Waktu sudah menujukkan lebih dari pukul 12.00 siang. Hari itu, Rabu, 4 Juni 2024, pada jam segitu, matahari Kota Depok sedang panas-panasnya. Namun, sinarnya yang galak itu tak membuat sekitar tiga puluhan anak muda gentar. Sampai-sampai mereka tak merasa perlu untuk mencari keteduhan. Berhubung terlalu asik mengamati dan bertanya-tanya tentang replika candi dan benda cagar budaya sejenisnya, yang mencogok di tengah-tegah kampus FIB UI di Depok.
Kelompok anak-anak muda tersebut adalah, dua puluh orang di antaranya, murid-murid SMA dan yang setara. Berasal dari kelas 10, 11, dan 12. Sisanya, yang berjaket kuning, adalah para mahasiswa Departemen Arkeologi FIB UI. Sesekali, terdengar tawa berderai di antara mereka. Sedang ngapain sih mereka itu sebetulnya? Koq terlihat menyenangkan sekali suasana di antara mereka?
Nah, mereka itu sedang melakukan aktifitas menarik yang dinamakan Conserfuntion. Ah, apa pulak itu!?
Conserfuntion adalah gabungan kreatif dari dua kata Bahasa Inggris, conservation dan fun. Conservation atau konservasi adalah peri laku serius terhadap benda-benda temuan arkeologi termasuk cagar budaya. Secara sederhana, makna dari konservai adalah tindakan perawatan koleksi arkeologi. Sedangkan kata fun, kita semua tahu bahwa artinya adalah bersenang-senang.
Ketika si serius konservasi dan si bersenang-senang bertemu, jadilah Conserfuntion tersebut. Lalu mewujud menjadi sesuatu yang seru, yang tercermin dari keceriaan para generasi muda tadi. Mereka yang tadi itu tak peduli meski berada di bawah sinar matahari pukul 12 siang yang tajam membakar.
Acara di panas-panasan tersebut merupakan sesi penutup dari Conserfuntion. Sebelumnya, dua puluh murid SMA tersebut sejak pukul sembilan pagi sampai dengan dua belas siang, tekun menyimak paparan-paparan yang berlangsung di ruang laboratorium Departemen Arkeologi FIB UI. Paparan-paparan yang disampaikan oleh dua arkeolog senior yang jago dalam hal konservasi dan kurasi.
Pemapar pertama adalah Desrika Retno. Ibu yang satu ini berpengalaman tahunan sebagai kurator di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Ia kini berdinas di Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang juga berlokasi di Jakarta. Materi yang dibawakannya berjudul Konservasi Koleksi Museum.
Desrika menyampaikan materinya dengan tenang dan santai, tapi cukup serius. Sesuai dengan judul materinya, ia membahas apa itu museum dan fungsinya. Ditambah, pentingnya konservasi untuk koleksi museum. Desrika juga bercerita tentang berbagai tindakan vandalisme yang dilakukan manusia yang notabene pengunjung museum, yang ternyata sangat mengganggu kesejahteraan benda-benda koleksi museum.
“Teman-teman, tolong ya kalau ke museum sambil makan permen karet, karetnya dibuang ke tempat yang benar,” Desrika tiba-tiba nyeletuk.
Ternyata, permen karet adalah salah satu musuh besar konservasi. Orang-orang yang tak bertanggung jawab sering kali tak ragu untuk menempelkan sisa permen karet pada koleksi-koleksi museum. Terutama koleksi arca batu.
Biasanya, mereka menempelkan sampah permen karetnya di bagian yang tersembunyi, yang tidak langsung dapat terlihat. Ketika tempelan permen karet tersebut akhirnya ditemukan petugas, benda itu sudah dalam keadaan keras. Melepaskannya dari koleksi adalah kerja yang tak mudah serta sangat memakan waktu, tenaga, dan biaya.
Sungguh sayang, karena persoalan ini seharusnya tidak perlu terjadi. Kalau saja ada pengertian dan pemahaman, bahwa penting bagi seluruh lapisan masyarakat untuk turut serta menjaga kelestarian koleksi purbakala dan cagar budaya lainnya. Sekurangnya, dengan cara tidak melakukan vandalisme apapun.
Pemapar kedua adalah Budi Santoso. Ia seorang koservator terkemuka ibu kota, yang sebelumnya selama sekian belas tahun sempat meninggalkan dunia arkeologi. Dengan materi berjudul Konservasi Cagar Budaya & Pemaknaannya, Budi melanjutkan pemaparan Desrika. Dengan lebih membawa konsep-konsep konservasi yang lebih dekat ke dalam keseharian hidup manusia.
Misalnya? Menjaga nenek kita sendiri. Prinsip tinggalan arkeologi adalah benda-benda yang berusia minimal 50 tahun, atau bergaya dari minimal 50 tahun lalu.
“Coba tengok nenek kita, berapa usia beliau? Kalau lebih dari 50 tahun, jaga beliau baik-baik!” begitu Budi berkata.
Dalam keseharian, cara kita memperlakukan cucian pakaian yang dijemur dengan posisi terbalik, juga merupakan suatu peri laku konservasi sebenarnya. Penjemuran sedemikian rupa bisa membuat pakaian menjadi tak cepat belel.
Demikian pula dengan kebiasaan kita dalam menjaga dan merawat rumah. Membersihkan lantai keramik kamar mandi dengan memakai asam sitrun, misalnya, nyaris tak berbeda dengan perlakuan konservasi saat membersihkan keramik purba.
Budi juga memberikan pengertian tentang perbedaan antara konservator dan tukang reparasi.
“Saya diminta untuk membuat radio milik Bung Karno bisa menyala lagi. Nah, jadinya saya ini konservator atau tukang reparasi?” tanyanya.
Umumnya pekerjaan konservasi memang seperti pekerjaan menukang. Tak ada yang salah dengan pekerjaan menukang. Tapi, bila sudah berhubungan dengan konservasi, menukangnya berada dalam parameter-parameter tertentu. Banyak orang yang tak paham soal ini, sampai tak jarang terlontar ucapan agak miring, “Ah, ini sih pekerjaan tukang belaka!”
Budi melengkapi presentasinya dengan empat buah video pendek tentang konservasi. Kehadiran visual selalu bisa menarik perhatian, apalagi buat anak muda. Jadi, tepat sekali! Video-video yang dipresentasikan Budi ini memberikan gambaran yang cukup memadai untuk masyarakat umum, tentang kerja konservasi. Termasuk kesulitan dan tantangannya.
Dengan menyaksikan salah satu dari video-video ini, kita jadi tahu bagaimana rambut dari patung di Monumen Patung Dirgantara di Pancoran, Jakarta, karya seniman Edhi Sunarso dengan total ketinggian 38 meter, dikeramas. Sebuah tindakan yang tidak mudah, tapi tetap dapat dilakukan dengan teknik-teknik dan cara-cara tertentu.
Selesai Budi memaparkan keterangannya, mahasiswa pelaksana melontarkan kuis tentang konservasi cagar budaya. Buat yang kebanyakan meleng saat pemaparan yang berlangsung sebelumnya, sayang sekali! Anda tidak beruntung!
Bagi yang jawabannya benar dan tepat, mendapat hadiah kenang-kenangan dari panitia. Ditambah dengan hadiah pribadi dari Desrika, yang sangat senang dan bahagia melihat antusias murid-murid SMA peserta seminar mini arkeologi itu.
Puas bermain kuis, adik-adik SMA mendapat kesempatan untuk mempraktekan kegiatan konservasi sederhana. Mengenakan jas laboratorium putih, bermasker, memakai sarung tangan karet, bersenjata sikat gigi dan kuas; mereka pun menjadi konservator dadakan.
Di bawah pengawasan Desrika dan Budi, serta kakak-kakak mahasiswa Arkeolgi UI, dengan serius adik-adik murid SMA melakukan pembersihan kering pecahan-pecahan keramik dihadapannya. Yang mereka tangani bukan sembarangan pecahan lho. Melainkan, artefak-artefak yang ditemukan saat diadakan penggalian penyelamatan dalam pembangunan MRT di daerah Kotatua Jakarta.
Sejatinya, untuk apa sih acara ini? Dan, koq bisa seru begitu? Sampai-sampai para guru yang mendampingi murid-murid SMA itu turut terkagum-kagum. Para guru tersebut tak hanya merasakan geregetnya, tapi juga merasa sedikit bertambah luas pengetahuannya.
Conserfuntion ini adalah kegiatan pengenalan konservasi dalam arkeologi, khusus untuk siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) dan yang setara. Acara yang unik dan baru pertama kali diadakan di kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia ini, diselenggarakan oleh para mahasiswa Arkeologi UI angkatan 2023. Mengapa bisa seru, tentunya karena semua berlangsung dengan baik.
Lalu, maksudnya untuk apa? Ini merupakan sebentuk pengabdian dari para mahasiswa itu kepada masyarakat. Sekaligus, guna memenuhi syarat untuk mendapat nilai Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah Arkeologi Publik. Win-win solution-lah pokoknya.
Penyelenggara menyasar peserta dari kalangan murid-murid kelas 11. Yaitu, mereka yang akan naik ke kelas 12, dan akan bersiap untuk melanjutkan ke pendidikan tingginya. Dengan mengikuti kegiatan Conserfuntion, diharap mereka menjadi bisa melihat bahwa ada pilihan yang lebih banyak dalam kemungkinan menempuh pendidikan tinggi, setelah mereka lulus SMA kelak. Khususnya, di bidang arkeologi tentu saja.
Kenyataannya, peserta yang mengikuti Conserfuntion beragam tingkatan kelasnya. Ada murid-murid yang baru duduk di kelas 10, tapi ada juga murid kelas 12 yang bahkan sudah diterima di berbagai perguruan tinggi terkemuka semisal UI, ITB, dan IPB. Di antaranya belum ada sih yang sudah diterima di Departemen Arkeologi.
Tetapi, untuk menjadi seorang arkeolog dan konservator, untuk menjadi seorang pelaku tindakan perawatan konservasi, pelakunya tak selalu harus seorang lulusan strata-1 di bidang arkeologi.
Terlepas dari apakah kelak di antara peserta Conserfuntion ini akan ada yang menjadi arkeolog atau koservator, atau sekedar masuk menjadi mahasiswa arkeologi; tentu saja tidak dapat kita tebak. Tapi, yang pasti acara ini telah menjadi pembuka pintu kepada sebuah pengetahuan baru untuk murid-murid SMA pesertanya.
Mungkin saja sebelumnya mereka tidak mengenal apa itu arkeologi, atau bahkan tidak tahu bahwa ada ilmu yang bernama arkeologi. Di lain sisi, para mahasiwa pelaksana acara pun mendapat kesempatan untuk mulai memasyarakatkan ilmu yang telah mereka peroleh, dengan cara menjadi pembimbing bagi adik-adiknya dari berbagai SMA itu. Terutama di saat pengamatan replika candi dan cagar budaya.
Panas matahari Kota Depok masih centang perentang seenaknya, waktu acara akhirnya ditutup. Mahasiswa pelaksana Conserfuntion memberikan kenang-kenangan untuk dua pemateri, Desrika Retno dan Budi Hartono, sebagai ucapan terima kasih. Keduanya masing-masing mendapatkan sebuah goody bag yang berisi rupa-rupa suvenir menarik dengan lambang dan warna Universitas Indonesia.
Alih-alih menenteng goody bag-nya pulang, dua insan arkeologi ini malah lalu menjadikan suvenir-suvenirnya sebagai hadiah dari kuis-kuis dadakan yang mereka buat. Para peserta yang super antusias mengikutinya, membuat keseruan dalam Conserfuntion tetap tinggi bahkan sampai acara resmi ditutup. =^.^=