Parau Suara Perantau
Dari aku, untuk rumah

“Emang enak?”
Di kala itu, menjawab pertanyaan ini sungguh mudah bagiku. Tinggal bilang, “Ya enak lah orang serba ada! Orang-orangnya juga udah biasa sama perbedaan, gak kaya di sini: beda dikit udah dicela.” jawabku sinis.
Aku dulu memilih untuk melihat kota kelahiranku, Malang dari perspektif abu-abu karena terngiang pengalaman-pengalaman buruk, yang jelas tidak membahagiakan. Menghabiskan 21 tahun dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota kecil yang sekarang sudah tidak lagi sepi. Makin banyak pendatang yang datang berdesakan, ikut andil mencari ilmu dan arti hidup di kota yang total luasnya kurang dari 150,000 km2. “Makin ruwet” pikirku saat sedang menyelesaikan semester akhir masa kuliah, momen di mana aku sudah sangat tidak betah untuk tinggal di sana. Ingin segera lepas dari belenggu masyarakat yang, bisa dibilang, ruwet. Kok bisa ruwet? Saking kecilnya kota, sepertinya ya: tetangga dari saudaranya teman mu pun bisa tahu apa yang terjadi padamu mulai dari SMP sampai SMA. Sekecil itu? Iya. Awalnya aku tidak mau percaya, tapi apa boleh buat? Apa yang kita percayai tidak selalu sesuai dengan kenyataan yang ada, bukan? Seperti yang kubilang tadi, ruwet: dalam Bahasa Indonesia artinya rumit. Orang-orangnya rumit, aku pun rumit. Terbiasa hidup dengan pemikiran rumit dan sempit, itu yang bikin menata hati dan pikiran jadi makin sulit. Aku salah. Aku seharusnya berhenti berpikir seperti itu. Terlalu ceroboh untuk menghakimi dengan memukul rata semua orang, semua kejadian dan menganggapnya sebagai keburukan, sehingga bisa dengan seenaknya jadikan itu sebagai alasan yang valid untuk segera angkat kaki. Tapi, aku salah. Salah besar. Fatal.
Meninggalkan kampung halaman telah mengajarkanku banyak hal yang jauh lebih berarti daripada rentetan kenangan buruk yang ada di sana. Ini bukan tentang seberapa banyak masalah, atau seberapa besar tantangan yang harus kau hadapi di kota kamu tinggal, tapi bagaimana kamu berusaha untuk berdamai dengan diri sendiri dalam situasi apapun. Gunanya untuk apa? Ya supaya dapat menyelesaikan setiap masalah dengan baik, dengan kesehatan fisik, mental dan emosional yang selalu dalam kondisi baik-baik saja. Karena itu susah. Berdamai dengan diri sendiri itu tidak segampang melihat refleksi muka di cermin. Berdamai di sini konteksnya, memahami dengan betul apa yang menyebabkan suatu permasalahan terjadi, bagaimana itu terjad, apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan saat permasalahan itu sudah terlanjur terjadi. Kembali lagi, ini bukan masalah di mana kamu tinggal, alih-alih, bagaimana kamu mempertahankan prinsip, memperjuangkan kepercayaan dan menjaga hati saat kamu harus menyelesaikan masalah, menghadapi tantangan. Tidak penting siapa orangnya, tidak penting kapan dan di mana. Terpenting: bagaimana kamu bisa mengatur diri, menahan emosi dan keegoisan dalam menjunjung tinggi gengsi yang membuat kamu bisa lupa dan buta akan kesalahanmu sendiri. Karena untuk menyelesaikan masalah, bukan dengan lari ke sana ke mari, apalagi sampai pindah ke luar kota dan membiarkan waktu terus berjalan hingga masalah itu kadaluarsa, tapi dengan berdamai dengan diri sendiri, mengakui kesalahan, memahami kondisi setelah permasalahan yang sudah tidak bisa diganti dan mengilhami dengan khusyuk bahawa: ini memang seharusnya terjadi. Kita akan selalu berada di dalam roller coaster kehidupan dan tugas manusia adalah untuk belajar dari setiap naik turun kehidupan. Karena, ya seperti wahana, hidup ini memang untuk dinikmati. Afterall, it’s just a pathetic comedy.
Kehidupanku di Jakarta berawal saat aku mendapat pekerjaan sebagai Copywriter di salah satu digital advertising agency di Jakarta Pusat. Semua terasa menyenangkan dan membuatku semangat untuk segera memulai hidup baru sebagai perantau di kota besar. Aku sama sekali tidak memikirkan rumah, di kala itu. Layaknya anak kecil yang masih candu dengan mainan baru, it was me with my new life as a Jakartan. Aku menikmati setiap saatku bekerja di daerah terpusat di Jakarta, Jalan Jenderal Sudirman. Sebagai perantau dari kota kecil yang 2 ruas jalanan kotanya sebesar 1 ruas jalanan Jakarta, mendapati diriku bekerja di Jakarta merupakan hal yang sungguh membahagiakan. Tiada dua. Tidak bisa dijelaskan, intinya aku bahagia. Saking bahagianya aku lupa sama rumah. Di kala itu, aku berpikir bahwa ini yang memang kubutuhkan. Lepas dari belenggu-belenggu ekspektasi masyarakat di kampung halaman, kini aku berada di dalam lautan manusia yang tidak peduli tentang masa laluku, bersyukur. Sampai saat ini aku masih bersyukur dengan kehidupanku di Jakarta.
Kota dengan segala kemungkinan, keajaiban dalam setiap harinya dan tentu saja, penuh dengan manusia-manusia yang berambisi kuat dan menginspirasi.
Kuibaratkan semangat ku tentang kehidupan saat ini, bagaikan suara. Semakin membara semangatku, semakin melengking-lah suaraku. Semakin standar suara dan intonasi, berarti semangatku idle. Dan di saat Aku sedang bingung, bagaimana ku mendapatkan semangat membara itu lagi, suaraku menjadi parau. Semakin lama aku jauh dari manusia-manusia yang menyembuhkan, parau suaraku terdengar jelas.
Dimulai dengan malam-malam tanpa istirahat karena terlalu merindu dekap ibu di rumah yang menyembuhkan. Candaan yang sarkas namun pintar dari si adik. Bersatu dengan rumah tempat papa menjadi imam untuk keluarga kecilnya. Senyum hangat keluarga tersayang yang lengkap dengan nasi putih hangat, ayam goreng dan sambal. Para peliharaan yang bukan sekedar hewan kesayangan, namun sudah bagian dari keluarga tercinta. Berbagi hari bersama kekasih, mengisi hari dengan cinta dan kasih sayang yang cheesy tapi manis. Semua itu, merupakan keindahan yang tidak mungkin tergantikan.
Gemerlap lampu Jakarta di malam hari tidak bisa mengindahkan semua perasaan rindu. Hiruk pikuk jalan Sudirman yang selalu macet juga tidak bisa mengalahkan kerasnya suara hati ini menjerit kesakitan, yang hanya ingin pulang dan disembuhkan.
Semoga, dengan kusiarkan isi hati ini walaupun dengan parau suaraku yang menjadikan semua ini tidak cantik lagi, aku bisa kembali kuat dan menemukan semangat untuk menjalani hari. Semoga, suaraku tak lagi parau.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.