TERMOS HALAL

TERMOS HALAL

“Gue sekarang jadi produsen termos, Bud,” kata Adnan sambil memberikan kartu namanya..

Adnan temen saya sewaktu kerja di advertising kecil di daerah Roxy jaman dulu. Entah ada angin apa, tau-tau dia ngajak ketemuan. Jadilah kami ngopi di sebuah kafe di Citos.

“Weits! Udah jadi klien lo, ya?” tanya saya surprise banget.

“Yoi. Makanya gue ngajak lo ketemu. Gue mau minta tolong lo bikinin iklannya.”

“Apa brandnya?” tanya saya pengen tau.

“Mortes. Keren, kan?”

“Halah! Keren apanya? Cuma lo bolak-balik doang dari ‘Termos’ jadi ‘Mortes.’”

“Eh, coba lo perhatiin! Dari segi bunyi, orang akan mengira itu produk Italia atau Spanyol.”

“Emang kenapa kalo dikira produk Spanyol atau Italia?”

“Orang Indonesia senengnya yang buatan luar negeri, Bud. Buatan lokal buat mereka murah dan gak keren."

“Mosok, sih? Emang ada risetnya?” tanya saya belagak polos.

“Ah, itu udah rahasia umum."

Tentu saja saya tau ada banyak strategi marketing seperti yang diomongin Adnan. Ada produk elektronik dikasih nama Digitec Ninja dan Digitec Sumo supaya dikira buatan Jepang. Padahal buatan Surabaya.

Yang kocak ada televisi bertuliskan 'Nikisami made in Japan.' Tadinya saya kira itu buatan Jepang. Ternyata 'Nikisami itu bahasa Jawa yang artinya 'Ini sama'. Jadi secara keseluruhan artinya 'Ini sama dengan buatan Jepang'.

“Gimana, Bud? Lo mau, kan, bantuin gue?” Tiba-tiba suara Adnan memporakporandakan lamunan saya.

“Okay! Kasih tau gue, kenapa orang harus beli termos lo dibanding produk kompetitor?”

“Hahahahaha….gue udah tau lo akan nanya itu. Dari dulu lo gak pernah berubah. Hahahaha…”

“Bikin iklan itu simple. Gue cuma perlu tau jawaban itu. Yang lain buat gue gak terlalu penting.”

“Okay! Gue lagi ngurus sertifikat halal dari MUI buat termos gue,” kata Adnan dengan suara mantap.

“Eh? Gila lo ye? Ngapain lo ngurus sertifikat halal? Siapa yang mau makan termos lo?”

“Hehehehe…ada 2 alasan. Pertama termos gue ga punya USP. Secara umum samalah dengan produk kompetitor."

"Lalu?"

"Kedua, jaman sekarang orang lagi pada mabok agama, Bud. Ada makanan kucing halal, ada kacamata halal, ada kulkas halal. Makanya gua juga bikin sertifikat halal buat termos gue.”

"Jadi 'halal'nya yang mau lo jadiin USP?" potong saya.

"I know it sounds stupid but that's my plan. Hehehe..."

“Anjrit! Jadi lo tau itu stupid tapi lo lakukan juga semata-mata buat strategi marketing?” Saya kaget bukan main.

“Eh, Bud! 90% penduduk negeri kita beragama Islam. Jadi pendekatan agama itu adalah strategi yang paling ampuh saat ini.”

Saya terdiam beberapa saat. Perasaan saya berkecamuk seperti air dalam kloset yang baru dipencet flushnya.

“Ntar modelnya juga pake baju gamish, jenggotan dan ngomongnya model-model logat Arab gitu. Pasti laku.”

Saya masih terdiam. Bingung mau ngomong apa.

“Gue udah bikin taglinenya juga.”

“Oh ya? Gimana taglinenya?”

“Jadi endingnya orang Arab itu akan ngomong di depan kamera, ‘MORTES. Halal makanannya, halal termosnya’. Keren, gak?”

"Hahahaha...kenapa gak sekalian aja 'Halal' lo jadikan brandnya? Tanggung amat sih?" kata saya sinis.

Saya ngomong gitu maksudnya nyindir. Meskipun bukan orang soleh, dari dulu saya paling gak suka kalau agama dijadikan marketing tool.

Mendengar omongan saya, mata Adnan terbelalak. Dia memegang kedua pundak saya sambil diguncang-guncangkan.

"Keren banget, Bud. Gak salah kalo orang menjuluki lo sebagai Creative Legend," katanya lalu meraih hp di meja dan berkata, "Bentar, ya, gue telepon Marketing Director gue dulu."

Saat panggilan terjawab, dia langsung berteriak, "Gun, jangan pulang dulu, ya. Tungguin gue. Kumpulin semua team marketing. Kita meeting malam ini. Gue mau ganti nama brand Mortes...."

Adnan nampak sangat excited. Gak lama kemudian, dia menutup HPnya, memandang saya dengan cengengesan "Kenapa gue gak kepikiran ya ide itu. Canggih lo, Bud."

Saya gak menjawab.

"OK, setelah semua beres, gue akan mempercayakan seluruh komunikasi iklannya sama elo. Gak pake pitching. Tapi jangan mahal-mahal ya."

"Hahahahahahaha… Sorry, Nan. Silakan cari orang lain aja,” kata saya sambil menghirup kopi black tanpa gula.

“Heh? Lo gak mau bantuin gue?”

“Sekali lagi sorry, Nan. Gue paling anti menggunakan agama untuk kepentingan politik atau bisnis."

"Tapi, kan, banyak orang yang melakukan hal itu?" tanya Adnan.

"Memang banyak tapi gak berarti kalo banyak menjadi benar. Buat gue strategi kayak gitu gak bermartabat. Lo tau orang lagi pada mabok agama tapi bukannya dibikin sadar, lo malah mau mengambil keuntungan dari situ. Gue gak bisa bantu. Sorry.”

Adnan gak ngejawab omongan saya. Cukup lama kami terdiam sampai akhirnya dia berkata sambil tersenyum.

“Okay, Bud. Setiap orang punya prinsip masing-masing. Ntar lo bantuin gue buat produk yang lain aja ya? Yang gak ada sertifikat halalnya. Okay?”

Untunglah Adnan bisa memahami alasan saya. Dia tidak memaksa dan mengajak bicara topik yang lain. Perasaan saya pun jadi galau. Saya panggil waiter dan memesan bir 1 pitcher.

Dalam perjalanan pulang ke kantor, saya masih memikirkan strategi termos halal Si Adnan. Rasanya kok sedih ya orang sampe segitunya memperlakukan agama. Kok tega-teganya agama dijadikan marketing tool untuk meraih keuntungan pribadi. Bagaimana pertanggungjawaban di akhirat kelak?

Bodo amat, ah! Itu urusan dia. Hehehehe....

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.