengan air mata berlinang.
Mayang melihat rambut yang dimaksud, rupanya itu 'ikat satu ekor kuda' yang memang tampak sangat lucu dan menggemaskan. Lalu ditolehnya anak lelaki yang pastilah bernama Wawan berdiri tak jauh dari Mayang dengan wajah tertunduk seperti ketahuan sedang berbuat nakal, dan anak kecil satunya juga tertunduk takut.
"Ayo Wawan dan siapa namanya?" tanya Mayang ramah.
"Indra Bu," sahut anak yang satunya dengan suara serak.
"Iya Wawan dan Indra … sini, gak boleh ya gangguin anak perempuan. Apalagi marah sama anak perempuan. Anak laki itu kan lebih kuat, lebih berani iya kan? Jadi harus baik sama anak perempuan yang cantik kayak Jingga. Jingga kan, namanya?" tanya Mayang sambil memeluk anak perempuan yang bernama Jingga lebih erat.
"Iya Bu ..." sahut Indra dan Wawan bersamaan.
"Ayo sekarang Wawan, Indra dan Jingga bersalaman, sudah jadi sahabat gak boleh bertengkar lagi, ya? Jingga namanya cantik seperti orangnya," ujar Mayang sambil membelai pipi anak kecil bernama Jingga itu.
Dari ujung lorong tampak seorang guru mencari muridnya yang lari dari dalam kelas. Dilihatnya mereka di bawah pohon sedang berdiri mengelilingi seorang wanita asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Mila berlari kecil menghampiri, dan betapa terkejutnya saat mengetahui wanita asing itu adalah Mayang teman kecilnya.
"Mayang … ya Allah gusti, hari apa ini kok aku bahagia banget ketemu kamu!" teriak Mila sambil merangkul Mayang dengan erat.
"Lha iya, tadi aku ke warung terus Ibu bilang kamu ngajar di sekolah kita. Jadi aku lanjut ke sini," balas Mayang.
"Duuuh, kamu tambah cantik aja, wes jadi orang kota ya tambah cantik," sahut Mila sambil menatap Mayang dengan takjub.
"Huuss! Jangan bilang orang kota. Aku tetep orang desa kok, cuma numpang aja hidup di kota," balas Mayang sambil tertawa.
"Terus anak-anakku gak bikin masalah, kan? Hayo anak-anak … minta maaf sama Ibu Mayang, terus balik ke kelas ya?" ujar Mila memerintahkan anak-anak yang lari dari kelas.
"Enggak kok ya? Jingga, Wawan dan Indra anak baik semua ya. Bersahabat ya semuanya." Mayang kemudian mengulurkan tangannya untuk memeluk mereka bertiga yang disambut senyum malu-malu.
Mila yang melihat sikap Mayang pada muridnya sangat tersentuh, terlebih saat melihat Mayang memeluk Jingga dengan kasih. Seperti melihat ketulusan pada sahabatnya ini. Mila hanya bisa tersenyum melihat sikap Mayang.
"Kapan kamu datang? Main ke rumah ya? Atau aku aja yang main kapan kamu gak sibuk, ya?" ujar Mila tersenyum.
"Kebiasaan kamu ya, pertanyaan banyak jadi binggung mau jawab yang mana dulu."
"Baru sampe rumah kemarin siang, seharian tidur, makan singkong, ngopi di rumah sama Ibu. Baru pagi ini bisa keluar jalan-jalan. Aku lama kok liburan, jadi kita bisa sering jumpa. Terserah kamu mau ke rumah boleh, atau aku yang ke rumah juga bisa. Selama Harleyku gak kempes bannya, aku bisa ke mana aja," balas Mayang yang disambut tawa oleh Mila.
"Kamu gak berubah ya, tetep konyol!" ujar Mila di antara tawanya.
*****
Tidak susah untuk menemui Jingga di antara banyaknya anak seusianya dengan baju sekolah yang sama dan di halaman sekolah TK yang riuh dengan anak yang pulang sekolah dan juga para penjemput yang tak kalah banyaknya.
Jingga selalu duduk di bawah pohon nangka sampai ayahnya datang menghampiri, ini adalah tempat mereka selalu berjumpa. Jingga harus duduk di bawah pohon nangka yang teduh sehingga tidak ikut berdesakan di depan pagar sekolah. Kali ini Jingga duduk sambil tersenyum melihat ayahnya datang menghampiri.
"Ayaaaaah!" teriak Jingga sambil melambai.
"Ayah terlambat, ya? Maaf ya ... dendanya ayah belikan es krim," sahut Ayah ramah menghampiri sambil memeluknya.
"Asiiikk! Tapi Ayah belum terlambat karena Yuda belum dijemput neneknya. Biasanya Yuda yang paling lama dijemput," sahut Jingga tertawa.
"Oke, cantik. Ada cerita hari ini?" tanya Ayah sambil menggandeng tangan mungil anaknya.
"Hari ini aku sudah bersahabat dengan Wawan dan Indra, karena kami disuruh Bu Mayang menjadi sahabat," cerita Jingga polos pada ayahnya.
Raut wajah Ayah menjadi terkejut saat mendengar nama Mayang disebut oleh Jingga. Tak ada Mayang lain dikampung ini, selain Mayang sudah lama tidak pulang ke kampung. Seingatnya sejak kejadian waktu itu, Mayang tak pernah terlihat lagi. Bahkan ketika lebaran pun tak pernah didengarnya Mayang pulang ke kampung mengunjungi keluarganya.
"Ibu Mayang siapa?" tanya Ayah pada Jingga.
"Ibu Mayang itu temannya Ibu guru Mila."
Tak salah lagi. Seperti dugaannya, benar Mayang sedang berada di kampung. Mila tak pernah memiliki teman bernama Mayang selain Mayangnya dulu. Rasa penasaran membuatnya harus menemui Mila yang juga teman sekolahnya sejak kecil. Jingga disuruhnya diam menunggu di bawah pohon nangka sementara Gading, lelaki itu, berjalan ke kelas menemui Mila.
"Assalamualaikum, Mila. Benarkah Mayang sedang berada di sini?" tanya Gading langsung pada Mila yang sedang membereskan peralatan sekolah di kelas.
"Wa'alaikumsalam, sudah kuduga kamu pasti kayak cacing kepanasan kalau tahu Mayang ada di sini," balasnya sambil tersenyum.
"Mila, aku serius kapan dia datang? Bagaimana dia? Sampai kapan dia di sini?" Pertanyaan yang bertubi-tubi keluar dari mulut Gading.
"Mila … ayolah. Apakah Mayang tahu Jingga itu anakku?" tanya Gading.
"Kayak petasan malam takbiran aja sih, pertanyaan banyak banget. Yang jelas Mayang tambah cantik, sudah gak ikat ekor kuda lagi, dan dia bakal liburan lama di sini," jawab Mila panjang setengah menggoda sahabat kecilnya sekaligus wali murid siswanya saat ini.
"Mayang belum tahu siapa Jingga, tapi Jingga lari peluk Mayang tadi. Aku aja kaget liat mereka berpelukan. Hati langsung adem liatnya. Mayang peluk Jingga kayak ibu memeluk anaknya," balas Mila dengan raut sedih.
"Mila … Jingga cerita tadi. Aku kaget, duuh aku harus bagaimana? Kampung ini kecil sekali, entah di mana nanti kami pasti bakal berjumpa," ujar Gading sambil berjalan mondar-mandir.
"Ya hadapilah, mosok mau lari terus. Kamu tidak akan bisa menentang takdir. Mayang sudah dewasa sekarang, tambah cantik dan sepertinya belum menikah. Mau lari ke manapun kalau sudah jodoh pasti bertemu." Mila tertawa melihat teman kecilnya tampak kebingungan.
"Huus! Ngawur. Aku cuma takut Mayang masih dendam," balas Gading.
"Makanya dihadapi, karena katanya Mayang mau libur lama di kampung," ujar Mila memberi informasi tambahan yang malah membuat Gading keringat dingin.
"Jangan takut, Mayang tak akan dendam padamu. Mayang wanita yang sudah berpikiran maju, sudah lama tinggal di kota. Harusnya kamu lega karena kamu lelaki yang bertanggung jawab dengan menikahi Andini waktu itu dan akhirnya kamu membesarkan Jingga, melalui semuanya tanpa mengeluh."
Gading memijat kepalanya seperti ingin menghilangkan pusing yang tiba-tiba menyerang otaknya. Ditatapnya Mila dengan wajah binggung.
"Sudahlah, biarkan alam yang menuntun kalian untuk berjumpa. Jangan pernah menentang skenario sang pemilik alam. Semoga kalian bisa saling memaafkan kesalahan masa lalu. Aku ingin kita kembali bersahabat seperti dulu," ujar Mila dengan bijak berusaha menenangkan sabat kecilnya.
"Sudah sana, kasihan Jingga lama menunggumu. Aku tahu dia bahagia sekali karena dibilang cantik dan memiliki nama indah oleh Ibu Mayang," tutur Mila menggoda Gading yang masih tampak pusing.
"Sudahlah, jangan terus mengodaku," balas Gading sambil berlalu.
Di sepanjang jalan Jingga bercerita tentang Ibu Mayang yang sangat cantik, baik dan juga memeluknya. Jingga bahagia sekali karena Ibu Mayang mengelus pipinya dengan lembut. Gading yang mendengarkan anaknya berceloteh, sesekali melirik Jingga yang selalu menyunggingkan senyum bahagianya siang ini. Tahulah Gading bahwa anaknya merindukan sosok Ibu yang bisa memeluknya, dan hati Gading menjadi sangat sedih.
*****
Hari Minggu pagi Mayang sudah siap menemani Ibu ke pasar, karena pasar tak jauh dari rumah mereka akan berjalan kaki. Besok Mas Damar dan keluarganya akan datang dan berlibur di rumah Ibu, maka hari ini Ibu dan Mak'e akan masak besar menyambut rombongan keluarga Mas Damar.
Mayang menenteng keranjang, disampingnya Ibu berjalan mereka bercerita sambil sesekali menyapa tetangga yang dijumpainya di jalan.
Saat akan berbelok di tikungan jalan ke tiga, dari arah berlawanan dilihatnya beberapa anak mengendarai sepeda dengan kencang hingga tak bisa mengerem dan mengendalikan laju sepeda dan menabrak anak kecilnya yang sedang berjalan menggendong boneka beruangnya.
Dari jauh Ibu dan Mayang berteriak histeris melihat anak kecil itu jatuh di jalan. Sementara anak yang mengendarai sepeda pun terjatuh dan teman-temannya berhenti tak jauh dari tempat kejadian.
Mayang spontan berlari menghampiri anak kecil yang tertabrak, dan mengendongnya. Berusaha menenangkanya dengan memeluknya, tangis anak perempuan itu menahan sakit membuat Mayang panik. Lalu dilihatnya tangan dan kaki anak yang tampak lecet.
"Sudah cup cup, ya sayang. Tenang, nanti diobati ya," ucap Mayang sambil mendekap anak kecil itu agar tangisnya mereda.
Lalu diperhatikannya wajah anak yang penuh air mata itu, disingkapnya poni yang basah oleh keringat, dan betapa terkejutnya Mayang melihat Jingga yang menjadi korban.
"Jingga? Ya Tuhan … kamu mau ke mana Nak?" ujar Mayang sambil memeluknya dengan lembut.
"Ibu Mayang … sakit, kaki Jingga sakit," rengek Jingga manja.
"Iya … iya nanti kita obati ya, rumah Jingga di mana? " tanya Mayang lembut.
Ditunjuknya arah jalan menuju rumahnya oleh Jingga. Dengan perasaan bingung Mayang meminta Ibu untuk ke pasar sendiri, sebelum nanti Mayang menyusulnya setelah mengantar Jingga. Dengan hati yang juga gundah Ibu menyuruh Mayang menyelesaikan saja urusannya mengantar Jingga lalu pulang ke rumah agak tidak menyusul ke pasar.
Digendongnya Jingga yang tetap memegang boneka beruangnya. Masih terisak kesakitan, Jingga memeluk Mayang dalam gendongan.
Tepat di depan rumah mungil berpagar kayu, Mayang melangkah sambil mengucapkan salam dan berdiri di depan teras rumah tersebut. Menunggu beberapa saat, tak ada orang yang keluar dari dalam. Lalu Mayang mengucapkan salam lebih keras, hingga dilihatnya sosok yang sangat dikenalnya berjalan dari dalam.
Tak pernah bisa Mayang melupakan bahu lelaki itu, bahkan dari siluetnya sudah mampu membuat Mayang diam terpaku. Cara berjalan lelaki itu masih sama. Tegap dan tenang, juga tatap mata lelaki itu yang saat ini tampak sangat terkejut atas keberadaan Mayang di depan teras rumahnya dengan menggendong Jingga anaknya.
"Waalaikumsalam … Mayang … Jingga … kenapa dengan Jingga?" jawab Gading sambil sigap menerima Jingga dari gendongan Mayang yang masih diam terpaku.
"Tadi Jingga ditabrak anak naik sepeda, aku dan Ibu mau kepasar jadi aku bawa Jingga pulang," ucap Mayang terbata-bata.
"Ibu? Mana Ibu?" Gading melihat ke sekeliling namun ia tak menemukan Ibu.
"Ibu sudah ke pasar sendiri, aku mengantar Jingga," jawab Mayang masih benggong.
"Kakinya sakit, segera bersihkan dan berikan obat, kasihan Jingga kesakitan," tutur Mayang pada Gading.
"Iya segera … ayo masuk," ucap Gading bingung.
Masih tak percaya dengan apa yang dijumpainya, Mayang berusaha berpikir kenyataan yang dihadapinya bahwa Jingga adalah anak Gading, dan saat ini Mayang sedang berada rumah Gading tepatnya duduk di ruang tamunya. Sementara Jingga dibaringkan Gading di sofa ruang tamu, Gading pergi ke dalam mengambil kapas, tisu dan obat merah serta semangkuk air bersih dengan tergopoh-gopoh karena mendengar Jingga yang merintih kesakitan.
Sementara Mayang membuka celana pendek Jingga serta kaosnya yang berlumuran darah, Mayang mengelus rambut anak kecil itu dengan kasih sambil membisikinya agar Jingga tenang.
Dengan sigap Mayang memeluk Jingga saat anak itu menjerit kesakitan saat lukanya dibersihkan oleh ayahnya, sampai luka itu sempurna diobati dan ditutup perban Jingga masih dalam pelukan Mayang.
Setelah semua beres, barulah Jingga diam dari tangisnya. Jingga masih memeluk Mayang, dan dengan kasih Mayang mengelus punggungnya yang baru saja dibersihkan dari keringat, digantikan baju kaos yang bersih dan hingga Jingga lelap tertidur dalam pelukan Mayang.
Gading hanya diam memandang keduanya dari dapur ketika sedang memanaskan air untuk teh panas Mayang. Dengan kode tanpa suara, Mayang bertanya di mana harus menidurkan Jingga. Dari dapur Gading memberi kode dengan tangannya untuk bersabar karena dia sedang membuat minuman. Mayang melotot tanda marah, dan Gading menangkupkan tangannya di dada tanda minta maaf. Semua dilakukan dengan bahasa isyarat karena takut Jingga terbangun.
Setelah meletakkan dua cangkir teh di meja tamu, Gading membuka pintu kamar kedua di rumah itu. Mayang melangkah masuk sambil menggendong Jingga yang lelap tertidur, diletakkannya anak kecil itu dengan lembut ditatanya selimut dengan rapi diatas tubuh Jingga, ditatapnya seolah ingin mencari jejak seseorang di wajah Jingga. Hampir semua adalah wajah Gading, maka yakinlah ia bahwa ini adalah anak Gading. Mayang tersenyum getir untuk dirinya sendiri tetapi sungguh yang dirasakan justru hal berbeda dan Mayang sangat ketakutan tentang rasa yang dirasakannya itu.
Diliriknya Gading masih berdiri terpaku di depan pintu menatap Mayang dan Jingga, dia sangat tahu apa yang dirasakan Mayang saat ini. Tetapi Gading akan menghadapinya dengan ikhlas.
Duduk di ruang tamu dibatasi meja, Mayang dan Gading diam membisu.
"Kapan kamu datang?" tanya Gading pelan.
"Tiga hari yang lalu. Hari pertama aku sudah bertemu Jingga di sekolah, aku sudah memeluknya. Dan pagi ini aku menggendongnya, menidurkannya dalam pelukanku sampai aku yakin memang Jingga anakmu," ujar Mayang pelan.
"Dia cantik, rambutnya diekor kuda, dan dia pintar," lanjut Mayang.
"Di mana Andini? Kenapa dia tidak ada bersama kalian di sini?" tanya Mayang tanpa basa-basi.
"Jingga sudah bercerita padaku kalau kalian berjumpa di sekolah, sejak hari itu nama Ibu Mayang selalu terdengar di rumah ini. Terima kasih sudah memeluk Jingga," ujar Gading dengan suara beratnya. Helaan napas Gading membuat suasana menjadi tegang.
"Andini sudah meninggal, saat melahirkan Jingga. Hari itu aku merasakan dua hal sekaligus. Bahagia melihat Jingga hadir di bumi, tetapi juga berduka karena Andini pergi meninggalkan kami. Aku belum sempat memberikan yang terbaik untuknya, saat itu aku masih marah pada diriku sendiri hingga aku ada untuknya hanya untuk memenuhi tanggung jawab atas perbuatanku. Itu adalah kesalahan yang besar," lanjut Gading.
"Karena kesalahanku aku kehilangan kamu Mayang, aku kehilangan kepercayaan Bapak dan Ibu, aku merasa dibuang dan sendiri. Maka aku marah pada diriku sendiri, juga pada Andini. Hingga dia berjuang sendiri untuk Jingga di masa kehamilannya." Suara Gading penuh emosi yang tertahan.
"Jingga tumbuh besar tanpa Ibu, aku merawatnya sendiri dan tiba-tiba saja Jingga sudah bisa berjalan, berlari memanggilku Ayah, lalu berteriak bila marah, dan kini dia sudah sekolah. Dia hadir untuk menemaniku." Kali ini Gading tak kuasa bercerita tanpa air mata.
Mayang duduk berusaha tenang mendengarkan Gading, bahkan cerita ini tidak pernah didengarnya. Sebab sejak Gading menyatakan harus menikahi Andini karena gadis itu sedang mengandung anaknya, Mayang memutuskan untuk pergi dan bekerja di kota. Tak pernah pulang ke rumah walau itu hari lebaran sekalipun.
Mayang pergi membawa luka, berusaha menyembuhkan lukanya dengan menyibukkan diri tengelam dalam pekerjaanya. Walau sampai hari ini sosok Gading tak pernah bisa dilupakannya. Inilah salah satu alasan mengapa mayang tak ingin kembali, karena ia belum bisa melupakan Gading, belum bisa mendapatkan pengganti Gading.
"Maafkan, aku ikut berduka karena kepergian Andini. Maaf aku terlambat mengetahuinya," ujar Mayang dengan suara pelan.
Gading terdiam meski ia meresapi kalimat yang keluar dari mulut Mayang.
"Mas, aku pamit. Salam untuk Jingga, semoga lekas sembuh." Mayang kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan Gading yang masih duduk terdiam.
Sepanjang jalan Mayang menangis, hatinya seperti tiba-tiba diimpit oleh perasaan yang sangat sedih. Entah apa yang dia rasakan, tetapi kali ini Mayang butuh sendiri. Akhirnya Mayang memutuskan berjalan menyusuri pematang sawah menuju aliran irigasi yang airnya sejuk dan menenangkan.
Duduk sendiri sambil menangis dan berpikir betapa kosongnya jiwa seorang Jingga. Masih terasa hangat tubuh kecilnya saat Mayang memeluknya pertama kali, tatapan mata polos dan senyum Jingga saat Mayang mengatakan dia gadis cantik, bahkan halus pipi Jingga saat Mayang membelainya. Tadi pagi betapa tangan kecil itu memeluknya erat seolah tak ingin dilepas, saat Jingga menahan rasa perih dan sakit akibat luka, kepala kecilnya bersandar manja di dada Mayang, merasakan detak jantungnya yang saat itu gelisah melihatnya kesakitan.
Tapi mengapa semua tangisnya saat ini bermuara pada Jingga? Mengapa airmata Mayang hari ini tumpah hanya untuk Jingga? Bukankan 5 tahun lalu Mayang pun menagis karena keberadaan Jingga dalam rahim Andini? Jingga adalah alasan Gading meninggalkannya? Jingga pula yang membuat Mayang pergi menjauh membawa luka hati? Air mata Mayang menetes selalu karena Jingga.
Mayang tak bisa melepaskan bayangan gadis kecil itu, betapa histerisnya ia berteriak saat melihat Jingga terjatuh karena ditabrak sepeda, dan bayangan wajah Jingga saat tertidur pulas dengan air mata mengering di pipinya.
"Tuhan … beri aku petunjuk. Mengapa aku selalu memikirkan Jingga?"
Puas menangis dan menyendiri, Mayang berjalan kembali pulang kerumah dengan perasaan yang masih gundah. Tetapi dia bertekad untuk menyimpan semuanya sendiri.
*****
Dua hari ini rumah menjadi sangat riuh dan ramai. Keluarga Mas Damar sudah datang. Mbak Reni, kakak iparnya yang paling baik sudah mengambil alih tanggung jawab urusan rumah tangga. Sarah dan Alam, dua ponakannya seolah tak pernah lelah memporak-porandakan rumah yang dalam sekejap saja sudah bagai kapal perang. Tetapi semua menikmatinya, rumah yang biasanya sepi kini ramai bagai pasar malam.
Mbak Reni dan Mayang sedang sibuk menyiapkan makan malam. Semua ditata di meja makan, piring dan gelas air minum disiapkan. Ini kebiasaan mereka bila berkumpul, yaitu makan bersama.
Sayup terdengar suara ketukan pintu. Ibu tergopoh menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Tak berapa lama Ibu muncul ke ruang makan dengan senyum memanggil Mayang.
"Ibu Mayang, ada tamu nih," suara ibu lembut. Ibu berdiri di ruang makan dengan menggandeng gadis kecil yang menenteng tas berwarna putih.
"Ibu Mayang … Jingga kangen," ucap gadis kecil itu dengan suara pelan tertahan.
"Jingga … sama siapa ke sini? Sini, Ibu Mayang juga kangen ..." ucap Mayang sambil merentangkan tangannya yang disambut Jingga dengan berlari kecil memeluk Mayang dengan erat.
Ibu, Mbak Rina dan Mak'e yang saat itu melihat mereka berpelukan seolah tak kuasa menahan air mata mereka, walau belum paham seutuhnya siapa gadis kecil ini. Tetapi yang mereka lihat adalah Mayang tulus memendam rindu pada anak kecil bernama Jingga itu.
"Ibu Mayang … ini Jingga bawain kripik singkong pedas buatan Eyang. Kata Ayah, Ibu Mayang dulu paling suka kripik pedas buatan Eyang," ujar Jingga polos sambil memberikan tas putih berisi kripik singkong pedas.
"Iya, iya Ibu Mayang suka sekali. Eyang sehat, kan? Jingga sudah sehat juga?" tanya Mayang sambil memperhatikan Jingga dengan seksama.
"Jingga sudah sembuh, tinggal bekas lukanya yang belum hilang, tapi masih perih kalau mandi. Eyang sehat, tadi titip salam buat Ibu Mayang dan Eyang juga," ucap Jingga sambil menolah pada Ibu yang masih berdiri terpaku di tempatnya.
"Waalikumsalam, Jingga ikut makan ya sekarang" ucap Mayang.
"Ayah juga boleh ikut makan, kan?" tanya Jingga polos.
"Iya bolehlah, semua ikut makan," ucap Mayang tertawa dan memeluk Jingga. Yang ada di ruangan itupun ikut tertawa mendengar kepolosan Jingga.
Tak ada yang sanggup menjelaskan bagaimana kebahagiaan mereka makan bersama di rumah Ibu malam itu. Ibu merasa bahagia hingga tak pernah lupa menyendokkan lauk pada Damar dan Gading. Mas Damar hanya mengangguk sambil tersenyum melihat Mayang yang sibuk dengan Sarah, Alam dan Jingga tampak tidak ada kekakuan meladeni tiga anak kecil itu. Gading dan Mayang tak perlu lagi mencari jawaban atas semuanya, yang mereka tahu hari ini adalah bahagia.
"Seperti juga kamu adalah cinta pertamaku, kali ini aku kembali karena sejak pertama kali melihat Jingga aku sudah jatuh cinta padanya," ucap Mayang pada Gading saat mereka duduk berdua di teras.
"Maafkan aku Mayang, atas semua kesalahanku. Terima kasih sudah mencintai Jingga itu saja sudah anugerah untukku. Kali ini aku memintamu untuk tinggal bersama kami di sini, jangan pergi lagi," ucap Gading.
Mayang semakin erat memeluk Jingga yang sejak tadi sudah tertidur dalam dekapannya. Karena setelah makan malam Jingga lelah bermain bersama Sarah dan Alam.
Dikecupnya kening Jingga sebagai jawaban atas lamaran Gading padanya.
Mayang merasa Jingga adalah hadiah yang diberikan semesta untuknya, atas kesabaran serta kesetiaannya menjaga hati selama ini.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.