PESAN DALAM BOTOL

“Sudah sepuluh tahun lalu sejak terakhir virus Qorona melanda negri tercinta ini,” Panji berbicara sendiri sambil melayangkan pandangannya jauh ke laut.
Pandemi virus Qorona meninggalkan banyak cerita dan duka. Namun kenangan itu seperti terpatri kuat dalam memori dan batinnya. Kemanusiaan menjadi sesuatu yang lebih dihargai daripada tahta dan kekayaan. Perebutan wilayah, bahkan perang tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti di mata manusia. Teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang medis dan obat- obatan menjadi topik yang senantiasa hangat dibicarakan oleh seisi penduduk dunia. Tahun- tahun belakangan ini bumipun seolah mendapat istirahat yang layak. Istirahat dari aneka polusi dan sampah sejenak. Langit biru jadi saksi bisu tentang peradaban dunia sejak hadirnya virus itu.
“Laut di pantai Kemala ini selalu kelihatan biru teduh dan dihiasi kapal- kapal pengangkut barang dan bahan tambang yang lalu lalang seperti biasanya. Ah rasanya tak banyak yang berubah,” raganya berbicara seolah dapat berkomunikasi dengan hamparan karpet biru yang luas tak berujung.
Angin sejuk tampak menari dan membelai rambut anak lelaki muda yang sedang menumpahkan ingatan akan masa lalu. Panji sudah lama pindah ke Jakarta bersama orang tuanya. Pekerjaan menugaskan dirinya kembali ke kota Minyak yang penuh kehangatan dan cinta. Laut biru di pantai Kemala kota Balikpapan inilah awal misteri keajaiban segalanya dimulai. Tidak sedikitpun terbesit di pikiran Panji bahwa jawaban doanya di masa sulit datang dari apa yang sedang dipandang kedua bola matanya.
( Cerita kembali ke masa ketika Panji masih berumur 14 tahun )
Tangan kulit Panji yang berwarna sawo matang, matanya yang besar dan hidungnya yang mancung terlihat bagai tim yang kompak dan penuh semangat membangun istana dari pasir di pinggir laut itu. Setelah selesai mengisi ember dengan air laut, ia kembali menyusun gundukan pasir menggunakan sekop dan tangannya yang terampil. Adiknya Elang lalu datang membawa aneka pungutan batu karang dan kerang untuk menjadikannya tembok di sekitar istana pasir tersebut. Dimas si anak bungsu yang masih berumur lima tahun juga tidak mau ketinggalan. Melihat kakak- kakaknya sibuk membangun istana pasir, ia segera mengambil pasir dan ikut asik berkreasi bersama kedua kakaknya.
Hampir setiap Sabtu adalah kegiatan rutin ke laut bagi ketiga anak laki- laki ini. Pagi hari setelah sarapan dan lanjut kembali sore hari. Kompleks rumah bapak Panji bekerja hanya sekitar lima belas menit berjalan kaki menuju ke laut. Bapak yang sehari- hari kelihatan penuh wibawa dan tegas sangat berubah ketika menapaki pasir pantai. Panji paham sekali jika bapaknya lebih senang ke pantai sore hari.
“Matahari sudah agak turun sengatannya di sore hari Panji,” katanya sambil senyum lebar dan penuh kehangatan. Semangat dan antusias membara terlihat juga ketika bapak dari tiga anak laki- laki ini mengajak anak- anaknya bermain air skaligus berenang bebas. Kadang mereka semua hanya diam dan terlungkup membelakangi laut di atas pasir yang basah dan beroma segar. Menunggu ombak yang datang bergulung- gulung seolah siap mendorong tubuh mereka jauh ke depan.
“Kalian pasti lapar setelah puas berendam di air asin dan pasir hari ini khan? ” sahut nenek sambil membawa satu piring makanan yang asapnya masih keliatan mengepul karena baru selesai dimasak.
Panji langsung teriak kegirangan, “Ikan Teri tempe dan kacang kesukaankuuuu“ katanya setengah berteriak kegirangan.
Bapaknya seperti tidak mau kalah dengan anaknya,”Nek, punyaku pedas seperti biasanya khan?”
Nenek menjawab bak koki restoran yang tidak mau mengecewakan pelanggannya, “Pastilah Nenek sudah masak yang pedas untuk kaum pencinta sambal dan yang tidak pedas untuk tiga cucu Nenek yang belum tau nikmatnya makan sambal…hahahaha.”
Ibu Panji sibuk menyiapkan peralatan makan di meja sambil senyum sendiri melihat kelakuan suami dan buah hatinya. Nenek memang koki handal di keluarga, tidak ada satupun makanan yang dimasak olehnya tidak membuat lidah penikmatnya berdansa. Entah karena racikan tangannya atau karena rasa cintanya yang begitu besar untuk keluarga.
Di suatu sore yang tenang Panji menemukan neneknya terbaring lemah di tempat tidur.
“Nenek kenapa?, Lagi sakitkah?” anak laki- laki yang berambut hitam pekat ini tau pasti kebiasaan neneknya itu yang biasanya senang membaca buku atau sibuk berkebun di taman yang sudah dianggapnya rumah kedua.
“Tidak apa- apa kesayanganku, Nenek hanya agak batuk dan sepertinya perlu istirahat.” Suaranya berusaha menahan batuk.
Ada yang tidak biasa. Setiap pulang sekolah Panji menemukan nenek yang sangat disayanginya tergeletak lemah di kamar tidurnya. Sebagai cucu yang kerap memperhatikan gerak gerik lakunya, ia merasa nenek yang kerap batuk ini bukan nenek yang selalu hadir menghiasi hari- harinya. Walau raut mukanya mulai berkeriput namun tidak sedikitpun memudarkan kecantikannya. Rentetan kegiatan kemanusiaan di berbagai organisasi dan bidang kerohanian kerap dijalaninya dengan sukacita. Ibu dari bapaknya ini juga senang sekali ke pasar dan berinteraksi dengan para penjual di pasar Klandasan. Pasar yang terletak tepat di pinggir laut kota ini.
Suatu malam ketika Panji sedang menonton berita TV, semua berita menayangkan tentang virus Qorona yang mulai menjakiti ratusan orang di ibukota negara. Virus ini bagaikan Iblis jahat yang tidak memberi ampun kepada manusia yang dihinggapinya. Ketika tertular virus ini pasien mengalami gejala batuk, sesak nafas dan demam berkepanjangan. Walau ada juga orang yang sembuh, namun banyak juga yang dinyatakan meninggal. Hanya Dimas saja yang keliatan sibuk bermain balok kayu di lantai. Panji, Elang dan kedua orang tuanya hanya bisu seribu bahasa seperti tak percaya dengan apa yang diberitakan di layar kaca. Semua hanya mimpi belaka pikir Panji seakan berharap apa yang disaksikannya tidak nyata. Virus menular yang awalnya terjadi di Cina dan menjadi pandemi bisa sampai ke Indonesia. Anak lelaki muda itu tidak percaya bahwa keadaan yang dialami negri mereka bagaikan sebuah cerita thriller yang selama ini hanya ditontonnya di film layar lebar milik Hollywood semata.
Sepulang sekolah Panji berusaha mencari nenek ke kebun belakang, dapur dan kamar mandi. Kemanapun ia melangkahkan kakinya, matanya tidak dapat melihat sosok tua yang sangat diidolakannya. Sampai bapaknya memberitahukan berita sedih itu kepada anak pertamanya yang pandai dan cukup kritis dalam menanggapi berbagai hal.
“Tidaaaaaaak, Ibu dan Bapak tidak berhak membawa Nenek ke rumah sakit tanpa memberi tahu aku sebelumnya!!!" Panji bagai disambar kilat ditengah bolong.
Sekuat tenaga mencoba menahan air matanya menyeruak keluar dari matanya yang tampak sayu. Rasa kesedihan yang melanda mengingatkan saat ia kehilangan kakek yang begitu disayanginya. Terlalu pilu untuk memutar rekaman memori tentang masa kebahagiaan dan cerita perjalanan kakek yang dulu pernah bekerja sebagai nahkoda kapal penumpang. Panji tidak ingin mengalami kehilangan untuk kedua kalinya.
“Panji, dokter menyatakan penyakit batuk yang dialami nenek kali ini bukan batuk biasa…” sangat berat bagi bapaknya untuk meneruskan kalimatnya.
“Apa maksud Bapak? Nenek batuk bisa disembuhkan dengan obat khan? Biasanya dokter memberi antibiotik lalu Nenek akan sembuh seperti sedia kala. Nenek pasti kesepian tinggal di rumah sakit sendirian!!” cucu pertamanya ini masih bernada tidak terima.
“Panji, Ibu dan Bapak tadi membawa Nenek ke Rumah Sakit Umum Daerah Kanujoso, selanjutnya Nenek akan dikarantina di sana untuk mendapatkan perawatan terbaik dari segenap tim medis di sana….Nenek dinyatakan positif terjangkit virus Qorona."
**********
Panji dan Elang sedang terbenam dalam kesedihan yang mendalam sambil duduk di pinggir pantai Kemala. Mereka membayangkan neneknya yang penuh humor dan gemar memasak makanan kesukaan cucunya.
Elang yang masih berumur delapan tahun dan bertaut enam tahun dengan kakaknya berusaha membuka percakapan dengan suara penuh kepolosan,
” Kak, jadi virus Qorona ini belum ada obatnya?”
“ Kalau liat beritanya di TV belum ada dek!” jawab kakaknya dengan suara setengah putus asa.
“ Kalau gitu virus ini kayak Monster yah Kak?, tapi kalau Monster musuhnya masih keliatan jelas…kalau virus Qorona ini lebih ngeri deh, khan gak keliatan. Rasanya kayak kita lagi perang tapi musuhnya gak ada!!” mata kecil Elang terlihat semakin sipit sambil mengerutkan dahi tanda hatinya sedang penuh kegalauan.
Mata Panji sedang menatap ke laut ketika sebuah benda yang bercahaya memantul- mantul seolah memanggil dirinya. Spontan Panji berdiri dan mencoba mendekatkan dirinya lebih dekat ke arah air laut. Kakinya sedikit basah terendam air. Adiknyapun ikut- ikutan berdiri melihat sikap spontan kakaknya.
“Elang, kamu melihat benda yang sedang terapung itu?” jari telunjuknya menunjuk kearah benda yang berjarak kira- kira lima meter dari tempat mereka berdiri.
Tanpa disuruh adiknya langsung berenang bagai ikan Lumba- lumba menuju benda yang terbuat dari kaca itu. Sesampainya kembali di pinggir pantai sambil mengatur nafasnya yang terengah- terengah ia memberikan benda itu kepada kakaknya. Botol bening itu masih tertutup rapat namun di dalamnya terdapat sebuah gulungan kertas yang terikat dengan rapi. Panji dengan penuh keingintahuan membuka botol lalu membuka gulungan kertas itu.
Kepada anak pantai yang kami kagumi,
Berikan kepada nenekmu cairan dari campuran bahan- bahan berikut
1 gelas air Kelapa Muda
5 buah Bawang Dayak
1 bunga Kamboja Putih berkelopak tujuh
1 bunga Anggrek Hitam
Bawang Dayak dapat kamu temukan di dalam Gua Jepang. Ketika sudah menemukan semua bahan- bahan ini jangan lupa untuk berdoa dan berpuasa selama 1 hari penuh. Kiranya Tuhan Maha Tabib memberikan kesembuhan kepada nenek kalian lewat obat penawar sakit ini.
Elang yang basah kuyub langsung memeluk kakaknya erat- erat. Kejadian yang sungguh ajaib namun nyata berpacu dalam diri mereka. Bagaimana mungkin jawaban doa mereka terjawab dalam sebuah pesan dalam botol?, Bagaimana penulis bisa mengetahui kondisi neneknya yang sedang sakit?. Panji tidak habis pikir siapa yang menulis pesan itu dan darimana asalnya. Pertanyaan yang datang silih berganti itu terus hadir di kepalanya. Namun mengingat keadaan nenek dirawat di rumah sakit, tidak ada salahnya jika mereka mencoba mencari bahan- bahan tersebut. Tidak lama setelah adiknya berganti pakaian, mereka mencegat angkot putih biru nomor enam menuju daerah Gunung Dubbs untuk mencari Bawang Dayak yang berada di dalam Gua Jepang.
**********
Gua Jepang dulu adalah tempat persembunyian tentara Jepang dari tentara Belanda dan Sekutu pada jaman Perang Dunia ke II. Masyarakat setempat kerap menganggap tempat ini mistis dan menjadi sarang ular Pyhton yang menjadi penjaga daerah tersebut. Sedari dulu Panji ingin mengajak Elang adik pertamanya itu untuk menjelajah kedalam gua ini, tapi hatinya tidak cukup besar untuk benar- benar melakukannya. Tidak mudah menemukan gua yang mulai tertutup dengan pepohonan tinggi, dedaunan kering dan semak belukar. Bunyi orkestra jangkrik dari berbagai juru dan nada konstan bunyinya seakan menyambut kakak- beradik ketika akhirnya berhasil masuk melalui mulut gua.
Gua itu bertanah pasir putih keabu- abuan dan pengab. Mereka harus sedikit menundukkan badan ketika berjalan perlahan- lahan ke dalamnya. Ketika mereka berjalan semakin dalam ternyata gua itu bercabang empat, mereka memilih jalan lurus dan menemukan ujung gua itu sudah disemen batu. Mata mereka tetap waspada memperhatikan setiap langkah dan dinding berbatu sembari mencari Bawang Dayak. Akhirnya keduanya menemukan sebuah ruangan kecil berdinding batu coklat tua yang disinari cahaya dari celah- celah kecil di atas kepala mereka. Tidak disangka disana terdapat rumput dari umbi- umbian yang diyakini kakak dan beradik itu Bawang Dayak.
Tanpa ragu Elang dengan kedua tangannya yang berkulit putih mengeluarkan segenap tenaga dan intuisi menarik rumput dari umbi Bawang Dayak itu.
“Kreeeeee….eeeeeekkk,” suara itu memecah kesunyian dalam gua.
“ Yeessss, kak ini bawangnya satu rumpun lebih dari lima buah…apa kita bawa semuanya?” tanyanya dengan suara lantang. Elang memang lebih atletis dari kakaknya, dia senang bermain bola pun tubuhnya keliatan lebih berisi daripada kakaknya.
“Ia kita bawa saja, aku sudah tidak tahan berlama- lama di gua yang suram ini,” matanya mulai sibuk mencari jalan awal mereka masuk ke dalam goa tersebut.
Mereka terus berjalan perlahan setengah menunduk ditemani suara gesekan pasir dari kaki mereka. Namun ketika sudah hampir keluar dari mulut gua seekor ular Phyton besar sedang bergerak lalu berdiam tepat di tengah mulut gua tempat awal mereka masuk. Kedua matanya menatap tajam kepada Panji dan Elang.
“AAAhhhhhhh…., jerit Panji kaget dan ketakutan. “Ular Phyton dek…panjang sekali.. hiiiiiiiiiii….” Panji berusaha memberi tau adiknya yang berdiri tidak jauh dibelakangnya.
“Kak, biar aku ambil batu dan lempar ular itu sampai mati! Aku tidak takut!" adiknya nekad tanpa berpikir panjang.
Panji yang lebih berwatak tenang dan tidak terkesan buru-buru mencoba berpikir keras untuk mengatasi situasi menakutkan ini. Panji tetap tidak mau menyerah, mereka telah melewati tiga cabang jalan dalam gua berhawa dingin ini. Ada satu cabang jalan yang belum mereka lewati dan bergegas mengajak adiknya berbalik arah. Panji hanya berdoa kepada Tuhan semoga jalan terakhir di dalam gua ini akan membawa mereka keluar dari gua yang tidak ingin lagi diinjaknya.
**********
Bagai anak kecil yang begitu bahagia mendapatkan permen dan coklat dari orang tuanya. Panji dan Elang tidak berhenti tertawa ketika mereka menemukan dua bahan lain di daerah rumah mereka sendiri. Pohon Kelapa yang tidak berhenti berbuah ada tepat di samping rumah mereka, begitu juga pohon Kamboja Putih yang ditanam nenek di pekarangan belakang rumah mereka. Tugas mereka hanya tinggal mencari satu bahan lagi dan itu adalah bunga Anggrek hitam.
Keesokan harinya, Panji dan Elang berusaha mencari Anggrek Hitam ke berbagai tempat penjualan bunga dan tanaman di kota Balikpapan. Angkot demi angkot mereka berhentikan, bahkan terik matahari yang panas membara tidak menyurutkan semangat mereka sedikitpun. Semua mereka lakukan demi nenek yang sangat mereka sayangi. Sayangnya, tidak ada satupun tempat yang mereka kunjungi membuahkan hasil. Semua tanaman Anggrek Hitam yang mereka cari belum berbunga. Panji dan Elang harus menerima kenyataan pahit dan akhirnya pulang dengan tangan kosong. Sebelum masuk ke pekarangan rumah, Elang melihat adiknya sedang bermain sepeda roda empat di depan rumah tetangga yang hanya dipisahkan dengan pagar tanaman. Matanya terpaku dengan bunga Anggrek yang sedang berbunga dan menempel di potongan batang pohon milik tetangganya.
“Kaaaaaak Panjiiiiii, suaranya terdengar lembut. Bukankah ini anggrek yang sedang kita cari?" mimiknya bertanya penuh harapan kepada kakaknya.
“Iya Elang…inii…iniiii…. Anggrek Hitam yang kita cari seharian ini!” jawab Panji seakan tidak percaya akan keberuntungan yang datang ketika mereka hampir saja menyerah.
Anggrek Hitam itu berbunga lebat dan indah karena diurus baik oleh tetangga tepat di samping rumah mereka. Burung- burungpun bernyanyi riang seakan ikut bergembira atas penemuan anggrek istimewa itu. Tugas pencarian empat bahan selesai. Selanjutnya misi mereka adalah berpuasa dan berdoa ketika memberikan nenek tersayang minuman campuran air Kelapa Muda, Bawang Dayak, bunga Kamboja Putih berkelopak tujuh dan bunga Anggrek Hitam.
**********
Pelukan dan dekapan nenek adalah hal yang tak bisa ditandingi dengan harta kekayaan apapun di dunia ini. Panji, Elang bahkan Dimas si anak yang paling kecil ikut-ikutan menangis bahagia ketika nenek sudah dinyatakan sembuh secara ajaib oleh dokter dan perawat yang menanganinya. Nenek kembali beraktifitas seperti sediakala. Tidak sedikitpun terpikir bahwa pertolongannya akan datang dari obat ramuan yang ditemukan cucu- cucunya dari sebuah botol yang mengapung di laut.
Panji dan Elang sempat diwawancara oleh dokter yang menangani nenek. Meminta ijin agar ramuannya dibagikan kepada tim medis rumah sakit lainnya. Dengan dukungan orang tuanya, ramuan obat itu dipakai oleh seluruh warga Indonesia yang dinyatakan positif terjangkit virus Qorona. Tim medis dari Cina, Eropa, Afrika dan Amerika mulai berdatangan setelah mendengar mengenai obat mujarab ini. Pelan tapi pasti obat ajaib dari Indonesia menjadi topik berbagai surat kabar dan media elektronik di seluruh penjuru dunia. Tim medis giat mencari vaksin berdasar ramuan yang ditemukan Panji dan adiknya.
(Cerita kembali ke masa sekarang ketika Panji berumur 24 tahun)
“Makhluk apa yang sudah menciptakan obat untuk nenek saat itu?”
“Apakah Tuhan sendiri yang mengirimkan resep bahan- bahan itu? Atau mungkin seorang Malaikat dari surga?”
Panji percaya bahwa ada dunia lain yang tidak bisa dilihatnya dengan kasat mata. Dia bersyukur bahwa dengan jalannya yang misterius semesta alam bekerja sama untuk mendatangkan kebaikan bagi umat yang mendiaminya.
“TERIMAAAAAAA KASIHHHHHH,” teriakan Panji jauh menggema ke arah lautan di Pantai Kemala. Jiwa dan raganya berdoa khusuk kepada Sang Pencipta berharap ucapannya terdengar oleh Sang Penulis pesan dalam botol.
Balikpapan, 18 April 2020
1. Gua Jepang/ Gua Volker, Pantai Kemala, Pasar Klandasan, RSUD Kanujoso adalah tempat nyata dan dapat ditelusuri informasinya di google.
2. Anggrek Hitam dan Bawang Dayak adalah tanaman nyata dan dapat ditelusuri informasinya di google.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.