Tafsir Filosofis Bebas Atas  Logo Baru PSI dan Pertarungan Makna dalam Semiotika Kuasa dari Bunga ke Gajah

Bunga mawar menggambarkan kehalusan idealisme. Gajah merepresentasikan kekuatan, kebijaksanaan, dan daya ingat. Saat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengganti logonya, yang bergeser bukan hanya simbol—tapi juga cara mereka menempatkan diri di gelanggang politik. Ini lebih dari sekadar rebranding. Ini soal makna, kuasa, dan arah baru dalam simbolisme politik Indonesia.

Tafsir Filosofis Bebas Atas  Logo Baru PSI dan Pertarungan Makna dalam Semiotika Kuasa dari Bunga ke Gajah
Logo PSI

Logo Baru Partai Solidaritas Indonesia (PSI)Di panggung simbolik politik, setiap lambang bukan sekadar gambar. Ia adalah narasi, isyarat kuasa, dan cara partai berbicara kepada rakyat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Maka ketika Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengganti logonya dari bunga mawar yang digenggam tangan menjadi sosok gajah yang gagah, publik pun bertanya: apakah ini sekadar rebranding visual atau pertanda pergeseran ideologis yang lebih dalam?

Mawar putih yang dulu menjadi jantung simbol PSI tak lahir dari ruang hampa. Ia mengakar pada pidato Bung Karno di Semarang tahun 1959. Bung Karno berkata bunga mawar tidak mempropagandakan harum semerbaknya. Dengan sendirinya harum semerbaknya itu tersebar di sekelilingnya. Sebuah metafora tentang kekuatan kebaikan yang tak perlu menonjolkan diri, namun menyebar lewat laku. Dalam semiotika, ini adalah kekuatan ikon—simbol yang meniru atau mengindikasikan makna melalui kemiripan langsung. Mawar menjadi lambang kelembutan, kesabaran, dan kekuatan pasif yang tetap mengakar pada idealisme Pancasila dan Trisakti.

Namun kini, logo itu ditanggalkan. Digantikan oleh figur gajah. Sebuah hewan raksasa yang dalam tradisi Jawa dan filsafat Hindu dikenal sebagai simbol kekuatan, keagungan, dan kebijaksanaan. Gajah bukan hanya besar secara fisik, tetapi juga secara metaforis: ia lambang daya ingat, pengetahuan, ketekunan, dan... jika perlu, kekuatan destruktif.

Dari Estetika ke Etika Simbol

Perubahan ini bukanlah sekadar soal estetika. Dalam pandangan Roland Barthes, pakar semiotika asal Prancis, simbol bekerja dalam dua lapis: denotasi dan konotasi. Denotasinya jelas—bunga diganti gajah. Tapi konotasinya? Di sinilah medan tafsir filosofis terbuka lebar.

Logo lama PSI adalah lambang solidaritas yang halus namun penuh makna. Bunga yang digenggam kepalan tangan bukan hanya romantisme, tetapi juga pesan: kekuatan itu harus menggenggam kebaikan. Di tengah dunia politik yang gaduh, PSI memilih menjadi "mawar" yang wangi, bukan "pedang" yang tajam. Ada daya dari yang lemah, atau dalam bahasa Michel Foucault, kekuasaan tidak selalu hadir dalam dominasi, tapi juga dalam resistensi.

Namun gajah datang dengan narasi baru. Menurut Dani Saptoni, sejarawan Solo, dalam filosofi Jawa gajah adalah simbol keperkasaan dan pengayoman. Angka delapan yang melekat padanya dalam Candrasangkala melambangkan titik temu aliran semesta. Ia adalah lambang harmoni, namun juga potensi ledakan. Gajah dapat menyimpan ketenangan yang agung, namun juga daya rusak yang menakutkan jika diganggu.

Di sini tampak pergeseran paradigma simbolik PSI: dari kehalusan yang pasif menjadi kekuatan yang aktif. Dari harum mawar yang menyebar diam-diam, menuju derap kaki gajah yang mengguncang tanah.

Antara Logos dan Pathos: Tafsir Politik Masa Kini

Presiden Joko Widodo sendiri, tokoh yang selama ini diasosiasikan dengan PSI, menyambut baik perubahan simbol ini. Menurutnya, gajah bukan hanya kuat dan besar, tapi juga berilmu dan bijaksana. Jokowi—dalam gayanya yang tenang namun penuh simbol—tampak memahami bahwa dalam dunia politik yang makin keras, PSI perlu melampaui romantisme idealisme dan masuk ke gelanggang realisme kekuasaan.

Dalam lanskap politik modern, citra partai tak bisa hanya wangi—ia harus bergaung. Logo baru PSI mencoba menjembatani keduanya: mempertahankan idealisme lewat citra kebijaksanaan (gajah sebagai simbol pengetahuan), sekaligus menawarkan kekuatan struktural dan mobilisasi massa (gajah sebagai hewan sosial dengan memori kuat).

Paul Ricoeur, filsuf asal Prancis, mengatakan bahwa simbol memberikan “lebih banyak untuk dipikirkan”. Maka mari kita pikirkan: apakah perubahan logo ini adalah bentuk kedewasaan politik, atau justru kompromi terhadap tekanan politik praktis? Apakah PSI ingin tetap menjadi mawar dalam tubuh gajah, atau kini menjadi gajah sepenuhnya—dengan segala konsekuensi kekuasaan yang datang bersamanya?

Logo Lama Partai Solidaritas Indonesia (PSI)Dari Simbol ke Substansi

Pada akhirnya, simbol hanyalah awal. Yang menentukan arah sejarah bukan lambang, tapi laku. Gajah bisa berarti pengayoman seperti Ganesa dalam Hindu, tapi juga bisa menjadi kekuatan membabi buta jika tak dikendalikan. Seperti yang ditulis Umberto Eco, semiotika adalah ilmu tentang kebohongan, sebab simbol bisa berkata banyak tanpa mengatakan apa pun yang benar.

PSI telah memilih gajah—dan itu sah. Tapi di balik perubahan itu, publik menanti: apakah gerak langkahnya akan sehalus tapak gajah raja, atau justru menghancurkan taman idealisme yang selama ini mereka tanam dengan harumnya mawar?

Dan pada titik inilah, masa depan PSI tidak lagi ditentukan oleh warna, bentuk, atau lambang. Tapi oleh pilihan-pilihan nyata yang akan mereka buat dalam arus politik yang tak pernah netral. Sebab, sebagaimana bunga tidak berbicara namun memberi harum, dan gajah tak bernyanyi namun menggetarkan bumi—begitu pula partai politik: ia tidak dikenal dari logonya, tapi dari jalan yang dipilihnya. []

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.