Tuhan, Aku Tidak Tahan

Tuhan, Aku Tidak Tahan
Image by pixabay.com

Pernikahanku tidak disetujui oleh keluarga besar Dandi, suamiku. Kala itu sedikitpun aku tidak pernah mengetahui bahwa ada hal sensitif yang disembunyikan oleh Dandi . Aku mengetahui bahwa orangtuanya berpisah dan sudah memiliki keluarga sendiri, aku baru mengetahui kalau dia hidup di lingkungan berbeda keyakinan dan aku baru mengetahui bila yang dia lakukan selama ini adalah hanya sebagian kecil awal mula penderitaanku dimulai.

 

Sebagai perempuan yang sering dicederai oleh perempuan Sunda maka Mbah Uti menolak keberadaanku mentah-mentah. Aku dinilai perempuan tak beradab, perempuan yang hobinya ongkang-ongkang kaki dan hanya bisa meminta tanpa bisa memberi.

 

Kelak dalam kehidupanku Tuhan membalikkan semuanya. Akulah yang menopang keluarga kecilku.

 

“Gara-gara kamu, aku sekarang tidak punya apa-apa.”
“Salahku di mana?. Seberapa banyakah hartamu yang sudah aku ambil?”
“Bukan soal uang, tapi karena kamu perempuan sunda. Sekarang semua fasilitasku dicabut. Miskin aku sekarang. Susah hidup sama kamu.”

“Demi Allah, jika menikahiku membuatmu menyesal. Ceraikan aku sekarang!!!”

 

Bayangkan, hari kedua pernikahanku tak ada indah-indahnya.

Perawanku saja hilang beberapa minggu setelah kami selesai mengikat janji. Itupun antara iya dan tidak.

Rupanya di hari pernikahanku, keluarga besar suamiku dari papahnya tidak boleh ada yang menghadiri. Di setiap sudut ruangan resepsi telah disimpan beberapa ajudan dari omnya, bila saja ada yang melanggar maka hari itu pula akan mengalami nasib yang sama, yaitu semua fasilitas dari mulai kartu debit, kartu kredit, mobil dan segala sesuatunya akan lenyap dalam sekejap.

 

Dan dia menyesal sesaat setelah menikahiku, katanya hidup tak bergelimang harta tentu akan buat dia melarat.

 

“Astagfirullah, ya Allah…kenapa harus kau biarkan aku seperti ini.”

 

Dalam sepertiga malam aku mengadu pada-Nya. Aku tertipu.

 

Perkenalanku dimulai saat kami berada dalam satu kantor yang sama, perkenalan kami cukup singkat hanya tiga bulan saja, lalu dia beranikan diri melamarku. Aku terkesima dengan caranya. Dalam hatiku cinta akan menyusul kelak, saat ini aku hanya ingin menyenangkan hati mama, yaitu cepat-cepat melihatku menikah.

 

Sejak itu setiap hari dia antar jemput rumah-kantor. Padahal setelah waktu berlalu, antar jemput dengan tukang gojek jauh lebih memberi nyaman.

Shalat lima waktu tidak pernah dia tinggalkan, puasa sunat rajin dia lakukan. Bagian mana lagi yang akan aku cari?.

Dengan suara lembut dan logat jawa halusnya telah membuat aku terkesima. Saat itu aku bersyukur luar biasa pada Tuhan.

Aku mantapkan hati, bahwa aku bersedia menjadi isterinya.

 

“Heh, kamu itu harus bersyukur udah gue nikahin. Memangnya ada laki-laki lain yang mau nikahin perempuan model kaya kamu?. Lu pacaran bertahun-tahun ga mungkin ga ngapa-ngapain. Ngomong aja. Basi banget lu”

“Sebenarnya maksud kamu mau menikah denganku apa?”
“Ya, gue kasian aja. Lu pacarana bertahun-tahun ga jelas ujungnya. Dasar cowok kardus, ga berani bertanggung jawab. Kaya gue dong, langsung lamar.”
“Terus kamu bahagia?”
“Awalnya iyam sekarang engga. Gue nyesel. Susah hidup sama kamu. Asal lu tau ya, mantan gue yang di Australia masih gejar-ngejar gue. Mending sama dia, orang Jawa, ayu, sekolah S2 di luarnegeri, Eyang Uti juga suka”

 

Kenyataan berikutnya yang harus aku telan adalah, dia sudah tidak perjaka. Nadi, perempuan yang sekarang sekolah di Australia, menyerahkan keperawanannya pada Dandi, tepat seminggu sebelum mereka memulai LDR Indonesia-Australia.

 

“Dan, gue kasih buat lu. Lu puasin. Yang penting selama gue di Australia lu ga boleh sama siapa-siapa!”

“Ga kebalik. Bukannya di sana jauh lebih bebas ya?. Paling besok lusa lu lupa sama gue”

“Gila kali ya, gue kasih keperawanan sama kamu dan gampang aja gitu melakukan dengan yang lain?”
“Ya, kali…..”

 

Penyesalan dari Dandi terdengar jelas di telingaku.

Lagi-lagi ku bersumpah, aku tidak tahu sejarah Dandi. Itulah bodohnya aku. Terlalu percaya dengan orang yang baru saja kukenal tiga bulan.

 

Suatu hari aku bersumpah serapah, puihhhh persetan dengan taaruf, atau entah apalah namanya, pokoknya jangan pernah mau. Aku menyesal tidak mengenal Dandi dengan baik. Rupanya Dandi besar di lingkungan Katholik taat. Walaupun di KTP muslim, ternyata Dandi lebih suka mendengarkan penyegaran rohani daripada Kultum Quraish Shihab. Dandi lebih senang berkabar dengan sepupunya mengenai pelaksanaan ibadah mereka daripada mengajak shalat jumat bersama sepupu yang muslim di lain waktu.

 

Aku tidak membenci penganut yang tidak satu keyakinan denganku. Aku bertoleransi. Tapi aku benci dengan kebohongan Dandi. Bagiku agama itu sangat penting. Aku perlu imam yang seiman. Aku tak perlu status dia di KTP. Tapi aku perlu imam untukku dan anak-anakku kelak. Aku tidak mau kelak anak-anakku bingung dengan kebiasaanku dan Dandi yang berbeda.

 

Ah, perjalananku semakin menuju titik gelap.

 

“Aku hamil…”

“Hah hamil, tolol kamu ya?”
“Ko tolol?”

“Ya tolol lah, kamu pikir punya anak itu enak?”
“Aku ga ngerti sama kamu”

“Heh, bego. Kan udah dibilang, aku ga mau punya anak dulu. Ribet tau ga. Itu anak lu, urus saja sendiri”

 

Ya Tuhan, cobaan apalagi ini.

Aku pikir dengan kehamilanku akan membuat dia membaik. Rupanya semakin memburuk.

Perjuanganku aku lakukan sendiri. Aku berdrama dimana-mana. Di rumah selalu aku bercerita panjang lebar mengenai kehamilanku, mama tak bosan kasih wejangan agar kehamilanku baik-baik saja.

 

“Dandi mana Mir?”
“Ke bengkel dulu, tadi aku di drop di depan. Katanya ga mampir biar cepet selesai di bengkelnya baru nanti ke sini biar lama ngobrol sama mama dan bapa.”

“Iya tapi kan bisa masuk sebentar, salim baru pergi gitu lo”

 

Ah, mama. Kalau saja mama tahu aku pergi sendiri ke sini. Dandi sedang tidur di rumah dan katanya bosan harus antar aku, dia bukan taksi juga supir ojek.

 

“Mir, sudah jam 5 ko Dandi belum jemput?”
“Bengkelnya penuh, mobilnya baru bisa masuk tadi jam empat. Bisa-bisa sampai Isya baru selesai”

“Loh gimana sih, kalau memang penuh kenapa ga dia simpan saja mobilnya, istirahat dulu di sini kan bisa Mir?”

“Dandi malas bolak-balik Mama, sudah aku kan bisa pake taksi kalau mau pulang.”

“Eh apa-apaan, kamu itu sudah 9 bulan. Mama ga mau ada apa-apa sama kamu di jalan. Biar bapa yang antar.”

“Ga usah mah. Kasian bapa lagi lelap tuh.”

 

Aku tidak mau sampai bapak tahu, kalau pernikahanku tidak baik-baik saja.

 

“Darimana aja sih?. Sadar ga suaminya belum makan?. Sadar ga suaminya dari tadi nungguin. Kepala pusing tau ga. Aku mau ke Kimia Farma. Ayo kantar!”

“Kamu kan bisa sendiri.”

“Enak aja. Aku pusing gara-gara telat makan dan itu gara-gara kamu. Sekarang masuk mobil, antar dan kamu yang bayar. Duitku habis!!!”

 

Aku ambin nomor antrian, hatiku semakin tidak karuan. Aku lihat dia baik-baik saja. Kenapa ribet banget ya?

Dia keluar sebentar, menarik pemantik lalu dia kepulkan asap.

Tertawa khasnya terdengar sampai ruang tunggu Dr.Anita Syaifulloh. Dokter langganan dia dari semenjak dia di Bandung. Katanya kalau sama dokter lain dia tidak akan sembuh.

 

Aku deg-degan, uang di ATM ku tersisa satu juta. Ini harus cukup sampai gajian 3 hari ke depan.

 

“Mir, sekalian daftarin cek darah ya. Takut DBD”
“Hah DBD?, kamu ga papa kok pake cek darah”
“Gue bilang cek ya cek, cerewat banget. Sana daftarin cek darah.”

 

Aku tarik nafas sangat panjang, kartu kesehatanku ketinggalan. Otomatis semua harus dibayar pribadi.

“Mba, suami saya mau cek darah juga.”
“Nanti saja bu, kan belum konsul sama dokternya. Apakah disarankan atau tidak.”

Tiba-tiba Dandi ada di belakangku.
“Mba, aku pasien langganannya. Sudah biasa ko. Saya mau cek darah ya, nanti biar ga bolak-balik.”

“Ya sudah Pak, kalau itu mau Bapak akan saya daftarkan. Bapak tolong ikut saya sekalia saja ya”

 

Kepalaku ikut pusing. Aku benar-benar khawatir kalau uangku tidak cukup.

Dandi ke ruangan dokter Anita sendirian, aku tiba-tiba mual.

Tidak lama Dandi keluar dengan segarnya.

 

“Kata dokter Anita, ini Cuma kurang makan sama istirahat saja. Nih Cuma dikasih vitamin doang. Pulang yuk!”

“Belum dibayar Dandi. Mana uangnya?”

“Tidak ada, kamu pakai saja yang ada”

 

Sembilan ratus tiga puluh lima ribu rupiah.

Ya Allah, nelongso aku. Susu untuk janinku habis. Uangku tersisa enam puluh ribu saja, dan tidak bisa aku tarik dari ATM.

Besok aku tidak bisa minum susu. Besok aku harus siapkan sarapan apa?

 

#

“Mirrraaaaaa…sarapan apa ini. Telor ceplok kecap?”

“Uangku habis, gajian masih lusa. Stok makanan juga habis.”

 

Braaaanggg…

Dandi melempar piring berisi nasi dan telor ceplok kecapnya. Kali itu aku benar-benar tak habis pikir.

Telur terakhir di kulkas aku sajikan buat Dandi. Dengan harapan kalau tidak habis aku bisa makan sisanya untuk sarapan anak di dalam perutku.

 

Nasi sudah bercampur beling, tak bisa aku memilahnya.

Berjongkok sedikit karena perutku makin membesar, aku bersihkan sisa beling dan nasi berceceran. Kudengar suara mobil dipanaskan, lalu diikuti suara roda pagar dan ngeeeeeeng….Dandi meninggalkan aku.

 

Aku berlutut, bukan untuk berdoa. Terlalu lemas untuk menopang badanku sendiri.

Bagaimana aku bisa ke kantor. Aku tak pegang uang sama sekali.

 

Tok tok tok…


“Mir…..”

“Hei Des, ko tumben belum berangkat?”

“Loh, aku yang tumben sama kamu, ko kamu masih di sini?”

“Aku cuti Des.”
“Cuti?. Pakaianmu rapi stelan kantor kamu bilang mau cuti?”

“Iya, tadinya mau ngantor tapi tiba-tiba kepalaku pusing. Nih piring saja sampai pecah.”

“Mir…”

“Iya dessssss.” Aku tak berani menatap Desi, dari tadi aku sudah tahan air mataku yang sudah tak akan terbendung lagi.”

“Mir….”

“Hmmmm, apa sih Des. Aku harus fokus, nanti kalau kakiku kena beling bagaimana?”

“Terserah kamu deh Mir. Tadinya kalau kamu kerja aku mau titip belanjaan. Aku cuti hari ini tapi stok kulkasku kosong.”
“Memang kamu mau belanja apa?”

“Nih listnya, tapi kita sama-sama cuti, ya sudah tidak jadi.”
“Sini Des, aku saja yang belanja.”

 

 

10 Oktober 2009

Anak sulungku lahir. Bapak yang memberi adzan di telinga Rei anakku.

Dandi tidak mau melakukannya, katanya takut salah. Bapak dan Mama pula yang temani di rumah sakit. Bukan Dandi.

“Rei anakku, ibu akan berjuang sekuat tenaga untuk kamu. Kamu yang kuat ya, biar kelak bisa jagain Ibu.”

 

Empat belas juta lima ratus ribu rupiah. Kurogoh semua tabunganku. Semua.

Doaku dalam hati semoga Tuhan senantiasa mencukupkan rezeki untuk aku dan anakku.

Uang tak tersisa di tanganku. Aku pulang membawa anakku tapi tak membawa uangku.

 

Tamu berdatangan silih berganti, aku berharap ada uang dalam amplop yang mereka berikan untukku. Aku malu harus mengakui pada mama kalau aku tak punya uang sama sekali.

 

Di hari ketujuh Rei dilahirkan, ada SMS masuk ke handphoneku.

“Kamu Mira, isteri Dandi?. Saya Meta, saat ini saya sedang Bersama suamimu di Hotel Bulan Sabit. Hahahah kasihan ya kamu, baru saja melahirkan, suamimu sudah tidur denganku.”

 

Ya Tuhan, cobaan apalagi ini. Dari aku menikah sampai Rei ada untukku, aku tak pernah bahagia.

Aku diam, aku bingung. Bagaimana perempuan itu bisa tahu nomorku, namaku juga nama Rei.

Malam nanti akan aku tanya Dandi.

 

Sepanjang kami menikah, Dandi tak pernah mencuci bajunya sendiri. Malam itu jam 10 malam, Dandi baru pulang. Dia langsung ke kamar mandi dan kudengan suara mesin cuci. Dandi mencuci bajunya sendiri.

 

Ah, aku tak mau berdebat. Aku takut keluar kata-kata kotor bersarang di telingaku. Aku takut dibentak Dandi dan aku takut Rei malah terbangun.

 

Akhirnya aku pendam saja perasaanku. Kelak perempuan itu mengubungiku kembali dan kali ini diiyakan oleh Dandi.

Aku hancur.

 

Aku berjuang semampuku, biar keajaiban datang menghampiri.

Rei tumbuh sempurna bersamaku.

Dandi yang masih satu rumah dengan kami tak pernah ada supportnya.

Aku terbangun malam hari sendirian, aku ganti popok Rei, aku beri ASI, aku cuci semua baju Rei, aku mandikan Rei.

Semua kulakukan sendiri, aku tak punya dana untuk membayar orang.  Walau hanya sekadar menemani aku saat masa sulit lepas melahirkan. Akupun tidak mau merepotkan mama untuk menemaniku berhari-hari. Lagian kami tak punya kamar lebih.

 

Rei selalu menyemangati aku. Rei tumbuh sangat menggemaskan. Mata bulat dan bulu mata Panjang persis seperti mataku. Aku mencintai Rei sepenuh jiwaku.

Sebentar lagi Rei sekolah, sesekali dia belajar di rumah bersamaku. Rei tidak pernah bermain dengan Dandi. Kata Dandi yang mau punya anak kan kamu, bukan aku.

Hingga suatu ketika, masuk masa Bulan Puasa. Aku rasa Rei sudah bisa aku ajak ke Mesjid. Aku ingin tarawih setelah sekian lama tak menginjak masjid.

 

“Dan, ke masjid yuk. Rei sudah besar, saatnya kita memberikan contoh pada Rei”

“Ah, malas. Ngantuk. Sana kau bawa saja Rei. Jangan ditinggal, nanti dia acak-acak rumah.”

 

Aku sudah tak punya alasan lagi.

Tangan kananku terlau bersih, tidak pernah ada salim saat kami selesai shalat. Tidak pernah ada imam saat aku sembahyang. Tidak ada yang mengecup kening untuk memberi doa.

 

“Rei, sini sayang. Mama kecup keningmu. Mama doakan kamu ya.”

Rei tertawa , dia paling suka kalau sudah aku doakan di keningnya. Katanya Mama adalah malaikatnya. Yang selalu ada untuk Rei.

 

 

#

“Aku mau cerai.”
“Mir, jangan gila.Rei bagaimana? Kamu pikir matang lah”. Desi mencoba meyakinkan aku.

“Des, sudah cukup rasanya aku berjuang dan bertahan. AKu tidak sanggup. Hatiku terlalu perih untuk dihina setiap hari.”

“Memang tidak adakah hal baik dari Dandi yang bisa kamu pertimbangkan?”

“Bagian yang mana Des?. Aku besarkan Rei sendiri, aku kerja, aku masih menyibukkan mama karena Rei, aku cari uang sendiri, bahkan perut dia saja aku yang isi. Dan satu-satunya harapan adalah agar dia bisa memperbaiki diri dari cara dia perlakukan aku dan Rei juga belajar menjadi imam yang baik. Itu saja nol.”

“Nol?”

“Iya, sampai saat ini belum pernah kami sembahyang bersama, sudah hampir tiga belas tahun kami menikah.”
“Tapi Rei?”
“Rei yang memberiku semangat, katanya asal mama senang Rei ikut senang.”
“Serius,Rei seperti itu?”
“Iya…”

 

Rupanya aku belum punya keberanian, ketakutan terhadap Dandi jauh lebih besar. Belum sempat aku sampaikan, lihat matanya saja aku sudah kuyu.

 

Sudah lama kami tidak satu kamar.

Tiba-tiba Dandi mengetuk pintu kamar Rei, Mir….Mira.

 

Keringat dingin keluar. Ketakutanku luar biasa hebat.

Kali ini aku yakin, pasangan macam apa yang bisa dipertahankan, bila saling menyakiti. Bila ada ketakutan yang tanpa alasan. Bila ketiadaan yang membuat kenyamanan.

 

Tuhan, selamatkan aku.

Berikan jalanmu agar aku dapet melepaskan dengan cara yang baik.


Tuhan, aku tidak tahan.

 

#Bandung, 20 April 2020

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.