Telanjang Bersama Kata-Kata

Ia menyusup tiba-tiba. Tak pakai aba-aba. Kehadirannya sungguh tak terduga. Membuat segala tujuan tak berarah dan membuyarkan segala rencana. Bagai alien dari luar galaksi bimasakti. Iya. Alien.
Makhluk yang tak diketahui betul identitasnya. Tak tahu darimana asalnya. Tetapi satu hal yang jelas. Alien dan manusia tidak akan pernah hidup bersama. Begitu kurang lebih pemikiran Jingga mengenai Aksara. Secinta apapun ia dengannya, seingin apapun ia ingin bersamanya. Ia tidak akan pernah bisa mewujudkan itu semua.
Seakan Tuhan yang Esa menciptakannya dalam bentuk yang berbeda. Aksara hanyalah alien berwujud manusia, katanya. Semoga saat Aksara mengetahui hal ini. Ia hanya tertawa tanpa marah. Semoga.
Belakangan ini, Jingga semakin sadar bahwa banyak sekali perbedaan yang seolah merupakan pertanda. Meski berpijak di bumi yang sama dan di bawah langit yang sama-sama biru warnanya. Mereka memiliki perbedaan yang harus diterima.
Selain latar belakang keluarga. Keluarga Aksara bagaikan keluarga kalangan terhormat yang sering digambarkan dalam drama Korea. Sedangkan Jingga hanyalah dari keluarga sederhana yang kaya akan cerita-cerita rahasia di dalamnya.
Perbedaan yang semakin terlihat adalah ketika Aksara mulai menunjukan betapa dirinya sangat mencintai kopi. Bahkan, sepertinya ia ingin menjejaki peruntungan dengan menjual kopi buatannya sendiri. Sedangkan Jingga, adalah seorang perempuan aneh yang di kala coffee shop merebak di mana-mana, ia justru phobia dengan minuman yang sedang digandrungi itu.
Jingga seringkali merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya ketika meminum kopi, juga tak jarang tiba-tiba kepalanya pusing gak karuan. Coba kalau saja Jingga tak jujur dan suatu ketika mereka bertemu di kedai kopi lalu Aksara memesankan kopi yang ia rasa Jingga akan juga menyukainya. Berapa kali lipat jantungnya harus bekerja, sudah berdebar karena kopi, berdebar juga karena tak kuasa menahan rasa berbunga-bunga.
Untungnya, itu hanya halusinasi. Hehe
Hari demi hari berganti,
Perahu perahu kecil milik nelayan masih bersandar di pelabuhan tempat favorit Jingga suka tiba-tiba mengingat Aksara. Meski berada di desa yang sama dan sama-sama suka bolak balik ke pantai. Mereka tidak pernah menghabiskan waktu di sana. Jangankan berdua, bersama-sama dengan teman yang lain pun tidak pernah. Kasihan, ya.
Pernah untuk terakhir kalinya Aksara mengajak Jingga tentunya dengan yang lain juga. Karena Aksara akan lebih dulu pulang meninggalkan desa tempat mereka mengabdi, hingga waktunya tiba entah karena apa, Jingga ketinggalan mereka yang hendak ke pantai jalan-jalan merayakan perpisahan. Sedihnyaaaaa.
Bersama perahu nelayan di sore itu. Jingga berbisik "Aksara, jika nanti ada takdir baik yang membuat kamu kembali mengajakku lagi. Tolong aku jangan ditinggal, yaaaa".
Beberapa tahun kemudian, foto ketika mereka merayakan perpisahan di pantai itu dikirimkan Aksara ke tempat Jingga berada. Iya. Foto ketika Jingga ditinggal ke pantai itu. Iya. Aksara mengirimkannya. Coba bagaimana perasaan Jingga kira-kira? Jadi, sebenarnya yang kejam itu takdir atau Aksara?
Tentu, menjadi bisa menerima segala apa yang tidak Jingga inginkan tidaklah mudah. Sepeninggalan Aksara dari desa. Entah angin apa yang membuatnya sering mengabari Jingga melalui telepon genggamnya yang tentu pakai pulsa reguler bukan pulsa internet, sebab sinyal internet belum masuk ke dalam desa saat itu. Dimulai dengan Aksara yang menanyakan kabar orang tua angkatnya di sana, sampai membicarakan hal-hal tidak jelas.
Aksara tidak tahu, di atas ranjang selepas telepon itu dimatikan. Lamunan Jingga masih berlangsung sangat panjang. Memarahi takdir yang enggan berpihak pada perasaan yang tidak seharusnya dirasakan. Mengutuk nasib yang tak bisa menyesuaikan dengan keadaan. Hal itu masih berlangsung bahkan sampai ketika Jingga kembali ke Ibukota. Sampai kemarin. Sebelum akhirnya harus diakhiri karena Jingga memaksakan diri.
Daripada harus bersaing dengan para perempuan yang Aksara inginkan. Lebih baik ia undur diri dari segala kisah yang membuat hatinya resah. Jingga lebih memilih telanjang bersama kata-kata melalui tulisan. Ia akan memperlihatkan semua rahasia yang selama ini ia pendam.
Bukan hanya tentang cinta, juga tentang marah, sedih, kecewa, tanpa bercanda yang biasa sebelumnya ia lakukan untuk menutupi perasaan sesungguhnya. Ia begitu takut Aksara kesulitan bersikap ketika mengetahui segala perasaannya. Tetapi di sini tidak. Ia sudah memperlihatkan segalanya.
Ia sudah benar-benar telanjang bersama kata-kata.
Jika harus terluka. Ia memilih terluka hari ini daripada nanti ketika ia tidak memiliki pilihan lagi. Jika harus kecewa. Ia memilih untuk kecewa sendiri tanpa melibatkan Aksara di sisi. Ia sudah siap memilin tali-temali untuk mengikat desiran darah kekecewaan agar tak sampai ke hati.
Aksara memang sudah mengatakan hal ini dari awal perpisahan itu dimulai.
"Sekecil-kecilnya perasaan lelaki. Ia bisa membuat harapan besar terhadap hati perempuan. Sebesar-besarnya harapan perempuan. Ia hanya bisa menunggu".
Aksara tidak tahu, Jingga paling tidak suka menunggu. Jika ada hal yang membuat ia harus menunggu, ia lebih memilih untuk muter-muter dulu. Untuk hal ini dan untuk saat ini, ia lebih memilih menemani Aksara dari jauh. Dari sudut paling rindu. :')
@ririsaput
Jakarta, 16 Juni 2020
00.40
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.