Dari Pajang Sampai Surakarta

Sejarah berdirinya Mataram Islam sampai peristiwa boyong kedaton.

Dari Pajang Sampai Surakarta

Kartasura, ibu kota baru kerajaan Mataram paska pemberontakan Trunajaya di Plered. Keraton baru yang didirikan atas berbagai pertimbangan, seperti ketersediaan air, dan letaknya yang tidak jauh dari tanah leluhur; tanah Pajang. Wilayah yang menjadi saksi kebahagiaan, maupun kisah-kisah tragis.

Pada mulanya, jauh sebelum keraton Kartasura berdiri, Raden Hadiwijaya atau yang lebih dikenal Jaka Tingkir dari Pajang memberi utusan untuk membumi-hanguskan Jipang yang dipimpin Arya Penangsang dengan memerintah orang kepercayaannya, yaitu Ki Pamanahan dan Ki Penjawi. Atas keberhasilan penyerangan itu, Ki Pemanahan diberi hadiah alas Mentaok yang kelak berdiri sebuah kerajaan, dan Ki Penjawai mendapat hadiah tanah di Pati.

Seiring berjalannya waktu, Ki Pemanahan menjadi pemimpin desa Mataram dengan gelar Ki Ageng Pemanahan. Tampuk kekuasaannya diteruskan putranya bernama Sutawijaya setelah sepeninggalannya, lalu Sutawijaya selaku pemimpin desa Mataram menjadi raja di keraton baru bergelar Panembahan Senopati. Raja pertama negeri Mataram Islam.

Dari situ, tahta kerajaan terus diwarisi anak cucunya. Tahta Panembahan Senopati dilanjutkan Raden Mas Jolang atau Panembahan Seda Krapyak (Raja yang meninggal di Krapyak), dilanjutkan Panembahan Merta Pura yang memerintah dalam jangka waktu yang sangat pendek karena masalah kesehatan. Kemudian digantikan Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung Hanyokrokusuma yang memindahkan pusat pemerintahan dari Mentaok atau Kota Gede ke Karta, dilanjutkan Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau Amangkurat I memindahkan pusat pemerintahan dari Karta ke Pleret, kemudian kekuasaan dilanjutkan putranya Sri Susuhunan Amangkurat II atau Sunan Amral yang juga memindahkan pusat pemerintahan dari Karta ke hutan Wanakarta.

***

Pemindahan keraton lumrah terjadi di kerajaan-kerajaan tanah Jawa. Orang Jawa terdahulu mempercayai jika sebuah kesialan telah jatuh di suatu negeri, maka negeri tersebut tidak akan makmur, dan dengan segera pemindahan ibu kota dilakukan untuk memutus kesialan tersebut. Hutan Wanakarta, tempat yang terpilih lantaran tidak jauh dari tanah leluhur: Pajang, dan tanah yang belum dihuni dianggap layak sebagai pengganti ibu kota baru.

Diambil dari beberapa sumber, Sri Susuhunan Amangkurat II berpenampilan layakanya orang Belanda, maka penyebutan nama Sunan Amral disematkan kepadanya. Juga dikisahkan polemik awal perpindahan ibu kota Kerta ke Kartasura, Pangeran Puger yang masih saudara kandungnya dihasut pernyataan bahwasanya Susuhunan adalah orang asing yang dibawa Belanda ke Tanah Mataram. Maka, atas informasi yang salah itu membuat Pangeran menolak ajakan untuk bergabung ke dalam Keraton baru di Wanakarta. Ibu kota baru yang lalu diberi nama Kartasura.

Perang saudara pun terjadi. Untuk menghentikan itu, seorang adipati Mataram meyakinkan jika Susuhunan adalah saudara kandungnya. Kemudian Sang Pangeran pun bersedia pergi ke Kartasura dengan syarat Susuhunan harus melepas pakaian Belanda dan mengganti dengan pakaian adat Mataram sendiri. Susuhunan pun menyetujui permintaan tersebut. Kekuasaan Sang Susuhunan ditegakkan dan ketentraman negeri Mataram pun berlangsung hingga beberapa tahun.

Di dalam kedamaian muncul seorang tokoh baru, dikenal dengan gelar Surapati. Sang tokoh yang bernama asli Untung, mantan pesuruh Belanda, sekaligus musuh bebuyutan Belanda datang ke Kartasura untuk meminta perlindungan, sekaligus bantuan untuk melawan Belanda dengan cara mengabarkan dan menawarkan diri untuk menghabisi para kraman atau pemberontak di wilayah Banyumas. Susuhunan pun menyetujui dan memerintahkannya untuk melaksanakan tugas. Hari-hari berlalu, Untung kembali ke Kartasura dengan membawa dua buah kepala pemberontak, dan dia diterima sangat gembira oleh Sang Susuhunan.

Kabar keberadaan Untung di Kartasura terdengar Belanda. Mendengar itu, Belanda meminta Susuhunan untuk menyerahkan Untung, namun ditolak, akan tetapi Belanda dipersilahkan menangkap Untung Surapati di wilayah kekuasaan Mataram. Kemudian Belanda mengirim pasukan yang dipimpin Kapten Tak, terdiri dari empat ratus orang eropa dan enam ratus tentara pribumi.

Mengetahui pasukan Belanda telah datang, Susuhunan membuat perencanaan dengan mengatakan jika Untung telah membuat keributan di negerinya. Keesokan harinya, di alun-alun pasukan Kapten Tak berperang melawan pasukan Untung. Melihat pasukan Untung berhasil dipukul mundur, atas perintah Susuhunan, Pangeran Puger mengirim bala bantuan dan dibantu penduduk kota. Akhirnya, pasukan Tak berhasil dikalahkan. Kapten Tak tewas dengan tusukan di leher oleh tombak pusaka milik Pangeran Puger.

Tidak lama setelah itu, Susuhunan meninggal dunia akibat sakit keras. Mahkota kedudukannya dilanjutkan putranya Raden Mas Sutikna atau Sri Susuhunan Amangkurat Mas atau disebut Amangkurat III.

Dalam masa kepemimpinan Amangkurat III, perebutan tahta penguasa terjadi dengan putra Amangkurat I, Pangeran Puger. Susuhunan memerintah utusannya untuk menangkap Pangeran Puger di Semarang, tapi mendapat kabar jika Pangeran telah berada di bawah perlindungan Belanda sehingga membuat Susuhunan murka. Kemudian Susuhunan memerintah sesegera mungkin menangkap Raden Suria Kusuma, putra Pangeran Puger, untuk dibunuh. Tapi setiap ingin melancarkan aksinya, gunung merapi selalu bergejolak sehingga membuatnya berubah pikiran, dan mempercayai peristiwa itu adalah garo-garo, atau pertanda Pangeran tersebut disukai Tuhan. Maka, Sri Susuhunan Amangkurat Mas mengubah tujuannya dengan memperlakukan putra Pangeran Puger dengan baik.

Menjelang akhir hayat, Amangkurat Mas diasingkan ke Sri Langka. Tampuk kekuasannya digantikan Pangeran Puger, yang setelah naik tahta bergelar Susuhunan Pakubuwana Senapati Ingalaga Abdul Rachman Panatagama, atau umumnya disebut Pakubuwana I. Pada masa kepemimpinannya, dihadapkan perjanjian-perjanjian yang tidak menguntungkan dengan pihak Belanda, seperti kewajiban untuk mengirim 13.000 ton beras setiap tahun selama 25 tahun ke Batavia, sebagai ganti atau balas jasa ke pihak Belanda yang telah mendukung melenggangkan kekuasaannya.

Kemudian, tampuk kekuasaan dilanjutkan putranya yang bernama Raden Mas Suryaputra bergelar Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa atau disingkat Amangkurat IV. Pada masa Amangkurat IV, perang suksesi Jawa kedua terjadi. Perang saudara memperebutkan takhta Kartasura menyebabkan rakyat Jawa terpecah belah. Sebagian memihak Amangkurat IV yang didukung VOC, sebagian memihak Pangeran Blitar. Sebagian memihak Pangeran Dipanegara Madiun, dan sebagian lagi memihak Pangeran Arya Mataram. Setelah berhasil menghentikan perang suksesi kedua, Susuhunan meninggal dunia.

Sepeningalan Amangkurat IV, kekuasaannya dilanjutkan putranya yang berusia 14 tahun dan belum menikah, bernama Raden Mas Prabasuyasa bergelar Susunan Pakubuana Senapati Ingalaga Abdul Racham Sahedin Panatagama atau lebih dikenal Pakubuwana II.  Pada masa kepemimpinan inilah, Geger Pecinan terjadi, atau Pemberontakan yang dilakukan orang-orang Tionghoa.

Orang-orang Tionghoa yang mendapat perlakuan tidak mengenakan dari orang-orang Belanda di Batavia meminta bantuan Kartasura. Pakubuwana II pun mengirim prajurit tangguh untuk membantu kaum pemberontak mengepung kantor VOC di Semarang.

Pakubuwana II yang bersitegang dengan Belanda pada akhirnya berdamai setelah terjalin kesepakatan mengakhiri peperangan. Mendengar perdamaian itu, kaum pemberontak Tionghoa merasa kecewa, kemudian mengangkat raja baru, Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Seorang cucu Amangkurat III yang baru berusia sekitar 10 tahun, dengan gelar Susuhunan Mangkurat Mas Prabu Kuning atau Amangkurat V. Mayoritas pemberontak kini bukan lagi kaum Tionghoa, melainkan orang-orang Jawa anti Belanda, yang semakin banyak bergabung.

Atas dasar kekecewaan orang-orang Tionghoa dan orang-orang Jawa anti Belanda, serta mendapat bantuan pangeran Cakraningrat IV dari Madura yang menginginkan Madura lepas dari kekuasaan Kartasura, mereka melakukan penyerangan ke Ibu Kota Kartasura. Membuat Susuhunan dan orang-orang Belanda harus mengungsi selama 4 bulan.

Dalam persembunyian, Susuhunan mendapat bantuan dari Belanda dan raja Madura. Atas bantuan itu, berhasil mengusir Sunan Kuning yang menjadi pemimpin baru di Kartasura berserta pasukan Tionghoanya. Kemudian Susuhunan kembali ke kerajaannya di Kartasura. Namun sekembalinya Susuhunan, raja Madura mengangkat Pangeran Angebai yaitu adik laki-laki Susuhunan menjadi raja tanpa sepengetahuan Susuhunan. Membuat Susuhunan harus pergi lagi dari Ibu Kota kerajaannya sendiri.

Kemudian, atas berbagai perundingan antara Susuhunan dan Belanda, mereka mempertanyakan maksud tindakan raja Madura yang seolah mengambarkan jika Susuhunan patuh atas permintaan raja Madura.

Orang-orang Tionghoa dan pemberontak pribumi yang menetap berbulan-bulan di tempat pelarian semenjak kalah berperang dimaafkan Susuhunan. Pengampunan besar-besaran tidak mereka sia-siakan.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, berdasar adat-istiadat jika keraton telah diduduki musuh tidak baik dilanjutkan sebagai pusat jalannya sistem kepemerintahan. Maka, pemilihan ibu kota baru dilakukan. Ibu kota Kartasura pun berpindah ke Sala.

Penulis:
Egi Raf (Pemerhati sejarah Kartasura).

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.