DYAS, Namaku: Dyas Dewanto (#5)

DYAS, Namaku: Dyas Dewanto (#5)

Bagian lima

 

 Sammy

Akhirnya, pukul 15.00 kru dari program infotainment Selebrita, datang ke apartemen. Sesuai dengan arahanku, mereka langsung menuju ke rooftop apartemen. Sejak jam makan siang, aku sudah meminta security apartemen untuk mengosongkan salah satu ruangan di rooftop.  Jadi hanya aku dan kru Selebrita yang bisa mengakses ruangan tersebut.

“Mohon maaf, ini fee sesuai kesepakatan kita,” kata Besti, satu-satunya kru wanita, sambil meletakkan amplop tebal ke meja di depanku.

“Boleh saya ambil? Jumlahnya sesuai kesepakatan kita bukan?”

“10 juta pak Sammy.”

Aku mengangguk puas.

“Kita sudah mempersiapkan surat perjanjian bermaterai ya pak. Mohon ditandatangani. Inti dari surat perjanjian bahwa foto-foto, video tentang bu Dyas dan wawancara kita dengan pak Sammy hari ini, eksklusif milik kita. Infotainment lain tidak berhak atas berita yang sama.”

“Ya tepat.”

“Sekali lagi, semua materi tersebut hanya milik program kita,” kata Besti. 

Aku mengambil amplop. Menghitung uang cepat. Pas.

Besti kemudian memintaku untuk mentransfer foto-foto dan video Dyas saat di rumah sakit. Setelah itu, dia mengatur lay out di mana aku harus duduk. Tim DAR akan mewawancariku eksklusif selama 30 menit.

“Oke pak Sammy, mohon dibaca pertanyaan-pertanyaan ini,” Besti menyodorkan secarik kertas kepadaku. “Sekalian saat bapak di touch up, bapak boleh memikirkan jawaban dari pertanyaan - pertanyaan tersebut.” 

Tak sampai tiga menit wajahku dirias, tiba waktunya wawancara dengan Besti. Lampu kamera dinyalakan, microphone dipasang di kancing atas bajuku.

“Oke, tiga…dua…satu...” cameraman memberi apa-apa pada Besti. Lensa kamera lalu perlahan ke arah Besti, lalu mengarah ke kami berdua.

“Saya Besti dari DAR Infotainment. Saat ini DAR bersama dengan bung Sammy, teman dekat dari Dyas Dewanto. Hai…bung Sammy. Apa kabar? Kita mendengar Anda dan Dyas, baru saja mengalami kecelakaan? Bisa diceritakan detailnya bagaimana?”

Kamera sekarang sepenuhnya mengarah ke aku.   “Iya. Jadi sekitar dua minggu yang lalu kami mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol di daerah Purwakarta. Alhamdulillah saya masih sehat sampai sekarang. Cuma ibu Dyas, sampai saat ini masih harus dirawat di rumah sakit.”

“Kecelakaan tunggal, ban pecah atau bagaimana?”

“Jujur saya tidak tahu karena kejadiannya begitu cepat. Ibu Dyas waktu itu pegang kemudi, tiba-tiba mobil berjalan zig-zag, oleng ke kanan kiri, menabrak pembatas jalan dan mobil kami sempat terguling-guling beberapa kali. Keterangan tersebut saya peroleh dari pihak kepolisian yang menganalisa dari jejak ban mobil kita,” jelasku.

“Seberapa parah keadaan Dyas Dewanto?”

“Alhamdulillah kita masih diberi karunia keselamatan. Kami tidak mengalami luka berarti. Saya hanya mengalami luka di lengan, ibu Dyas badannya juga tidak mengalami luka berarti. Tetapi beliau mengalami cidera di kepala. Itulah sebabnya sampai saat ini bu Dyas masih dalam keadaan koma.”

“Diagnosa dokter bagaimana pak?”

“Kondisi koma menurut dokter susah diprediksi ya…Mohon doanya saja ibu Dyas bisa kembali sehat.” 

“Selama ini perkembangannya bagaimana?” 

“Menurut dokter yang  merawat beliau, belum ada perkembangan sama sekali. Ya, seperti umumnya orang yang sedang  koma, mata terpejam, ada beberapa selang yang dipasang.”

“Ada rencana memindahkan Dyas ke luar negeri misalnya ?”

“Oh tidak. Saya percaya dokter di Indonesia lumayan bagus kok kompetensinya. Sebagai orang terdekat, saya memutuskan bahwa ibu Dyas masih cukup dirawat di Indonesia.”

“Sekarang dirawat di rumah sakit mana bung?”

“Tentang hal itu, mohon maaf saya tidak bisa memberitahukan pada khalayak. Biarlah ibu Dyas melalui hari-harinya tanpa diganggu orang lain. Kita akan informasikan kok kalau sudah ada perkembangan.”

“Setelah kecelakaan tersebut, Dyas dioperasi atau bagaimana ?”

“Tidak. Tidak ada tindakan operasi. Benturan di kepala ibu Dyas, menurut dokter, tidak memerlukan tindakan operasi. Hanya trauma saja. Sehari di rumah sakit di Purwakarta, kemudian dipindahkan ke Jakarta agar dapat rumah sakit yang lebih lengkap peralatannya.”

“Dari pihak keluarga Dyas komentarnya bagaimana?” 

“Baik-baik saja tetapi kita memang sepakat ibu Dyas mendapatkan perawatan terbaik tanpa digangggu siapa pun, termasuk wartawan.”

“Selama ini Dyas lumayan tertutup tentang keluarga, apakah hal itu yang menyebabkan kami tidak boleh meliput tentang Dyas di rumah sakit?” 

“Sepertinya sudah komitmen dari ibu Dyas bahwa beliau tidak mau terlalu terbuka tentang keluarga. Ibu Dyas ingin masalah pribadi adalah privasi beliau, biarlah hanya prestasi beliau yang dishare ke masyarakat.”  

“Oke bung Sammy. Semoga Dyas cepat sehat dan kembali berkarya.” 

“Terima kasih juga dan mohon dimaafkan apabila ada kesalahan-kesalahan ibu Dyas selama ini.”

“Oke cut….” 

Setelah kata cut, Besti kembali wawancaraku lagi. Kali ini tanpa kamera. Untuk background katanya. Tak sampai 10 menit, wawancara selesai.

Besti dan kru Selebrita langsung pamit karena bahan wawancaraku segera tayang untuk program Selebrita besok pagi.

Aku mengantar mereka sampai ke lobi apartemen. Selanjutnya melesat ke Cibubur menggunakan Hond All New CBR kesayanganku.  

Perlu 45 menit aku memacu motorku untuk sampai ke rumah. Rumah orang tuaku. Rumah di mana aku dibesarkan oleh mereka. Seminggu dua kali aku pulang ke rumah mana papa.

 Kupastikan amplop dari Besti masih ada di dalam saku jaket jeansku. Kuambil satu juta lalu kumasukkan ke saku celanaku. Dua hari yang lalu seharusnya aku pulang untuk memberi uang bulanan keluargaku. 

Seperti biasa, bau karbol rumah sakit menyeruak masuk ke hidungku begitu masuk ke rumah. Bau dari kamar adikku, Vito. 

Papa dengan langkah tertatih menghampiriku. Kucium tangannya tanda hormat. Ah, kulit tangan itu semakin hari semakin berkeriput. Di umur papa yang baru 65 tahun, papa terlihat lebih tua. 

“Maaf pa, aku terlambat,” jelasku.  Papaku cuma tersenyum, dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. Sudah sejak lama pendengaran papa agak berkurang.  

          Mulutku kudekatkan ke arah telinga papa. “Maaf baru datang. Aku sibuk. Artis yang kuurusi sedang banyak acara di luar kota.”

Papa mengangguk-ngangguk sambil mengandengku melangkah ke arah kamar Vito. Bau karbol semakin tajam menyerbu hidungku.

Mama sedang di kamar Vito, menyuapi adik semata wayangku itu. Vito sambil tetap mengunyah makanan di mulutnya, tersenyum kepadaku.  

“Tuh kakak datang. Maemnya yang banyak ya…” kata mama sambil menyendok makanan dari piring.

Aku menyalami mama. Kucium punggung tangan, pipi kanan kiri dan kening. Sama seperti papa, gurat wajah mama semakin menua dari hari ke hari. 

Sambil membungkukkan badanku, kucium kening Vito. “Baik-baik kan dik?” tanyaku. Vito menganggukkan kepalanya sedikit sambil tersenyum.

Aku duduk di pinggir kasur Vito. Kupijit-pijit kaki Vito. Adikku ini lebih muda 5 tahun dari umurku. Wajahnya lebih ganteng dari aku. Pintarnya lebih pintar dari aku. Naas, 3 tahun yang lalu, dia jatuh terduduk setelah memasukkan bola ke ring basket. Bukan kecelakaan berat sebetulnya.

Menurut cerita Vito dan teman-teman basketnya, Vito tetap masih bisa bangun sehabis jatuh. Masih bisa melanjutkan permainan basketnya dan pulang naik motor pulang ke rumah.

Namun dua hari setelah jatuh, suhu badan Vito naik tinggi dan kami membawanya ke rumah sakit. Tiga hari di rumah sakit, Vito mulai tak bisa menggerakkan tubuhnya. “Badan gue kenapa berasa kebas semua ya? Nggak bisa digerakin,” katanya waktu itu sambil menangis.

Dokter syaraf yang menangani Vito mengabarkan kepadaku, papa dan mama bahwa Vito bakal  lumpuh. Mama menjerit keras lalu menangis tanpa henti. Aku dan papa terdiam.

Sebulan di rumah sakit Kasih Hospital kelumpuhan Vito tak kunjung membaik. Saat terjatuh tulang ekor Vito mengalami cidera berat dan sangat berpengaruh pada semua kerja dan fungsi syaraf seluruh tubuh.

Sakit Vito diperparah dengan kenyataan, pacar Vito, Adella memutuskan tali kasih mereka. Di awal-awal Vito di rumah sakit, Adella sering menjenguk Vito. Lama kelamaan frekuensi kedatangannya semakin jarang dan blass...lenyap...tak pernah lagi muncul.

Seberapa dalam dan seberapa lama Vito telah menjalin asmara dengan Adella, aku tak tahu. Aku hanya tahu, Adella adalah teman Vito sejak SMP dan kemudian mereka satu SMU lagi. Saat Adella berulang tahun ke 17 tahun, Vito pernah menghebohkan keluarga kami karena Vito meminta mama untuk membelikan kalung emas berinisial nama mereka berdua. Harganya lumayan mahal.

          Dugaanku, kehilangan Adella semakin memperburuk psikis Vito. Beberapa kali kulihat dia menangisi mengapa bagian tubuhnya dari pinggang hingga kedua kakinya tidak bisa digerakkan sama sekali, sehingga Vito tak bisa beraktifitas. Termasuk ke sekolah dan bermain dengan teman-temannya.

 Berharap ada rumah sakit yang dokternya lebih canggih, kami memindahkan Vito ke rumah sakit Abdi Harapan. Hasilnya sama saja. Terapi seminggu tiga kali di rumah sakit, hanya memberi sedikit kontribusi ke kesehatan Vito.  Akhirnya berdasarkan diskusi kami, Vito kami bawa pulang ke rumah.

“Mama kasihan kamu, Sam. Sudah cukup banyak kamu biayai adikmu,” kata mama waktu itu. 

Aku sedikit lega Vito dibawa pulang. Biaya rumah sakit Vito waktu itu adalah hasil meminjam uang ke pacarku, Carine, seorang wanita Jepang. Gajiku waktu itu sebagai Account Executive di sebuah perusahaan periklanan, tak cukup membayar semua keperluan Vito, papa dan mama.

Awal-awal  Vito di rumah, kami memutuskan memperkerjakan seorang baby sitter laki-laki untuk merawat Vito. Tapi lagi-lagi mama merasa kasihan kepadaku. Katanya, gaji baby sitter sebesar empat juta, cukup lumayan untuk kebutuhan sehari-hari. Akhirnya hanya sebulan Vito memakai baby sitter, selanjutnya mamalah yang mendampingi Vito setiap hari.

“Mahuuu…mahu,” kata Vito sambil mengangkat handphonenya ke arahku.

“Ngomong apa ma, Sammy nggak ngerti,” kataku bertanya ke mama.

“Oh sejak seminggu lalu dia minta handphone baru. Hiburan dia kan selama ini main games. Dia bilang handphonenya sudah kurang canggih,” kata mama menerangkan padaku.

“Mahuu.. bau..hepun.. bau…,” ujar Vito berusaha mengeluarkan kata-kata dengan susah payah. 

Aku mengangguk-ngangguk pura-pura mengerti apa maksud Vito. Kugenggam tangan kanannya. Dia memberi respon, dengan sedikit menekan genggaman tanganku.

“Nanti gue beliin ya,” kataku menghibur. Vito tersenyum.

“Terapinya Vito masih jalan terus kan ma?”

 “Masih. Mama lihat lumayan kok perkembangannya. Kata sinshe, Vito boleh main games. Tapi diatur untuk tak terlalu kecapekan. Sekalian melatih motorik tangan. Gamesnya yang ringan-ringan kok,” terang mama.

Hatiku nelangsa setiap pulang ke rumah dan memandangi tubuh Vito dari kepala hingga ujung kaki. Sebelum kecelakaan, tubuh Vito sangat atletis. Kombinasi sempurna untuk seorang bintang di lapangan basket: tinggi, atletis, cakep dan punya sklill bermain basket bagus.

Kini, badan Vito kurus. Semakin kurus malah. Kemampuan bicara Vito juga semakin menurun. Sepertinya syaraf  lidah Vito melemah sehingga dia susah mengucapkan kata atau kalimat.

Beruntung tante Sari, adik mama, punya kenalan seorang akupuntur. Sejak setahun yang lalu, dua kali seminggu Vito menjalani terapi akupuntur dan selalu diantar jemput oleh tante.

“Per datang biaya akupunturnya 175.000 Sam. Semoga kamu selalu diberi rejeki berlimpah untuk biaya pengobatan adikmu,” jelas tante Sari waktu itu.   

Aku bekerja di sebuah perusahaan periklanan dan menjadi beberapa manajer beberapa artis, itulah yang diketahui oleh keluargaku. Padahal kenyataannya, sejak aku diberhentikan dari perusahaan dan Carine pulang ke negaranya, sumber uang hanya dari komisi pekerjaan Dyas. Sumber uang lain adalah bisnis yang kujalankan bersama Aldi. Lumayan masih baru tapi cukup membantuku.

Dulu sebelum manjadi manajer Dyas, alasanku ke mama dan papa ngekos, karena aku kerap pulang larut.  Nah, semenjak menjadi manajer Dyas, aku beralasan lagi bahwa aku double job.

Juga, alasan praktis karena aku tak punya jadwal pasti jam kapan dan jam berapa aku pulang saat mendampingi artis-artisku. Artis-artis…ha..ha…padahal artis yang kupegang hanya Dyas. Ah, berbohong demi kenyamanan hati orang tuaku.  Berhobong terus agar hati papa dan mama selalu tenang menjadi masa tuanya. 

Menjadi tulang punggung keluarga aku harus pandai-pandai mencetak uang. Carine, pacarku sebelum Dyas, menyokong hidupku luar dalam. Hidup bersama dengannya, aku nyaman tak pernah kekurangan uang.

Rate gaji Carine sebagai Account Director di sebuah perusahaan periklanan global adalah dollar. Meminjam uangnya berapapun, diberi. Tentu dengan trik lamaku, merayunya setelah memuaskan nafsunya di ranjang.

Setelah Carine kembali ke Jepang karena penugasannya di kantor perwakilan Indonesia selesai, keuanganku morat marit. Beruntung aku ketemu Aldi dan mengenalkan bisnis itu kepada bos.

Sebenarnya Carine menagih hutangku sebelum dia pulang ke Jepang. Kami berkali-kali bertengkar hebat karena aku tak kunjung membayar. Berkali-kali pula, aku memakai jurus pamungkasku: memuaskan nafsunya, lalu tagihan hutangku seperti terlupakan olehnya.

Sampai akhirnya, aku menemukan unit apartemen Carine dalam keadaan kosong. Dia meninggalkan sepucut surat  yang isinya, cuma kalimat ini:  “Anggap aja hutang-hutangmu kepadaku, lunas!  Anggap saja setiap aku berhubungan seks denganmu, aku harus membayar seorang gigolo, kamu!

Selebihnya, umpatan sadis Carine dikirim lewat whatsapp. Semua nama binatang, dia sebut. Merancau kesetanan, dengan pesan-pesan huruf capital dan bold. Bandara, ya..aku yakin Carine sedang di bandara ketika dia kesetanan merancau mengirim pesan ke whatsappku.  

Harusnya aku tersinggung dengan umpatan Carine. Tapi buat apa?  Toh selama ini kita melakukan hubungan badan atas dasar suka sama suka. Juga buat apa meladeni ocehan dia? Toh Carine telah pulang kampung. Tanpa pamit, meninggalkan teman kumpul kebonya yang selama ini hutang kepadanya hampir 200 juta tanpa berniat membayar. Ha..ha… Impas dengan kepuasan yang dia dapat selama ini, bukan?

Malam hari, setelah mendapat curat ‘cinta’  dari Carine, aku langsung hengkang dari unit apartemennya. Tujuanku satu, ngekos di jalan Angkasa Jakarta Pusat. Lumayan mahal sie,  1 kamar ukuran 3 x 3 meter dengan akses kartu masuk untuk masing-masing penghuninya, 3 juta per bulan. Alasanku  mengambil kost ini adalah system pengamanannya yang sempurna.

Puji Tuhan Aldi memberiku rejeki. Tak sampai sebulan aku bergabung dengan bisnis itu, aku bisa menghasilkan rupiah yang sangat lumayan. Hebatnya, ternyata Aldi dikirim oleh bos besar untuk mendampingiku.  

“Ma..ini uang sembilan juta ya.. Sammy harus pulang ke kost lagi. Besok ada rapat penting pagi hari,” kataku ke mama sambil mencium tangannya.

Kupeluk Vito dan berjanji akan membawa handphone baru minggu dengan, dan memeluk papa di halaman depan, sebelum akhirnya aku melesat lagi ke arah Jakarta Pusat. Malam ini aku ingin melemaskan semua ketegangan otakku, ke kelab malam, Blue Rainbow.

 ….. bersambung.

 

 

 

 

 

 

 

 

  

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.