KOMUNITAS MENGALAHKAN REALITAS

Dulu saya berpikir, orang-orang hebat itu pasti individu yang luar biasa. Orang yang genius dan berpengaruh. Namun semakin banyak mempelajari sejarah, semakin saya sadar, yang membuat mereka benar-benar besar itu bukan hanya kecerdasan mereka, tetapi komunitas yang mereka bangun atau yang mereka warisi.
Sejak dulu, komunitas selalu menjadi fondasi peradaban. Suku-suku kuno bertahan karena mereka bersatu dalam kelompok. Semakin besar sebuah suku, semakin mudah mereka memusnahkan suku lainnya.
Kalo kita tarik lebih jauh, pemerintahan dibentuk bukan oleh individu, tetapi oleh sistem yang melibatkan banyak orang. Ormas, organisasi sosial, bahkan kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat semuanya ada karena manusia butuh kebersamaan untuk bertahan dan berkembang. Tanpa komunitas, manusia adalah makhluk lemah. Dengan komunitas, mereka bisa mengendalikan dunia.
Lihat saja Plato dan Socrates. Ide-ide mereka bertahan bukan karena mereka sekadar berbicara, tetapi karena ada murid-murid yang meneruskan pemikirannya. Yang akhirnya melahirkan banyak aliran baru dengan pemahaman masing-masing.
Salah satu contoh betapa pentingnya komunitas adalah kasus LGBT. Awalnya, hampir tidak ada pemerintahan yang mau menerima mereka. Namun seiring waktu, komunitas LGBT tumbuh semakin besar. Mereka masuk ke dalam berbagai sektor, termasuk media dan politik. Karena suara mereka signifikan dalam pemilu, beberapa pemerintahan di dunia akhirnya merangkul keberadaan mereka demi mendapatkan dukungan politik.
Membangun komunitas itu perkara mudah. Yang sulit adalah bagaimana agar komunitas itu tidak bubar di tengah jalan? Dibutuhkan sesuatu yang membuat orang tetap bertahan, sesuatu yang bisa mereka percaya dan pegang teguh. Itulah yang selama ini kita kenal dengan ideologi. Salah satu contohnya adalah nasionalisme. Untuk nasionalisme orang membuat orang rela berperang untuk negaranya. Kapitalisme dan sosialisme bisa membuat dua blok dunia saling bersaing.
Ada banyak jenis ideologi namun ada satu yang paling kuat: agama. Agama tidak hanya menyentuh logika namun juga emosi sampai sisi spiritual. Agama tidak membutuhkan bukti ilmiah yang mutlak, karena ia bekerja di level kepercayaan. Dan kepercayaan itu lebih kuat dari sekadar argumen. Itu sebabnya, meskipun zaman berubah dan teknologi menemukan hal-hal yang bisa menyangsikan kitab suci, umatnya tetap percaya. Agama bukan hanya sekadar ideologi, tetapi sistem kehidupan yang lengkap.
Nabi Muhammad adalah contoh paling kongkret. Dia sukses memperkenalkan agama Islam di zamannya. Ajarannya terus berkembang dan menyebar ke seluruh dunia. Sampai sekarang umat Islam telah menjadi komunitas yang yang luar biasa besar, solid dan fanatik.
Bagaimana dengan jaman sekarang? Di era digital, bentuk komunitas ini berubah. Komunitas bukan hanya sekumpulan orang di satu tempat, tetapi juga followers, subscribers, dan engagement di media sosial.
Orang yang punya banyak pengikut bisa menjadi influencer—didengarkan, diikuti, dan yang paling penting, punya pengaruh besar. Mereka bahkan tidak perlu mencari bisnis, justru bisnis yang datang ke mereka.
Inilah versi modern dari strategi komunitas. Bukan lagi sekadar membangun kelompok fisik, tetapi membangun audiens yang loyal di dunia maya. Yang tetap tidak berubah adalah satu hal: siapa yang bisa membangun komunitas yang kuat, dialah yang akan bertahan dan berkuasa.
Dari tulisan diatas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa: Jika ingin jadi superior, bangunlah komunitas. Jika ingin komunitas tetap solid, gunakan ideologi. Jika ingin membangun community loyalty yang fanatik, gunakan ideologi agama.
Pada akhirnya, realitas bukan ditentukan oleh fakta. Tapi oleh siapa yang punya komunitas paling besar. Kenapa? Karena komunitas mengalahkan realitas.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.