Setelah Surat-Surat Kartini: Nasionalisme dan Poligami
Dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret, saya akan memposting rangkaian tulisan pendek tentang beberapa tokoh perempuan. Hari ini saya mulai dengan tokoh perempuan dalam negeri, Kartini. Tulisan tentang Kartini di media sudah banyak. Namun, ada pemikiran Kartini yang kurang mendapat sorotan, padahal turut menginspirasi tokoh-tokoh perempuan generasi berikutnya dalam sejarah perjuangan bangsa dan memengaruhi berapa kejadian dalam sejarah Hindia Belanda. Apa pemikiran tersebut? Tulisan ini akan menyorotinya, mari simak.

Ketika menyebut nama Kartini, kita pertama-tama akan teringat jasanya dalam memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Indonesia. Sementara itu, Kartini juga dikenal sebagai perempuan ningrat yang menentang adat kebiasaan berpoligami (berpoligini) yang dipraktikkan di lingkungannya. Penentangan Kartini terhadap poligami kurang mendapat sorotan, padahal peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di bawah pemerintahan kolonial setelah kematian Kartini tak lepas dari inspirasi yang ditinggalkannya, baik terkait pendidikan maupun perkawinan.
Dalam pos blog saya, saya memaparkan bagaimana pengembangan ekonomi kapitalis, urbanisasi, dan model keluarga patriarkat di wilayah kolonial, termasuk Hindia Belanda, pada pertengahan abad 19 telah melemahkan posisi perempuan. Selanjutnya, gagasan akan model keluarga ideal ini makin meluas pada abad 20. Namun, pada saat itu pula, pada 1901, pemerintah Hindia Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah untuk “pribumi” di bawah kebijakan Politik Etis. Sekolah-sekolah ini lebih banyak dijangkau kalangan elite perkotaan, meski ada sekolah-sekolah yang juga didirikan di perdesaan. Karena kebijakan ini, jumlah perempuan kelas menengah perkotaan terpelajar meningkat, hal yang mendukung pemberdayaan mereka.
Ditambah lagi dengan sekolah-sekolah Kartini untuk kaum perempuan yang mulai didirikan pada 1913, akses kaum perempuan elite terhadap pendidikan makin terbuka. J.H. Abendanon, direktur Departemen Pendidikan Hindia Belanda masa itu, membuka Sekolah Kartini pertama di Semarang. Abendanon terinspirasi oleh surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat pena Kartini di Belanda yang menggambarkan keinginannya untuk meningkatkan pendidikan perempuan pribumi. Meski Kartini sempat membuka kelas untuk perempuan dari semua latar belakang kelas sosial-ekonomi, sekolah-sekolah Kartini yang didirikan oleh pihak Hindia Belanda lebih ditujukan kepada perempuan-perempuan dari keluarga mampu.
Pada dekade-dekade selanjutnya, generasi perempuan elite terpelajar Indonesia yang merupakan buah hasil kebijakan Politik Etis Belanda, mendirikan berbagai organisasi politik perempuan. Sebagaimana Kartini, organisasi-organisasi politik perempuan yang tumbuh pada masa itu bersikap kritis terhadap adat dan kebiasaan, termasuk bagaimana poligami dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka pun menyampaikan tuntutan agar pemerintah Hinda Belanda mengeluarkan kebijakan untuk membatasi poligami yang dianggap banyak merugikan perempuan. Tuntutan ini selaras dengan agenda pemerintah Hindia Belanda yang ingin menerapkan model keluarga patriarkat batih-monogamis ala Barat pada kelas menengah dan menengah-atas perkotaan. Hal ini dipandang akan membawa “kemajuan” dan modernitas pada wilayah kolonial itu. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga ingin melindungi para perempuan Belanda–yang datang ke Hindia Belanda dan kemudian menikah dengan laki-laki pribumi Muslim–dari poligami.
Untuk tujuan itu, pada 1937 perwakilan dari pemerintah Hindia Belanda berkonsultasi dengan anggota dari beberapa organisasi perempuan terkemuka saat itu, antara lain, Kongres Perempuan Indonesia, Taman Siswa, Isteri Indonesia, Isteri Sedar, Pasundan Isteri (PASI), dan Sumatran Sarikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). Setelah itu, pada 1937, muncullah Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat. Rancangan ordonansi ini mengatur perkawinan berprinsip monogamis yang sebenarnya ditujukan kepada kaum elite perkotaan.
Namun, sebagaimana dituturkan oleh Elsbeth Locher-Scholten dalam bukunya Women and the Colonial State (2000), ketika rancangan ordonansi tersebut disosialisasikan, muncul reaksi yang sama sekali tak terantisipasi oleh pemerintah–yakni yang menentang keras ordonansi tersebut. Reaksi ini muncul terutama dari organisasi-organisasi Islam, seperti NU, PSII, Muhammadiyah, dan akhirnya mendapat dukungan kaum nasionalis serta masyarakat lebih luas.
Upaya pendukung ordonansi untuk memengaruhi opini masyarakat melalui media massa malah menjadi boomerang. Saat mengemukakan argumennya dalam sebuah artikel yang ia tulis di majalah Bangoen, Siti Soemandari menyinggung soal perilaku Nabi Muhammad. Pernyataan tersebut malah disambut oleh kecaman masyarakat dan menyulut reaksi lebih keras lagi–ibarat penulis telah melakukan “penistaan agama”, kalau dalam konteks saat ini–yang menyebabkan penulis dan editor Bangoen harus meminta maaf kepada publik.
Ordonansi yang sebenarnya ditujukan kepada sekelompok elit perkotaan ternyata memunculkan reaksi yang begitu keras dari berbagai unsur masyarakat. Reaksi ini muncul terutama bukan karena tidak boleh menyoalkan poligami, tetapi–menurut Locher-Scholten–dengan menguatnya nasionalisme pada saat itu, reaksi ini muncul sebagai wujud penolakan atas intervensi pemerintah Hindia Belanda terhadap budaya dan agama lokal. Organisasi-organisasi perempuan pendukung rancangan ordonansi 1937 akhirnya pun memilih untuk turut bergabung bersama pendapat mayoritas dan menarik dukungan mereka, mengesampingkan isu perempuan demi isu nasionalisme. Ordonansi 1937 pun dibatalkan. Namun, isu poligami diangkat kembali oleh organisasi perempuan pada tahun-tahun berikutnya.
Rentetan peristiwa setelah penerbitan surat-surat Kartini menggambarkan interseksi dan pertarungan antara isu gender, kelas, ras, dan agama serta kepentingan negara dalam konteks kekuasaan pemerintah kolonial. Hingga kemerdekaan Indonesia, pertarungan ini pun kian kuat.
Pertama kali diterbitkan di halaman Facebook Some Thoughts from the Cappuccino Girl (https://www.facebook.com/feministpassion/)
Sumber utama:
Locher-Scholten, Elsbeth (2000) Women and the Colonial State, Essays on Gender and Modernity in the Netherlands Indies 1900-1942. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Sumber foto:
https://indonesiana.tempo.co/…/Inklusifitas-Kartini--dari-M…
Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=8598952
https://commons.wikimedia.org/…/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM…
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.