Lomba Mendongeng

Permainan masa kecil saat jam main sore dan hari libur

Lomba Mendongeng

 

“Siapa yang mau mijetin mama malam ini?” tanya Ibu dengan pandangan penuh arti. Kami, kakak beradik berempat yang kebetulan perempuan semua, langsung menunjukkan tangan. Si bungsu, satu-satunya anak laki-laki di keluarga kami, memandang kakak-kakaknya dengan ekspresi penuh tanda tanya. Tapi kami tidak perduli. Seakan dikomando, kami pun berebut memeluk Ibu.

Pertanyaan Ibu bagi kami adalah kode bahwa Ibu punya sesuatu yang istimewa. Istimewa, karena ketika kami dengan tangan-tangan kecil kami mengelus lengan dan kaki Ibu, saat itulah Ibu akan mulai mendongeng. Dengan setengah berbaring, di ranjang besar dan ditemani lampu tidur, kami mendengar suara Ibu yang lembut.

“Pada suatu hari ada pangeran yang sedang berburu di hutan. Dengan menunggang kuda kesayangannya, ia menerabas memasuki hutan yang sangat lebat dan gelap,” Ibu memulai dongengnya.

“Pangeran menghunuskan pedangnya. Dengan sigap dipotongnya berbagai semak belukar. Setelah beberapa saat, Pangeran mulai bisa melihat keadaan sekeliling. Matanya yang tajam dan awas, mulai mencari binatang buruan,” lanjut Ibu.

“Namun makin masuk ke dalam hutan, makin tidak terlihat tanda kehidupan, sampai akhirnya…” Ibu memotong kalimat yang nggantung itu.

“Mama, kok berhenti, terusin ceritanya…” teriak saya, yang memang sejak kecil suka protes.

“Iya Mama, ada apa di dalam hutan..?” tanya adik-adik saya serempak.

Lha kalau kalian mau mendengarkan terusan ceritanya, mijetinnya jangan berhenti dong,” jawab Ibu. Rupanya, karena terlalu asik mendengarkan kisah sang Pangeran, tangan kami berhenti memijat, mulut terbuka dan mata membesar, ingin mendengarkan kisah selanjutnya. Dengan malu-malu, kami meneruskan pijatan kami, dan lega ketika suara Ibu kembali memecah keheningan malam.

“Ternyata di dalam hutan yang lebat itu, terdapat sebuah istana besar yang sudah penuh dengan semak belukar. ‘Tampaknya istana ini dulu indah sekali,’ gumam Pangeran. Pangeran terus masuk ke dalam dan di tengah ruangan terbaring seorang putri yang sangat cantik sedang tidur.” Demikianlah Ibu menceritakan "Sleeping Beauty" kepada kami berlima.

Acara mendongeng bersama Ibu merupakan momen yang selalu kami tunggu. Maklumlah, di awal tahun 60-an itu, masih sangat sedikit buku cerita anak-anak. Sedangkan Taman Bacaan dan Perpustakaan masih langka. Jadi sumber cerita kami terutama adalah Ibu.

Buat kami, dongeng Ibu tidak pernah habis. Berbagai cerita disampaikan dengan sangat menarik. Mulai dari dongeng anak-anak dari Dunia Barat seperti "Cinderella," "Putri Salju," "Hansel and Gretel," "The Red Riding Hood," sampai cerita-cerita Nusantara. Ketika Ibu menyampaikan "Malin Kundang," airmata saya mengalir. Demikian pula kisah "Bawang Merah dan Bawang Putih," membawa kami sesenggukan membayangkan penderitaan Bawang Putih. Hati kami berdebar apakah Dayang Sumbi bisa menggagalkan pinangan Sangkuriang, saat Ibu menyampaikan cerita legenda Sangkuriang yang dipercaya sebagai cikal bakal Gunung Tangkuban Perahu.

Di antara beragam kisah yang didongengkan Ibu, ada cerita yang selalu kami perbincangkan. Yaitu kisah pangeran yang mencari jodohnya: para putri kerajaan. Saya tidak tahu pasti apakah dongeng ibu merupakan cerita pakem dari kisah raja-raja ataukah rekaan beliau semata? Kisahnya ada pola yang sama: 3 orang putri raja kakak-beradik, bersaing untuk menjadi permaisuri pangeran. Putri raja yang sulung dan yang tengah selalu digambarkan sebagai tokoh yang jahat. Putri bungsu selalu paling cantik, paling dermawan, dan paling cerdas, dan tentu saja menjadi permaisuri sang Pangeran.

Setelah beberapa kali mendengar pola cerita yang sama dengan berbagai variasinya, kami pun ingin membuat cerita sendiri.

“Ayo kita coba bikin cerita sendiri. Tapi harus dongeng seperti Mama ya,” kata kakak sulung saya.

“Emangnya bisa kita mendongeng kayak Mama?” tanya saya ragu. Kakak sulung tanpa ragu mengangguk.

“Kan kita sudah sering mendengar Mama mendongeng, ceritanya berakhir dengan kebahagiaan kan?” jawab si Sulung. Kami semua mengangguk.

“Nah, tinggal kita bikin jalan ceritanya yang seru saja. Supaya gampang, ayo kita bikin cerita tentang Putri Raja dan Pangeran,” lanjut Kakak Sulung.

Karena raut muka dan suara Kakak yang sangat meyakinkan, maka kami, adik-adiknya pun serta merta mengikuti ajakannya. Keesokan harinya kami memulai tradisi baru. Saat bermain sore, setelah tidur siang, mulailah acara bertukar cerita.

“Pada suatu ketika, terdapat sebuah kerajaan yang terkenal dengan tiga orang putri yang cantik-cantik,” kakak sulung memulai dongengnya.

“Dari ketiga putri raja, yang paling cantik adalah putri sulung. Kulitnya putih dan halus seperti pualam. Rambutnya tebal berombak, wajahnya bulat telur dengan mata bersinar seperti bintang kejora,” lanjut Kakak. Saya ternganga mendengar cerita ini, bukan saja karena Kakak fasih mendongeng dan bisa menggambarkan dengan detil kecantikan sang Putri, tetapi baru sekali ini ada putri sulung raja yang lebih cantik daripada adik-adiknya.

“Nama putri itu Dewi Anggraini. Putri Anggraini juga dicintai rakyat kerajaan karena sifatnya yang dermawan, selalu bersikap sopan kepada mbok emban dan pengasuhnya, juga sangat menyayangi adik-adiknya. Putri Anggraini juga kakak yang baik,” Kakak melanjutkan ceritanya.

“Ah, mana ada putri sulung paling cantik dan paling baik,” saya menyela.

“Putri sulung selalu jahat sama adik-adiknya, karena dia iri. Adik-adik suka rewel, ngerecokin , dan mendapatkan perhatian yang lebih besar dari Raja dan Ratu,” saya protes.

“Bisa diam dan mendengarkan, enggak sih! Ini kan cerita karanganku !,” hardik Kakak dengan muka sebal.

Kami semua terdiam, mengkeret. Kakak pun melanjutkan ceritanya. Kami diajaknya mengembara bersama Putri Dewi Anggraini yang welas-asih, menuruti nasihat Raja dan Ratu, rajin mengikuti kegiatan kerajaan: menyapa rakyat, memperhatian anak-anak, terutama yatim-piatu, hadir di berbagai kegiatan umum dengan wajah selalu tersenyum.

“Kecantikan dan sifatnya yang welas asih terdengar oleh kerajaan tetangga yang hanya memiliki seorang putra. Pangeran Kartapati yang sangat tampan,” lanjut Kakak.

Selama belasan menit ke depan, kami mendengarkan kisah jatuh bangun hubungan Putri Dewi Anggraini dengan Pangeran Kartapati. Banyak hambatan yang dialami oleh kedua sejoli ini, meskipun hubungan mereka direstui oleh kedua orang tua.

Sebagai narator, Kakak mengisahkan hambatan utama yang dihadapi pasangan kekasih ini adalah kecemburuan kedua adik Putri Dewi Anggraini. Adik-adiknya senantiasa menghasut dan melakukan intrik, untuk memisahkan sepasang kekasih ini.

“Namun akhirnya Raja mengetahui perbuatan adik-adik Putri Dewi Anggraini. Mereka dihukum. Pangeran Kertapati dan Putri Dewi Anggraini menikah, dan hidup berbahagia selamanya,” pungkas Kakak.

“Horeee…..” saya dan adik-adik bertepuk tangan. Kakak tersenyum puas.

“Besok gantian aku yang cerita,” kata saya dengan bersemangat.

“Nah gitu dong…,” kata Kakak menyemangati.

Karena keesokan harinya bertepatan dengan hari Minggu, saya menentukan lokasi mendongeng dipindahkan ke pohon jambu klutuk di depan rumah. Kami pun segera berebut tempat di dahan-dahan pohon.

“Putri Paramita adalah putri kedua Raja Salwa yang bertahta di Kerajaan Astina.  Ia memiliki seorang kakak, Putri Pratiwi, dan seorang adik, Putri Saraswati,” saya mulai bercerita.

“Ketiga Putri Raja Salwa cantik-cantik, namun yang paling cantik adalah Putri Paramita. Ia tidak hanya cantik, namun juga dicintai oleh rakyat kerajaan. Wajah Putri Paramita penuh pancaran kasih sayang, sehingga burung-burung, kijang-kijang di Taman Sari Kerajaan juga mencintai Putri Paramita,” sambung saya, sambil melirik wajah Kakak.

“Ayo teruskan ceritanya. Nggak usah melirik gitu,” sela Kakak dengan nada yang dalam telinga saya terdengar agak sewot.

“Karena parasnya yang rupawan dan sifatnya yang penyayang,  Putri Paramita terkenal sampai ke berbagai kerajaan, diantaranya Kerajaan Daha. Raja Daha memiliki Putra Mahkota Bernama Pangeran Sanjaya,” lanjut saya.

Mengikuti alur cerita Putri Dewi Anggraini kemarin, dengan serunya saya mengisahkan percintaan Putri Paramita dengan Pangeran Sanjaya yang lebih tampan daripada Pangeran Kartapati. Tentu saja saya bumbui cerita saya dengan kedengkian Putri Pratiwi dan Putri Saraswati yang menghalangi hubungan cinta Putri Paramita dan Pangeran Sanjaya. Akhir cerita tentu happy-ending, ditutup dengan pesta pernikahan Pangeran Sanjaya dan Putri Paramita yang berlangsung 7 hari 7 malam.

“Asik juga ceritamu,” kata Kakak.

“Tapi aku mau tanya. Ini beneran mendongeng atau membalas ceritaku kemarin?” tanya Kakak.

“Iya mbak,” suara Adik menyela.

“Soalnya cuma namanya aja yang diganti, jalan ceritanya sama persis,” lanjut Adik.

“Terserah aku kan? Kan kemarin Kakak bilang gitu, terserah dia, karena ini cerita dia. Kok sekarang aku ditanya-tanya gitu!” sergah saya dengan suara tinggi.

“Memang jadi anak nomer 2 tuh gak enak. Selalu aja salah, gak ada yang bener. Sampai dongeng aja dipertanyakan!!!” seru saya setengah berteriak.

“Lho ini kita ngobrol biasa Tari, santai aja,” kata Kakak, dengan suaranya yang tenang. Sementara mata saya mulai berkaca-kaca, merasa tidak dihargai.

“Ya udah kita bubar yuk. Senang kok saling mendongeng di atas pohon jambu,” suara Kakak terdengar lembut.

Sambil sedikit terisak, saya menuruti kata-kata Kakak. Saya turun dengan tergesa, melompat ke dahan yang lebih rendah dan “braaaaak !!!!! dahan patah dan dalam kilasan detik badan saya sudah tersungkut di tanah.

Kakak berteriak, adik-adik menjerit, si bungsu menangis. Ibu langsung keluar, membantu saya berdiri dan bertanya:

“Siapa yang mengajak duduk di pohon jambu?”

Terdengar koor dari saudara-saudara saya, “Tariiiii,”

Ibu pun melempar wajah kesal pada saya.

“Pohon jambu itu sudah mulai tua. Dahannya banyak yang rapuh. Lain kali jangan duduk di sana ramai-ramai ya,” kata Ibu dengan suara tegas.

Meskipun badan saya sakit, saya merasa lega. Ibu tidak memarahi saya dan saya berhasil membuat cerita Putri Raja nomor 2 yang menjadi bintang.

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.