PENULIS DAN EDITOR
![PENULIS DAN EDITOR](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_64c8ad3303efd.jpg)
Penulis dan editor itu seperti Tom and Jerry. Mereka hampir selalu bertengkar. Keduanya berdebat dengan argumentasinya masing-masing. Banyak orang yang tidak mengetahui titik permasalahannya, termasuk penulis dan editornya sendiri. Sebenarnya apa, sih, yang membuat keduanya berselisih? Saya mencoba menganalisis fenomena ini.
RUANG IMAJINASI DAN RUANG EDITING
Dalam proses penulisan fiksi, ada dua ruangan yang perlu kita masuki. Yang pertama adalah Ruang Imajinasi. Dan yang kedua adalah Ruang Editing. Kedua ruangan ini sama pentingnya. Kedua ruangan itu harus kita masuki satu persatu.
1. RUANG IMAJINASI
Yang pertama kali kita masuki adalah ruang imajinasi. Di ruangan ini kita dilarang keras mengedit sebuah tulisan. Biarkan tulisan terpampang seperti apa adanya. Jadi bila kita sudah terlanjur menulis sebuah kata makian yang dilontarkan seorang bapak pada anaknya, “Anjing lu!”, biarkan aja begitu. Jangan diedit. Kenapa demikian?
Di ruang imajinasi, kita sedang memberdayakan IMAJINASI kita. Kata-kata yang sudah tertulis adalah jejak EMOSI dari cerita yang sedang kita buat. Setiap kata yang tertulis adalah jembatan emosi yang sedang kita lalui menuju ke imajinasi berikutnya. Kalau kita berhenti lalu mengedit tulisan tersebut, itu sama saja kita memutus imajinasi yang sedang berjalan. Jadi biarkan semua kata tertulis apa adanya. Teruslah menulis sampai cerita selesai.
Di ruang imajinasi ini kita harus MENGHAMBA PADA KEBEBASAN. Lupakan kesalahan ejaan, acuhkan soal norma dan aturan, jangan ada nilai-nilai yang mengekang, misalnya kekerasan, pornografi, SARA dll. ABAIKAN SEMUA.
Ruang imajinasi adalah domain dari SUBCONSCIOUS MIND atau pikiran bawah sadar. Di ruang imajinasi, LOGIKA sudah tidak terlalu berperan lagi. Di sini kepintaran penulis akan mencapai puncaknya. Imajinasi berjalan dengan liar, menabrak semua penjara termasuk penjara logika di dalamnya.
2, RUANG EDITING
Ketika tulisan sudah rampung, barulah kita memasuki ruang editing. Ruang editing adalah domain dari CONSCIOUS MIND atau pikiran sadar. Ruang ini adalah domain dari LOGIKA.
Di ruang editing, kita bisa membaca lagi cerita dari awal dan merevisi semua kata yang rasanya terlalu kasar, terlalu porno, atau sesuatu yang tidak logis. Pokoknya di sinilah kesempatan kita untuk mengedit cerita dari awal sampai akhir. Di sinilah kita memasang kembali kembali penjara-penjara yang dilabrak oleh penulis di ruang imajinasi, Kita mulai memasang penjara agama, penjara norma, tata bahasa dan lain-lain.
Artinya, di ruang imajinasi kita menjadi PENULIS. Di ruang editing kita menjadi EDITOR. Seorang editor, sahabat saya, Oksand, pernah berkata bahwa di ruang editing, kita harus bertindak sebagai dosen yang paling killer atas karya kita sendiri.
EDITOR PENERBIT
Ketika naskah buku tersebut rampung, Si Penulis akan mengirimkannya pada penerbit. Jika naskah tersebut lulus seleksi, pihak penerbit akan menunjuk seorang editor untuk mengedit naskah tersebut.
Sang Editor akan bekerja persis seperti yang kita lakukan di ruang editing. Mereka akan merevisi tata bahasa, norma-norma. Memangkas bagian yang terlalu sadis, terlalu porno, mengandung SARA dan lain-lain. Intinya adalah Sang Editor bekerja di CONSCIOUS MIND alias di domain LOGIKA.
Di sinilah biasanya perdebatan terjadi antara penulis dan editor. Penulis merasa terganggu dengan editan Sang Editor. Lucunya dia sendiri gak ngerti dan gak bisa menjelaskan apa yang menyebabkan tulisannya terganggu. Nah, yang terjadi sebetulnya adalah sebagai berikut.
Sang Editor, tanpa terasa, rupanya ikut memangkas alur IMAJINASI yang telah dibangun Si Penulis. Editornya tentu saja tidak bisa menangkap hal itu, kenapa? Karena dia hanya bekerja di ruang EDITING. Sementara bagian yang terpangkas adalah bagian yang terdapat di ruang imajinasi. Sang Editor merasa tidak ada yang berubah dengan naskah buku itu. Dia merasa hanya memperbaiki hal-hal yang seharusnya dia lakukan di ruang editing. Dia tidak menangkap ada alur emosi yang juga terpangkas.
Seorang penulis sering mempunyai hubungan emosional dengan sebuah kata tertentu. Hubungan emosional antara seorang penulis dan sebuah kata tentu saja sangat personal. Misalnya ada seorang penulis novel yang berkeras mau menggunakan kata 'Saya' sebagai kata ganti orang pertama. Secara emosional, dia merasa kata 'Saya' menggambarkan karakter tokoh yang lebih tangguh. Sementara kata 'Aku' dianggap terlalu childish dan menye-menye.
Di penerbit, ternyata semua kata 'Saya' diganti oleh editor menjadi kata 'Aku'. Alasannya, semua novel umumnya menggunakan kata 'Aku' daripada 'Saya'. Lalu ributlah keduanya. Tom and Jerry mulai kejar-kejaran lagi.
Itu baru satu kata. Masalah akan timbul lagi ketika editor mengubah kalimat, menghapus adegan porno, memangkas bagian yang sadis bahkan bisa jadi editor juga menyunat beberapa halaman yang dirasa tidak sesuai dengan kebijakan yang dianut oleh penerbitannya.
Saya pernah menulis sebuah buku yang berjudul "Go West and Gowes'. Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang saya tulis berdasarkan kisah nyata. Di buku inilah saya ribut besar dengan editor Bentang Pustaka yang menerbitkannya,
Di salah satu bab, saya bercerita tentang seorang tokoh perempuan dengan karakter kontradiktif. Dia cantik, lembut, baik hati, suaranya sangat halus dan wajahnya begitu agung dan suci. Bertentangan dengan penampilannya, dia suka sekali mengeksplorasi sex. Dia sering bercerita secara gamblang tentang sejauh apa eksplorasi sex yang telah dilakukannya. Tanpa tedeng aling-aling dia berkisah tentang fantasi-fantasi sexnya yang cenderung radikal.
Nah, di sinilah karakter uniknya muncul. Seberapa kasar pun diksi yang dipilihnya, semua orang tidak ada yang menganggap rendah dirinya. Aura perempuan ini terlalu agung sehingga tidak ada kata sejorok apapun yang mampu menurunkan levelnya sebagai perempuan terhormat. Keunikan karakter itulah yang menjadi kekuatan dari cerita ini. Pesan itulah yang ingin saya sampaikan pada pembaca.
Sayangnya, pesan itu tidak pernah tersampaikan. Dengan sadis penerbit Bentang Pustaka mencincang semua kata yang dianggap porno dan jorok. Pertengkaran pun dimulai. Karena capek berdebat berminggu-minggu, saya pun mengalah. Buku itu terbit tapi karakter unik Si Tokoh tidak pernah muncul. Pembaca hanya menangkap ada tokoh perempuan yang cantik, lembut, baik hati dan bersuara lembut. Akibatnya ceritanya jadi garing. Cerita yang hanya cocok ditayangkan di majalah Anita dan Cemerlang jaman dulu.
Sejak itu, setiap ada penerbit meminta saya menerbitkan buku di penerbitannya, saya kirim naskahnya dan meminta mereka untuk mengeditnya terlebih dulu. Kalau editannya keterlaluan, saya tarik naskah itu, Kalau OK, barulah kontrak ditandatangani.
Sampai detik ini pertengkaran antara penulis dan editor masih terus terjadi. Sulit mencapai kata sepakat antara keduanya. Seperti sudah saya sebutkan di atas, penulis berbicara dari ruang imajinasi dan editor berargumentasi dari ruang editing. Yang satu berbicara tentang emosi, yang satu berbicara tentang logika dan tata bahasa. Itu sebabnya pertengkaran antara Tom and Jerry berlangsung sepanjang masa.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.