Opor Nanas Opor Nenek

Sebuah Kenangan Tentang Nenek

Opor Nanas Opor Nenek
photo oleh Yummy App

 

“Bu Lily ya? Aku Ida.” Ibu Lily langsung nengok saat kusapa di acara Peluncuran The Writers Book Club.

Kami memang belum pernah bertatap muka selama pendemi ini. Hanya sesekali saja berjumpa di dunia maya melalui zoom atau berkomentar di dalam grup WA.

“Bu, Lebaran kemarin saya berhasil buat ketupat cantik dan kuahnya yang lezat. Saya mendapat pujian loh Bu.” Aku langsung nyerocos aja di depan Bu Lily yang terlihat sangat senang.

“Wah saya seneng banget loh kalo ada yang praktekin dan berhasil.” Sahut Bu Lily dengan senyuman gembiranya.

***

Aku jadi ingat tiga minggu lalu… 

Bikin ketupat dua puluh menit. Masak sih? Seumur-umur yang aku tahu masak ketupat itu minimum tiga jam. Karena penasaran aku memilih untuk ikutan Mabuk (Masak Jadi Buku), Kelas Memasak online bersama Ibu Lily, Sang Pakar Kuliner Pemilik Restoran Rempah Kita. Karena bener-bener berniat belajar dan kenyataan belum pernah berhasil membuat ketupat bagus, aku perhatikan dengan seksama.

“Sambil menunggu ketupatnya mateng kita buat lauknya ya. Saya mulai dengan opor dulu.” Kata Bu Lily setelah memasukan ketupat ke dalam air mendidih dan aku masih terus dalam keraguan akan hasil ketupat itu. Masak sih bisa mateng dalam dua puluh menit?

“Ini bumbu-bumbu untuk opor ya. Kalau saya lebih suka opor kuning. Lebih cerah gitu. Kemiri dan kunyit biasanya saya sangrai dulu supaya lebih enak dan wangi.” Bu Lily mulai menjelaskan satu-satu bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat opor.

Saat Bu Lily sudah menumis, aku langsung membayangkan harumnya bumbu opor. Wangi opor selalu melayangkan ingatanku pada Nenekku. Nenekku yang jago masak kata Ibuku.  Konon saat di kampung dulu, kalau Pak Bupati datang berkunjung, dia hanya mau mampir dan makan di rumah Kakekku yang walau hidup sederhana adalah seorang Kepala Dusun. Suatu kehormatan besar bagi warganya jika seorang Bupati mau mampir dan makan. Itu karena masakan Nenekku enak, begitu cerita Ibuku.

Hubunganku sangat dekat dengan Nenekku. Sewaktu kecil, aku seringkali diajak atau ngintil kemana-mana kalau Nenek pergi mengunjungi keluarganya naik angkot, oplet dulu disebutnya di kota kelahiranku, Palembang. Nenek juga yang setiap pagi mengantarku ke Kantor Pos untuk menunggu Bis Sekolah saat aku masih di Taman Kanak-Kanak. Iya benar, dulu sekolahku menyediakan antar jemput bis besar karena jarak sekolahku cukup jauh dari tempat tinggalku. Dan siangnya dengan setia Nenek akan menungguku turun dari bis sepulang sekolah.

Ada alasan kuat Nenek memilih Kantor Pos sebagai tempat menunggu Bis Sekolahku. Selain aman dari kendaraan yang lalu lalang, di Kantor Pos ini ada keran air yang bisa dinyalakan kapan saja. Kenapa keran air jadi penting?

“Hampir tiap pagi atau pulang dari sekolah kau selalu kebelet. Haduh, Neneng tiap kali harus nyebokin kau. Untung ada keran air di Kantor Pos hahaha.” Aku memang memanggil Nenek dengan sebutan Neneng, sebuah panggilan dari kampung Ibuku untuk Nenek dan Neneng Lanang untuk Kakek.

Nenek selalu tertawa setiap kali menceritakan bagaimana seringnya aku mules pengen ke belakang setiap pulang sekolah atau mau berangkat sekolah. Entah kenapa waktunya selalu pas di Kantor Pos. Paling parah adalah kalau aku sudah tidak tahan dan berakhir dengan Nenek harus mencuci celanaku di keran air Kantor Pos.

***

Nenek, seorang pekerja keras yang tidak bisa diam. Ada saja yang dikerjakannya. Aku ingat sekali dulu Nenek suka memetik daun pandan tikar berduri yang banyak tumbuh di dekat rawa. Tidak dekat sebenarnya, tapi Nenek membawa daun-daun pandan itu pulang sendiri, dibersihkannya duri-durinya, dipotong-potong memanjang, kemudian diberi warna. Kalau tidak salah dengan merebusnya dalam kaleng bekas. Dan tentu saja aku selalu ngintil ketika beliau melakukan itu semua sehingga masih terbayang jelas apa yang dilakukannya dulu. Setelah diwarnai, Nenek menjemur daun-daun pandan itu hingga kering. Kemudian Nenek menganyam daun-daun pandan kering yang sudah berwarna merah, hijau dan biru itu menjadi tikar-tikar pandan dengan berbagai motif. Cantik sekali. Ada yang motif kotak-kotak, ada yang salur-salur, ada yang silang-silang. Tak cuma tikar, Nenek juga menganyam bakul-bakul dan besek-besek yang sering digunakan untuk menyimpan atau memasak. Nenekku kreatif.

“Kau selalu mengangguk-anggukkan kepala setiap kali Neneng memarut kelapa waktu kau kecil dulu.”

“Kalau Neneng udah marut kelapa, kau pasti mendekat dan ikut ngangguk-ngangguk hahaha…” Nenek senang sekali menceritakan ini pada semua orang.

Aku paling seneng kalau ngobrol di dapur bersama Beliau dan mengenang masa kecilku yang banyak kuhabiskan bersama Beliau.
    
“Neng, Lebaran bikin bajik bandung ya.” Aku selalu minta dibikinkan Wajik Manis dengan rasa nanas yang kami sebut Bajik Bandung.

Rasanya legit, manis, warnanya merah, enak pokoknya. Tapi aku terlalu manja pada Nenek, apa-apa minta dibuatkan, sehingga lupa tanya resepnya. Kalau di dapur lebih banyak ngobrolnya daripada belajar masaknya. Ah Neng, aku kangen.

Kalau aku sudah berada di dapur duluan, Nenek pasti akan bilang gini:

“Apa yang mau dibantuin?” Biasanya Beliau akan mengambil bumbu-bumbu dapur atau cabe dan  mengulek bumbu-bumbu ini sampai halus seperti diblender halusnya.

Hal yang belum bisa aku lakukan sampai sekarang: mengulek bumbu seperti Nenek. Sudah kucoba berkali-kali. Hasilnya zonk! Kalau ada Nenek, cabe halus dan bumbu-bumbu halus sudah tersedia di kulkas sehingga aku bisa langsung gunakan. Ah, aku kangen lagi Neng.

***

“Ayo dicoba makan, mau makan apa nanti Neneng buatin. Masak gak ada isinya sama sekali perutnya.” Nenek mencoba membujukku sambil mengelus-elus punggungku saat aku harus menjalani kemoterapi dan kesulitan untuk makan.

“Gak bisa Neng, keluar lagi makanannya. Gak papa tunggu satu dua hari lagi aku coba makan ya.” Aku berusaha menenangkan Nenek yang terlihat sangat khawatir dan terus mengelus-elus punggungku.

“Yaudah, nanti kalo udah bisa makan bilang Neneng ya mau makan apa.” Kata Nenek sambil berjalan ke luar kamar dan membiarkanku tidur.

Begitulah Nenekku, selalu penuh perhatian, penuh kasih sayang. Sudah satu dasawarsa Beliau pergi, tapi kehangatan kenanganku bersama Beliau terus hadir bersamaku. Di dapurku.

***

“Bu Lily, kalau di Palembang, kami biasanya menggunakan nanas untuk dicampur ke dalam opor.” Aku menyela saat Ibu Lily memasukkan ayam ke dalam opor karena ingat akan Opor Nenek yang selalu dicampur buah nanas.

“O iya bisa. Ditambah kentang juga boleh.” Begitu Bu Lily menambahkan sambil mengangkat ketupat yang mematahkan keraguanku karena hasilnya putih, padat dan cantik.

Dan seketika Opor Nanas, Opor Nenek rasanya segera terhidang di hadapanku. Terima kasih Nek, atas kenangan dan pelajaran hidup yang dibagi bersamaku.
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.