Angkot dari Parung menuju ke Lebak Bulus itu berhenti tepat di depanku. Terlihat ada tempat duduk kosong, bahkan banyak, maka aku pun melangkah masuk ke si Biru itu. Memang bukan sedang jam sibuk, jadi sebenarnya wajar saja apabila tempat duduk mudah kudapati. Kalau tidak, wah, nggak janji! Bahkan sudah penuh pun sang supir tetap akan menaikkan penumpang. Dengan paksa.
"Geser ke dalam lagi," begitu selalu sang supir menyuruh para penumpang, yang sebenarnya sudah duduk berdesak-desakkan secara ampun-ampunan.
Dalam perjalanannya, angkot yang kunaiki tadi terus menerus melantunkan lagu-lagu The Rolling Stones, grup band asal Inggris yang terkenal itu. Menghibur penumpang yang cukup banyak naik turun di sepanjang jalan antara Pondok Cabe dan Cireunde. Yang lalu pada satu titik, di depan asrama polisi di Pasar Jumat, hampir semua turun.
Kukatakan hampir semua, karena ada satu yang tidak. Yaitu, aku. Dengan aku sebagai satu-satunya penumpang, si Biru pun melanjutkan perjalanannya ke titik akhir. Situasi agak sedikit berubah. Sang supir tak hanya menekan gas mobilnya menjadi sedikit lebih dalam, tapi ia juga mengeraskan suara musiknya. Dan, tanpa ragu ia mulai ikut bernyanyi.
Dua kali kami harus berhenti di lampu merah. Memberiku cukup waktu untuk memperhatikan si supir. Ia laki-laki paruh baya yang perawakannya tak besar. Cenderung terlihat ringkih, dengan kulit coklat gelap, pasti sebagai akibat dari seringnya ia berada di bawah matahari. Pekerjaannya sebagai supir memang begitu, bukan? Bersahabat dengan matahari.
Rambutnya yang sebagian besar tertutup oleh sebentuk flat hat alias Gatsby hat, macam yang dipakai Toni Baretta dalam film seri TV lawas Baretta, tampak diwarnai oleh uban di sana sini. Kacamata yang dipakainya model lama yang sempat model lagi, bergagang hitam dengan bingkai variasi hitam di bagian atas, dan logam pada selebihnya. Aku sempat pakai model serupa selama beberapa tahun.
Tadi kusebut bahwa ia mulai ikut bernyanyi bersama musik yang dipasangnya, 'kan? Bernyanyinya pun tak sembarangan, lho! Suaranya mungkin biasa, tapi tidak fals dan yang pasti dia hapal lirik lagu yang turut dinyanyikannya. Kuduga, dia bisa juga memainkan gitarnya. Mungkin saja di saat sedang iseng nongkrong ngopi-ngopi ngrokok-ngrokok bersama teman-temannya. Entah saat sedang menunggu giliran melaju dengan angkotnya, atau di gardu keamanan di kampungnya, atau juga di warung kopi langganannya. Apa saja mungkin! Pasti seru!
Dengan hati yang menjadi hangat atas khayalan siang bolongku sendiri, aku segera tersadar bahwa tujuanku sudah hampir tiba.
"Em ar ti Lebak Bulus, pinggir ya," seruku berusaha mengatasi suara musik The Rolling Stones yang meriah itu.
Melalui kaca spion tengah, kulihat sepasang mata sang supir yang kaget memandangku. Mulutnya yang tadi ikut menyanyikan lirik lagu Honky Tong Women, mendadak berhenti. Kuyakin ia baru sadar bahwa ternyata dia tak sendirian di dalam angkot.
"Eh..., eh…, iya, bu!" katanya segera, sambil mengecilkan suara musik di angkotnya dan mengurangi injakan pada pedal gas-nya.
"Nggak usah dikembalikan," kataku saat membayar setelah turun.
Ia mengangguk sambil tersenyum kecil agak malu. Mulutnya menggumamkan kata terima kasih. Aku balas mengangguk, juga menggumamkan ucapan yang sama. Pengalaman beberapa menit terakhir di angkot tadi telah membuat siang yang panas itu terasa menyenangkan. =^.^=