You are the Only Pumpkin in My Heart

You are the Only Pumpkin in My Heart

Nitnit nitnit nitnit.

Ponsel di meja bergetar halus sambil membunyikan alarm. Meskipun setelan suara hanya sepertiga, Kus langsung terjaga begitu mendengarnya. Kus termasuk orang yang mudah bangun pagi. Ia segera mematikan alarm. 03.45.

Ketika kecil, Kus selalu bangun pagi dan bertugas di pawon. Ia menyalakan dan menjaga api di tungku. Sementara itu, mbah akan memulai ritualnya: Menjerang air, menanak nasi, memasak sayur dan lauk, diakhiri dengan mengukus putu ayu. Mbah menitipkan putu ayu waluh di beberapa warung untuk dijual. Kus memarut kelapa dan menyiapkan adonan putu ayu. Finishing-nya ada di tangan mbah. Ibunya mencuci dan menjemur pakaian. Ayahnya memerah susu sapi lalu pergi ke sawah. Anom, adiknya, lebih sering ikut di pawon menghangatkan badan di dekat tungku.

Kenangan masa kecil selalu merasuk ke ingatannya setiap Kus masuk dapur di pagi seperti ini. Sugeng enjang, Mbah, bisik Kus. Ia rindu dengan masa kecil dan orang-orang tersayang.

Sudah setahun ini Kus kembali ke rumah orang tuanya di desa. Namun ia kini hidup sendiri. Ayahnya meninggal dunia ketika Kus bekerja di Malaysia. Ibunya wafat ketika Kus di bangku SMA, begitu juga dengan mbah. Anom, merantau ke Pontianak, segera setelah Kus pulang. 

"Gantian, ya, Yu," pamit Anom. Maksud Anom tentu gantian dia yang merantau, kakaknya di rumah.

Kus segera bersiap diri. Ia mengenakan celana panjang supaya bebas bergerak. Kus sedang menyisir rambut pendeknya ketika terdengar suara klakson mobil dibunyikan di luar. Kang Adi, kakak sepupunya, datang tepat waktu. Kus menyambar jaket dari gantungan di balik pintu kamarnya, dan segera ke luar rumah.

Di luar, udara dingin menggigit tulang. Kang Adi duduk menunggu di balik setir pick up nya. Di sebelahnya tampak Juna meringkuk berselimutkan sarung. Juna adalah anak Kang Adi. Umurnya delapan tahun, dan selalu berusaha ikut kemana pun ayahnya pergi.

"Pagi, Kang, pagi Jun," sapa Kus sambil membuka pintu mobil. Juna hanya menggumam tidak jelas sebagai respon, hanya binar matanya yang terlihat menyambut karena sebagian wajah tertutup masker. Ia bergeser mendekat ke ayahnya supaya Kus bisa duduk di sebelahnya. Setelah bertiga duduk nyaman, Kang Adi segera menjalankan mobilnya.

"Jun, ingat pesan Bapak, ya? Jun bantu Bulik Kus nanti, tunjukkan tempat Pak Tohir dan Pak Yamin. Hanya dua orang itu yang Bulik Kus belum kenal. Bisa, kan?" tanya Kang Adi kepada anaknya. Juna mengangguk mantap.

Mereka berhenti di perempatan di dekat gardu jaga dekat Kantor Desa. Kang Adi turun, dan Kus menggantikannya menyupir. Kang Adi akan dijemput oleh temannya untuk suatu keperluan ke kota. Sementara itu, Kus akan membawa muatan ke pasar, ditemani Juna.

Begitu ayahnya turun, Juna langsung duduk tegak tidak lagi meringkuk. Dengan gaya orang dewasa, ia duduk di sebelah bibinya. Juna senang sekali diberi tugas oleh ayahnya. Meskipun berdebar-debar, Juna merasa sanggup menjalankan tanggung jawabnya.

Sebenarnya Kus merasa ada sesuatu yang janggal. Mengapa tiba-tiba Kang Adi minta dia mengantarkan muatan ke pasar. Belum pernah sekali pun Kang Adi melewatkan rutinitas paginya. Kalaupun ada urusan, biasanya ia akan atur supaya ia kerjakan sepulang dari pasar. Tetapi Kus bukanlah orang yang rese. Dengan senang hati ia membantu Kang Adi. Apalagi ia ditemani Juna, keponakannya yang lucu. 

"Pagi, Yu. Saya Tohir. Parkirnya di depan sana, di samping pohon Munggur. Mundur saja, nanti saya kasi aba-aba."

Terkejut Kus ketika ia menghentikan pick up dan sedang celingukan mencari tempat parkir, ada orang mendekat dan menyapanya. Wajahnya separo tertutup masker hitam. Juna memang bilang, parkirnya agak di depan, tetapi Kus ingin memastikan lokasi pohon yang disebutkan Kang Adi.

"Wah, hebat!" ujar Juna ketika bibinya selesai memarkir mobil dengan rapi. "Bapak punya saingan, nih," lanjut Juna diiringi tawa Kus. Menurut Juna, ayahnya jago nyetir mobil, termasuk urusan parkir.

Suasana pasar mulai ramai. Sedikit remang-remang karena hanya ada beberapa lampu penerangan. Pasar ini memang pasar untuk kulakan. Sayur dan buah yang dibawa ke sini dibeli oleh pedagang-pedagang dari mana-mana untuk dijual lagi. Kang Adi sudah punya langganan pedagang yang kulakan sayur. Jadi masing-masing tinggal mengambil pesanan saja lalu menyerahkan uang. Kang Adi bahkan menata muatannya sesuai urutan pembelinya. Itu sebabnya Kang Tohir tadi hanya membantu parkir lalu pamit, nanti akan datang lagi karena pesanannya ada di bak bagian paling depan.

"Toss dulu, Juna," ajak Kus. Sekitar satu jam, pekerjaan selesai. Kus dan Juna senang sekali tugas mereka lancar. Mereka tersenyum riang. Juna mengajak Kus mampir ke warung di ujung jalan. Kus menerima ajakan itu.

"Bapak biasa ajak sarapan di sana," kata Juna sambil berjalan digandeng oleh Kus.

Warung yang disebut Juna sebagai tempat sarapan adalah sebuah warung sederhana. Beberapa orang sudah ada di dalam. Juna sedikit menyeret bibinya untuk segera masuk.

"Bapak!!!" teriak Juna melihat ayahnya duduk di dalam warung. Juna segera memeluk ayahnya, lalu duduk di sebelahnya. Ada sepiring nasi, telur ceplok dan tumis kangkung di meja, yang rupanya sudah dipesankan Kang Adi untuk anaknya.

"Jun makan dulu, Bulik Kus," kata Juna kepada bibinya. Juna sempat menyapa dan menyalami seorang laki-laki yang duduk di dekat ayahnya, sebelum tenggelam dalam sarapannya.

Kus terbelalak melihat Kang Adi ada di warung. Otak Kus masih berputar-putar berusaha memahami yang terjadi. Bukankah Kang Adi pamit akan pergi ke kota karena ada janji dengan...

Sosok laki-laki yang duduk di sebelah Kang Adi itu adalah jawabannya. Laki-laki yang disalamin Juna. Awalnya Kus tak mengenalinya. Namun, ketika laki-laki itu tersenyum... Oh, tidak! Kenapa si biang kerok itu masih saja nongol dalam hidupnya? Bahkan kemaren-kemaren sering menyusup ke mimpinya? Padahal Kus berusaha menghindarinya sejak SMP. Dan kini, malah ada di sini?

Kus kelu tak bisa berbicara. Pandangan melotot ke arah Kang Adi tak mempan memarahinya. Kang Adi hanya menggeleng sambil menempelkan jari ke bibirnya memberi tanda kepada Kus untuk hati-hati berbicara.

Sedetik kemudian, Kus mampu menguasai dirinya. Pengalaman hidup telah menggembleng dirinya dan membuatnya dewasa dan bijak. Meskipun sempat shock melihat lelaki yang selalu mengganggu hidupnya, Kus akhirnya memutuskan untuk bersikap tenang.

"Halo, Kang Adi. Tadi muatan sudah diambil sama para pelanggan. Pembayaran juga lancar. Ini catatan dan uangnya. Dihitung dulu," kata Kus menyerahkan buku dan uang ke Kang Adi.

"Bapak, tadi Bulik Kus jago lho parkirnya. Bapak kalah deh," timpal Juna sambil mengunyah sarapannya.

"O ya? Bulik Kus memang hebat, ya?" jawab Kang Adi merespon laporan anaknya.

"Hello Bagas. Long time no see," Kus basa-basi menyapa laki-laki yang duduk di sebelah Kang Adi. Bagas adalah teman sekelas Kus di SMP. Bagas selalu mengganggu Kus dengan memanggilnya Waluh, sebelum kemudian memanggilnya jadi Pumpkin. Meskipun kesal, marah dan terganggu, Kus diam saja dan memilih menghindar. 

Bagas dan Kus adalah dua siswa kesayangan Mister Tri, guru Bahasa Inggris mereka. Hanya kepada Kus, Bagas selalu menggunakan Bahasa Inggris untuk bercakap-cakap, begitu juga sebaliknya. Bagas sebenarnya senang punya teman sepintar Kus, namun lebih sering ia tergoda menjahili Kus, sehingga Kus justru menjauhinya.


"Hello Pumpkin. I miss you," jawab Bagas. Ia sama terkejutnya dengan yang lain setelah kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Mungkin karena ia selalu membisikkan kata itu bertahun-tahun, sehingga kini otomatis melompat tanpa sempat ditahan. Hening tiba-tiba hadir di antara mereka, membekukan waktu.

"Kok ada kata miss you segala? Bulik Kus itu pacarnya Paklik Bagas, ya?" Waktu langsung pecah berantakan ketika Juna berkomentar sambil memasukkan suapan terakhirnya. Sarapan habis dalam sekejap, tandas tak bersisa.

Mau tak mau, ketiga orang dewasa itu tertawa terbahak-bahak. Pipi Kus terasa panas. Kang Adi mengusap-usap kepala anak semata wayangnya.

"Jun kok ngerti soal miss you? Bapak kan sudah bilang jangan nonton sinetron?" Sambil tersenyum Kang Adi menepuk pundak Juna.

"Jun ga lihat sinetron. Kan kadang ada iklannya?" jawab Juna polos membela diri.

"Oh, ya wis. Yuk, Bapak mbayar sik, trus awake dewe mulih ya. Bulik Kus mengko diterake Paklik Bagas." Kang Adi mengajak Juna pulang. "Jun sida arep tumbas rol kabel? Kayane kiose Pak Brengos wis bukak. Ayo pamit sik karo paklik bulik," sambung Kang Adi sembari mengangguk ke arah Bagas dan Kus, cuek menanggapi tatapan penuh ancaman dari Kus.

"Pamit dulu, Paklik, Bulik," Juna memeluk Kus lalu melakukan tos dengan Bagas. Bergegas ia menggandeng tangan ayahnya dan mereka pergi.

Segera tercipta sebuah ruang kosong hampa yang menyelimuti Kus dan Bagas. Jantung Kus berdetak keras dengan irama tak karuan sejak mendengar pengakuan rindu dari Bagas tadi. Benarkah? Begitu tanyanya dalam hati.

"Benar, Kus. You are the only pumpkin in my heart," Bagas bagai bisa membaca hati Kus dan tak mau melewatkan momen itu. Dicarinya tangan Kus dan digenggamnya erat. Tak ada lagi kata yang dibutuhkan untuk menyatakan perasaan Bagas kepada Kus. Kini keduanya saling pandang. Rasanya hangat. Bagai biji labu kuning yang ditimbun di dalam tanah yang subur, kemudian tumbuh dan menjalar ke segala arah. Tinggal menunggu saat berbunga dan menjadi buah.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.