(Catatan: tulisan ini adalah tugas menulis-tanpa-ide dengan bimbingan 6 kata dari oom Bud di kelas 12)
Klik! Lubang kunci di pintu rumah bersuara. Pintu terbuka, dan dia masuk dengan heboh. Dua tangannya penuh dengan belanjaan dari pasar, dan hal lain
Aku berdiri dari dudukku. Mendekat ke pintu, memandangnya tajam, dan bertanya tegas.
"Apa itu yang kau sembunyikan?" tanyaku bernada mengancam.
Dia balas menatapku.
"Kenapa sih? Kenapa harus kesal gitu? Nggak bisa ya nggak pakai kekerasan?" tanyanya.
Tak senang pada kata-katanya, kuangkat satu tanganku.
"Jangan!!!" jeritnya sambil menghindar sabetanku
Aku tak bersuara lagi. Diam-diam kutatap lengan dan tangan kanan-kirinya. Banyak goresan bekas luka di situ. Tak bangga, kukatakan bahwa itu semua dariku. Catatan sejarah sepuluh tahun kami tinggal bersama. Tapi, harus diketahui juga, bahwa dia sendirilah penyebabnya. Dia patut menerima semua hajaranku itu. Salahnya sendiri!
Dari dalam salah satu tas belanjanya, muncul sebentuk mahluk entah dari planet mana. Matanya belekan, sipit bagai dua garis. Mukanya cemong seperti pantat penggorengan tukang mie tektek. Tubuh kecilnya didominasi oleh warna putih. Dua segitiga kecil di kepalanya bergerak-gerak bagai radar mencari sinyal. Si aneh itu melompat ke lantai, keluar dari tas belanja.
"Meong...," katanya.
"Tuh kan! Aku dari tadi sudah curiga!!!" aku berteriak.
Tanpa sadar aku sedikit melompat mundur. Tanganku terangkat lagi untuk menghajar. Mahluk asing itu mendesis sambil berguling, hingga perutnya menghadap ke atas. Keempat kakinya menendang-nendang udara. Makin aneh.
"Hei! Jangan kejam begitu!!" dia ganti berteriak. "Kenapa sih jahat banget sama mahluk sekecil itu".
"Mahluk planet aneh!" sergahku
"Dari tadi main pukul saja," protesnya.
Kalian lihat, kan, bagaimana dia selalu memicu amarahku. Kalian paham kan, kenapa dia patut menerima hajaranku.
Dia lalu mengangkat mahluk planet itu, membawa masuk ke dalam kamar, dan, ya ampun!!! Diletakannya di ranjang kami!
"Hei hei!!!" protesku yang lagi-lagi tak diindahkannya.
Mendengar gelegar suaraku, si mahluk planet itu langsung masuk ke bawah bantal. Sementara si dia, dengan santainya mempereteli pakaiannya satu demi satu. Sampai tak selembar pun kain di badannya. Lalu masuk ke kamar mandi. Suara jebar jebur air terdengar bising, ditengahi suara nyanyian lagu tak jelas.
"O oho oho oho oho o!!!" Begitu.
Menyebalkan. Aku menunggunya mandi di dekat tempat tidur. Tadi saat aku hendak naik ke tempat tidur, si mahluk tak jelas menyembur-nyembur padaku bagaikan naga ngamuk. Jadinya, aku duduk saja di samping tempat tidur. Maunya sih menunggu di depan kamar mandi, tapi pintunya tak dia tutup. Mandinya yang jebar jebur itu bikin air muncrat ke mana-mana sampai ke luar kamar mandi.
"Tinggal di pel! Sekalian biar bersih!" begitu selalu dia beralasan.
Suara jebar jebur berhenti, tapi rupanya dia belum kelar dengan urusan kamar mandi. Masih kudengar berbagai suara dari kamar yang selalu basah itu. Entah bikin apa lagi dia di situ.
"Ngapain lagi sih kamu!" tanyaku sambil mengintip kamar mandi.
Masih dengan pakaian kelahirannya, belum pun mengeringkan badan, dia sibuk mencuci entah apa di dalam ember.
"Hei! Nanti masuk angin lagi!" tegorku, yang seperti biasa tak diindahkannya.
"Terserahlah! Hati-hati kepleset!" kataku lagi sambil beranjak meninggalkan kamar mandi.
Aku ke kamar tidur lagi, dan menatap tajam mahluk asing yang menguasai tempat tidur kami. Melihatku mendekat ke tempat tidur, bulu-bulunya langsung berdiri dan mulutnya langsung mendesis-desis. Padahal, aku masih jauh darinya
Akhirnya, yang sibuk di kamar mandi kelar juga. Dengan segala kemegahan baju kelahirannya yang sudah gombrong, dia keluar.
"Waaaah lupa!!! Harusnya bikin minuman hangat dulu sebelum mandi aaaaah!!!" tiba-tiba dia ngomel sendiri.
"Hidupmu memang nggak pernah terencana," sungutku.
Tanpa mengindahkanku, masih belum berpakaian, dia langsung menjerang air di kompor. Huh, asal jangan lupa saja. Nanti tau-tau kering. Kalau kalian melihat warna panci kecil itu, kalian akan paham maksudku. Dan, kupastikan kalian takkan bisa menduga warna asli si panci.
Setelah menjerang panci, barulah dia menuju laci baju. Ditariknya selembar celana dalam, langsung dipakai tanpa melihat kondisinya.
"Itu kan yang sobek di pantatnya. Koq masih disimpan saja sih. Dipakai pula!" protesku.
Lagi-lagi, dia tak mengindahkanku.
Celana dalam itu, entah sudah berapa tahun kondisinya sobek begitu. Kejadiannya dulu, waktu dia dinas ke Belitung. Entah bagaimana, di perahu dia terpeleset dan jatuh terduduk. Pantatnya tergores papan di perahu yang menonjol. Jins-nya tak sobek. Baik-baik saja. Pantatnya saja terasa pegal sedikit. Malamnya di hotel, ketahuan bahwa celana dalamnya sobek, dan pantatnya beset serta memar.
Demikian kisah si celana dalam yang robek itu. Yang setelah beberapa tahun tetap disimpan bahkan dipakai. Seperti gembel yang kekurangan celana dalam saja! Ingin rasanya kulempar uang ke wajah cengengesannya itu, untuk beli celana dalam baru. Akan tetapi, kenyataannya celana dalamnya sangat banyak. Meski seminggu menumpuk celana dalam kotor, takkan kekurangan. Asal jangan sebulan saja. Entah kenapa si sobek terus dipakai.
"Waaaah, teh yang dari Belgia habis ya. Aduuuuh, jaman pandemi gini, si Uni bakal lama baru bisa bawain lagi. Hikz..." kudengar keluhannya.
"Tuh, kopi Ulubelu kiriman keponakanmu belum disentuh," kuingatkan dia.
Keluarga aneh. Si keponakan tahu benar kalau tantenya tak suka kopi. Malah dikirimi. Dengan bangga. Katanya, itu produk komunitasnya.
"Bisa diletakan di kulkas, buat penghilang bau nggak enak," katanya.
Tau nggak, kenapa kulkas kami bau? Karena makanan kucing-kucingnya! Salah siapa, coba? Kukusan ikan, kaleng-kaleng makanan kucing basah; semua tak ditutup dengan benar. Itu sudah! Keluhannya selalu cenderung menyalahkan pihak lain selain dirinya.
Sesudah menyiapkan minuman hangatnya, dia mengeluarkan satu kaleng makanan kucing dari kulkas. Diambilnya sesendok kecil, dan diletakan di piring keci. Lalu, dicampurnya dengan sedikit air hangat.
"Supaya si Penpen gampang makannya. Ya semoga dia udah bisa makan makanan padat. Kalo nggak, repot nih..."
"Oh, sudah diberi nama toh. Penpen," responku pasti terdengar sinis. Memang sengaja sinis. Semoga dia dengar.
Piring kecil itu lalu dibawanya ke tempat tidur.
"Hei, jorok bener sih, koq di kasur kasih makannya!" sergahku
"Biar dia merasa nyaman. Nih aku alasi dengan pamflet mini market," dia beralasan.
Si putih itu segera lahap menyantap isi piring kecil. Membuat dia yang memberi makan senang hatinya. Diitambah lagi, dihabiskan juga.
Geramku sudah tak tertahankan, tapi aku memilih tetap bersabar. Aku keluar dari kamar, dan duduk di sofa kecil di ruang depan. Bersama kucing-kucing dia yang lain. Di situ aku berbaring-baring. Menenangkan diri sambil melihat hujan yang tiba-tiba turun menderas. Cuaca pelan-pelan jadi mendingin, kucing-kucing semakin bulat meringkuk. Semakin menempelkan badannya padaku.
Sepuluh tahun kami hidup bersama, tapi selalu begini. Sering sekali dia pulang membawa anak kucing. Sebagian amat sangat sakit, sehingga jadinya hanya menghabiskan detik-detik terakhirnya di rumah kami. Ketika mereka tak bertahan dan mati, dia akan menangis meraung-raung padaku. Harus aku juga yang menenangkannya.
Berkali-kali kukatakan padanya untuk menghentikan kebiasaan buruknya. Didengarkankah? Kurasa kalian sudah tahu apa jawabannya. Sepuluh tahun kami hidup bersama! Sering aku tak tahan lagi, sampai-sampai tak sadar tanganku melayang. Meninggalkan banyak luka padanya. Tapi, salah siapa? Dia yang membuatku begitu. Dia! Salah dia!
Aku jatuh tertidur. Ku bermimpi akan masa-masa indah kami, di mana hanya ada kami berdua saja. Masa dia belum terjangkit penyakit yang sekarang ini. Penyakit yang membuatnya kerap memungut anak kucing. Entah apa nama penyakitnya. Yang jelas, sungguh sangat mengganggu hidup kami.
Suara keras halilintar mengagetkan kucing-kucing yang tidur. Sampai membangunkanku dari keterlenaanku. Cuaca agak gelap karena hujan masih turun dengan derasnya. Baru sekitar jam dua siang, tapi seperti sudah hampir magrib saja rasanya. Setelah geledek tadi, suasana kembali sepi dan senyap. Kucing-kucing kembali tidur. Kupasang telingaku baik-baik ke arah kamar tidur kami. Tak ada suara apa-apa.
Aku bangkit dari sofa kecil yang makin terasa sempit karena kucing-kucing berkumpul semua di situ. Kumelangkah ke kamar tidur kami. Di situ kutemukan dia tertidur lelap. Bersama dengan mahluk kecil putih itu di dadanya. Keduanya kelihatan damai. Membuatku ingin turut merebahkan diri bersama mereka. Dengan kepala di dada dia, seperti yang biasa kulakukan, rasanya pasti nyaman sekali.
Pelan-pelan kunaik ke atas tempat tidur. Mendeketi dia yang tidur lelap. Tiba-tiba, mahluk kecil itu terbangun. Langsung lompat berdiri di atas empat kakinya. Bulu-bulu di sepanjang punggungnya sampai ujung ekornya, berdiri juga. Mulutnya mendesis-desis. Dia yang sedang tidur pun terbangun kaget.
"Eh! Kenapa sih mengganggu?" katanya dengan marah sambil menepisku.
Tiba-tiba, mataku terasa gelap. Emosi dan amarah yang kutahan sejak tadi, sejak dia pulang membawa mahluk konyol itu, menjadi tak terbendung. Satu tanganku melayang bagai kilat.
"Aaaaaawwww!!!" dia menjerit keras.
Tangan kirinya memegangi tangan kanannya. Darah terlihat merembes keluar dari segaris kemerahan di dekat pergelangan kanann. Wajahnya meringis kesakitan. Matanya menatapku.
"Puas!?" tanyaku yang lebih kepada diriku sendiri.
Aku keluar dari kamar, kembali ke sofa. Baiklah, kalau dia tak lagi memperkenankanku tidur di tempat tidur kami yang berada di kamar kami itu, akan kuhabiskan sisa umurku di sofa kecil ini. Masih dengan emosi dan amarah, kuusir kucing-kucing yang sedang tidur di situ. Tidak seperti dia, mereka takut padaku, dan segera menghilang dari sofa. Kurebahkan tubuhku dan menutup mata sambil menghela napas panjang. Tiba-tiba, sebuah bantal kecil jatuh di atasku. Disusul teriakan penuh amarah dari dia yang berdiri di pintu kamar.
"Hei, Kamoy! Kenapa sih jadi kucing selalu jahat begitu!!!"
Aku mendesis marah. Bulu-bulu dari punggung sampai ujung buntutku berdiri. Persoalan belum selesai rupanya. =^.^=
[Tulisan ini terbit dalam antologi Cerita Para Bucing 2, 2021, Makmood Publishing, halaman 85, dengan sedikit diedit dan berjudul Teman Hidup]