Tidak Ada yang Lebih Sulit Dibandingkan Komunikasi dengan Ibu

Percayalah bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan komunikasi, sekalipun harus berjuang melalui komunikasi yang paling sulit.

Tidak Ada yang Lebih Sulit Dibandingkan Komunikasi dengan Ibu
Ibu dan anak/pexels.com

Komunikasi paling sulit dalam hidupku adalah komunikasi dengan ibu. Bisa dibilang beliau adalah sosok yang paling berjasa dalam hidupku, sosok yang paling aku cintai, sosok yang paling aku rindukan saat berada di luar rumah. Namun entah mengapa, komunikasi dengannya jadi tantangan sekaligus ujian besar dalam hidupku.

Sedikit kuceritakan tentang background ibuku yang mungkin bisa menggambarkan alasan mengapa berbicara dengannya begitu sulit.

Ibuku lahir di sebuah daerah yang cukup terpencil di Medan. Di sekeliling rumah, masih dipenuhi dengan pohon durian hingga kebun sawit. Bahkan saat bersekolah, beliau harus menyusuri rimbun dan sepinya kebun sawit di sepanjang perjalanan.

Dia pernah berkisah pada anak-anaknya, termasuk aku, saat perjalanan ke sekolah ia kerap mengalami kesulitan dan ketakutan. Di tengah perjalanan ke sekolah ia melewati kebun sawit luas yang sepi. Namun, seringkali ada sekelompok bocah laki-laki nakal yang menyergap dan mengganggunya saat berangkat atau pulang sekolah.

Hal ini membuatnya ketakutan, dan akhirnya ibuku memutuskan untuk putus sekolah. Meski kala itu, ia belum menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.

Di samping background pendidikannya, ibuku adalah sosok yang sangat perasa dan bisa dibilang sensitif. Saat menonton ‘Catatan Hati Seorang Istri’ salah satu sinetron lepas di Indosiar, pasti ada saja momen ia meneteskan air mata. Dari mulai berlinangan, hingga terisak.

Tak hanya itu, sekedar menonton video seorang ibu melahirkan dengan durasi 2 menit di instagram saja, bisa membuatnya menangis. Aku bertanya-tanya, apa mungkin karena jauh dengan keluarga besarnya di Medan, membuat ibuku jauh lebih sensitif. Pasalnya ibu memutuskan untuk merantau ikut ke tempat asal ayahku di Malang.

Singkat cerita, saat itu aku kelas 3 SMK, kira-kira 6 bulan lagi aku akan memasuki dunia perkuliahan. Aku bersikeras ingin merdeka dengan memilih pendidikanku sendiri, berbeda dengan saat memilih sekolah SD, SMP, dan SMK yang tentunya dipilihkan orang tua. Tidak bisa memilih dan tidak bisa menolak.

Sebenarnya orang tua bukanlah sosok yang otoriter, tapi karena masalah ekonomi, mengharuskan aku sekolah di tempat yang dekat, murah, dan kualitas yang standar. Padahal, nilai ujian SD dan SMP ku mendapat juara 1, yang sangat mungkin meloloskan aku di berbagai sekolah favorit di Kota Malang.

Saat hendak memasuki jenjang perkuliahan, aku sudah meneguhkan hati untuk memilih tempat kuliah dan jurusan yang aku minati. Tentu berkomunikasi dengan ibu, menjadi hal penting dan urgen untuk dilakukan. Sebab, tanpa restunya, kupikir jalanku akan sulit.

Sore itu, aku memutuskan untuk berbicara dengan ibu tentang pilihan kampus dan jurusanku. Aku sudah memikirkan momen ini berminggu-minggu sebelumnya, di kepalaku juga sudah berisi berbagai argumentasi untuk meyakinkan Ibuku.

Kampus pilihanku bertempat di Surabaya. Bukan kampus terkenal, bahkan saat itu akreditasinya hanya C. Namun aku memilih berkuliah di situ karena minat dengan jurusannya dan juga sistem pendidikannya yang bagus.

Aku coba menebak, satu hal yang mungkin paling diberatkan ibu adalah jarak kampus yang jauh. Karena pengalaman dirinya, jauh dengan anak tentu jadi masalah besar untuknya. Oleh sebab itu, aku sudah mempersiapkan alasan kuat, mulai dari jadwal pulang ke Malang satu minggu sekali hingga kepastian hidupku di sana.

Aku masih memakai seragam pramuka warna cokelat, sementara ibuku duduk di kursi depan TV. Karena aku bukan tipe orang yang bisa basa-basi, aku langsung saja menyebut keinginanku pada ibu.

“Mak, aku mau kuliah di Surabaya ya, boleh?” pintaku.

Ibuku kaget, melongo. “Ngapain jauh-jauh kak, di Malang banyak kampus kok” ujarnya.

Argumentasi di kepalaku buyar, saat melihat raut sedih di wajah Ibu. Aku hanya bisa berkata patah-patah sambil menahan tenggorokan yang tercekat. Aku bicara singkat dengan menjawab berbagai keraguan ibuku. Mulai dari tempat tinggal, biaya hidup, biaya kuliah serta keamananku selama hidup disana. Aku juga menekankan keputusan ini adalah salah satu keinginan terbesarku.

Lalu, kita berdua menangis bersama.

Dalam tangisan itu, aku bisa merasakan kepedihan yang Ibu rasakan, hingga keinginanku untuk kuliah di Surabaya jadi goyah. Namun ibu berbeda, di balik kepedihannya yang teramat, ia justru mengatakan hal yang membuatku terkejut.

“Iyawes kak, itu pilihanmu, mamak ikuti saja yang penting kamu senang,” ujarnya pedih, patah-patah, masih sambil menangis.

Aku semakin terisak. Dalam hati lega, sekaligus pedih yang tak terkira.

Berkomunikasi dengan ibu memang sulit. Background pendidikan yang rendah membuatnya kurang open minded. Sementara itu perasaannya yang sensitif juga membuatnya lebih emosional sehingga sulit meyakinkannya dengan pendekatan argumentatif dan rasional.

Namun satu hal yang aku pelajari dari momen ini, meruntuhkan keras kepala ibuku adalah hal yang sangat mudah. Cukup dengan alasan, ‘ini pilihanku, ini keinginanku, dan ini bahagiaku’, maka hal-hal yang menurutnya tak masuk akal pun akan direstuinya.

Di titik itu, aku semakin yakin, bahwa manusia yang paling kucintai di dunia ini adalah ibu.heart

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.