Rendangku, Musuhku…

Rendangku, Musuhku…
Foto koleksi WInda Zuchra
 
"Wooooooi…, rendang kita digondol anjing!!!" teriak salah satu temanku.
 
Kami semua yang semula tengah duduk melingkar sambil menikmati teh dan kopi hangat, lari berhamburan. Mengarah ke mana suara teman tadi datang, mengikutnya mengejar si anjing sambil tertawa-tawa entah mengapa. Rasanya lucu saja bahwa teman yang bertanggung jawab atas rendang bisa kecolongan seperti itu.
 
Gue tarok di sebelah carrier ( = ransel besar) gue sebentar aja, nggak ada sedetik pun. Cepet banget ngembatnya tu anjing,” ceritanya kemudian yang kami sambut dengan gelak terbahak yang semakin keras.
 
Penduduk setempat yang adalah pemilik anjing tadi, akhirnya berhasil merebut bungkusan rendang kami dari si anjing, yang larinya ternyata ngacir pulang ke rumah. Bungkusan tetap utuh, berarti isinya juga utuh. Maka, kami semua pun bernafas lega. Bagaimana tidak? Karena, rendang itu adalah salah satu bekal untuk perjalanan panjang kami ke Baduy, yang akan berlangsung selama dua minggu.
 
Rendang tersebut adalah racikan ibuku, yang khusus dibuat untuk perjalanan ini. Dibaliknya, ada drama tersendiri bahkan sebelum peristiwa penggondolan oleh si anjing itu terjadi. Salah satunya adalah protes keras dariku ke ibu setelah rendang matang.
 
"Ini koq kayaknya beratnya nggak sampai satu kilogram ya?" tanyaku sambil berupaya keras untuk tak terdengar sangat-sangat-sangat jengkel.
 
Ibu memandangku sambil menghisap rokok kretek gudanggaram merahnya. Kali ini aku jadi berupaya keras untuk menahan tawa, karena lagi-lagi Ibu menyalakan rokoknya secara terbalik. Untung kretek, bukan rokok filter…
 
"Satu kilo itu berat dagingnya saat mentah. Setelah dimasak, tentu saja menyusut," jelas Ibu dengan santai sambil menghembuskan asap rokoknya.
 
Huh…
 
Aku cemas bahwa teman-teman satu grup, yang sama-sama urunan untuk rendang ini, akan protes karena rendang matangnya tak mencapai sekilo. Selain itu, aku memang punya rasa tak suka akan rendang, jadi bawaannya emosi saja pada makanan yang satu ini. Berhubung sejak kecil aku selalu ketiban pekerjaan mengaduk racikan mentah rendang pada proses pematangannya di kompor yang selalu berapi kecil.
 
Seperti yang terjadi juga pada rendang yang kemudian digondol anjing itu. Meski diketahui oleh teman-temanku bahwa ibuku yang membuatnya, tapi aku juga yang harus mengaduknya dengan rajin selama beberapa jam sehari sebelum berangkat.
 
Karena langganan mengaduk rendang, makanan yang dikenal sebagai makanan asal Minangkabau itu tak menjadi makanan favoritku. Tapi, karena sifatnya yang cukup tahan lama sebagai makanan, aku setuju juga atas usul teman, yang entah siapa aku tak ingat lagi, untuk memasukkan rendang ke daftar ransum makanan grup kami dalam perjalanan ini. Sebagai variasi cantik daripada hanya makan sarden dan kornet melulu. Kuakui, dimakan dengan roti atau mi instan pun rasanya sedap-sedap saja. Di rumah kami sering begitu.
 
Sejujurnya, tak hanya bukan makanan favorit, aku cenderung memusuhi rendang yang sejak aku kecil kumerasa banyak menyita waktukku.
 
“Trauma sih gue,” demikian aku selalu berkilah, yang biasanya akan direspon teman dengan kerutan di jidat.
 
Takkan pernah kulupa ciutnya hatiku tiap kali kuketahui bahwa Ibu akan membuat rendang. Ibu tak pernah sungguh-sungguh atau secara khusus mengumumkan pada kami bahwa pada hari tertentu itu akan ada rendang di meja makan. Tapi, aku bisa tahu tanda-tandanya dengan segera, begitu tukang daging memarkir sepedanya di depan pagar rumah.
 
"Giiiing!!!" seruannya melengking memanggil Ibu.
 
"Sekilo potong rendang, bang!" teriak Ibu dari dalam rumah.
 
Aku pun membeku, nasibku hari itu segera menerawang jelas di depan mata. Terbayang sudah wajan enamel abu-abu putih besar yang kami sebut wajan batik, dan yang dilengkapi oleh sutil yang juga besar, akan mewarnai siangku yang bakal panjang pada hari itu.
 
"Sering-sering diaduk dan dibalik-balik ya, supaya nggak gosong," begitu Ibu selalu berujar.
 
Beban yang sungguh berat telah diletakkan Ibu di pundak kecilku ini. Kan aku jadi tak bisa pergi bermain keluar rumah.
 
“Aaahhhhh!!!" Demikian jiwaku menjerit di dalam hati.
 
Waktu lowong antar-adukan akhirnya kuisi dengan sebuah kegiatan yang sangat kusuka, yaitu membaca. Kegiatan yang mengasyikkan karena bisa membawaku pergi jauh dari dunia nyata, berkelana dan berpetualang seru dalam cerita yang kubaca. Senang rasanya, sampai...
 
"Nina!!! Koq bau gosong!!!" teriak Ibu dari kamarnya.
 
Terpontang-panting aku lari ke dapur. Jadi kesal karena kadang kegosongan padahal belum pun terjadi. Tak paham mengapa Ibu bisa tahu bahwa aku lupa.
 
Jadinya, kubawa bukuku ke dapur dan melanjutkan membaca sambil duduk di dingklik. Tapi, itu tak menjamin bahwa Ibu tak perlu lagi meneriakkan namaku guna membawaku untuk kembali ke dunia nyata meski sebentar, demi mengaduk racikan rendang di wajan batik di atas kompor berapi kecil.
 
Teriakan Ibu juga tak menjamin bahwa pasti takkan ada kegosongan dari rendang yang berada di bawah pengawasanku. Ayah biasanya tertawa saja mendengar gerutuan kesal Ibu yang mengeluhkan kelakuanku, bahkan terlihat menikmati termasuk juga bagian gosong di rendang dengan caranya yang khas. Yaitu, merem melek yang sengaja terlihat dibuat-buat.
 
“Masih berbentuk kalio aja sudah hitam begini,” Ibu ngegerendeng dalam bahasa Belanda.
 
Buat yang belum tahu, kalio itu adalah rendang setengah jadi. Dagingnya sudah matang, bumbunya sudah meresap, rasanya sudah enak. Warnanya kecoklatan dan masih basah. Berbeda dengan rendang yang sudah kering dan berwarna kehitaman. Secara pribadi, menurutku kalio itu lebih enak.
 
Aku makin kesal saja mendengar omelan Ibu padahal Ayah santai saja.
 
“Salah sendiri menyuruhku mengawasi rendang,” gerutuku namun hanya berani dalam hati.
 
Ketika berikutnya aku harus bertugas untuk mengaduk racikan rendang lagi, tiba-tiba aku menemukan ide yang kupercaya akan membantuku dalam mempercepat proses pematangan. Caranya, api di kompor kubesarkan.
 
Dengan cepat masakan rendang menjadi hitam, tapi sama sekali tak matang.   =^.^=
 
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.