Poligami Antara Ibadah Atau Nafsu ?

Poligami selalu menjadi isu menjadi topik perdebatan oleh masyarakat Indonesia. Perdebatan itu memicu gairah di antara kedua kelompok yang mendukung dan yang menolak, dan dikalangan banyak orang Indonesia yang pendapatnya berada di antara kedua kutub ekstream itu.

Poligami Antara Ibadah Atau Nafsu ?
Aksi Kelompok Perempuan Menolak Poligami
Poligami Antara Ibadah Atau Nafsu ?

UU Perkawinan Tahun 1974 tersedia pengecualian-pengecualian untuk aturan-aturan umum perkawinan. Misal, ia menyatakan dasar perkawinan adalah monogami. Tapi itu bisa menjadi pengecualian untuk poligami bagi muslim. Poligami bisa dilakukan dibawah undang-undang itu dengan izin istri yang ada.

Itupun dengan syarat dia tidak bisa memenuhi tugas-tugasnya sebagai istri, misalnya ia sakit tak dapat disembuhkan atau tidak bisa melahirkan. Suami harus membuktikan di pengadilan daerah setempat bahwa ia mampu berlaku adil dengan semua istrinya.

Di samping syarat-syarat yang ketat itu, perkawinan poligami sering terjadi tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku, hal ini memicu terjadinya perempuan ditinggalkan tanpa perlindungan hukum.

Beberapa kelompok perempuan muslim mendukung pasal-pasal mengenai poligami tersebut, mereka berargumen kalau ketentuan-ketentuan dan hukuman harus diperkuat, dan yang pada akhirnya istri yang harus menentukan apakah suatu perkawinan poligami diperbolehkan atau tidak.

Sebuah koalisi kelompok-kelompok perempuan, Jaringan Kerja Program Legislasi Nasinal Pro Perempuan (JKP3)  mengajukan rancangan amandemen atas UU Perkawinan yang akan menghapus pasal-pasal poligami. Dan merubah pasal-pasal tentang hak dan kewajiban suami dan istri yang dianggap bias jender.

Pada tahun 2006, kampanye tentang poligami dilakukan secara terbuka oleh beberapa kelompok. Ada dua kasus poligami yang sangat terkenal pada waktu itu. Salah satunya melibatkan penceramah kondang, Aa Gym, beberapa hari setelah terdengar kabar Aa Gym melakukan poligami,  para pengikut perempuannya merobek-robek gambar-gambar Aa Gym di depan umum, dan mengirim SMS agar kaum perempuan memboikot produk-produknya. Dan seorang politisi senior dari Partai Bintang Reformasi (PRB), Zaenal Ma’arif. Yang mengundang perdebatan panas.

Pada April 2007, seorang pengusaha dari Jakarta, namanya M.Insa. melakukan permohonan untuk melakukan perkawinan poligami namun gagal, akhirnya ia memutuskan untuk mengetes pembatasan-pembatasan dalam poligami dengan mengajukan petisi untuk Judicial Review ke Makhamah Konstitusi (MK).

Dia mengklaim bahwa syarat-syarat yang ditetapkan dalam pasal-pasal UU tersebut bertentangan dengan haknya untuk mempraktikan ajaran agamanya sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

Dia tidak bisa melakukan poligami karena ia diminta untuk mendapatkan izin dari istri pertamanya. Ia berargumen kalau poligami termasuk ke dalam kategori ibadah, pemerintah tidak punya hak menetapkan pembatasan-pembatasan dalam pelaksanaannya.

Insa juga mengklaim dengan membatasi poligami, negara mendorong perceraian dan memudahkan perzinahan dan pelecehan di kalangan janda-janda dan orang-orang yang bercerai.

Para advokat perempuan dari Fatayat NU, The Indonesian Conference of Religion and Peace, Rahima, dan organisasi-organisasi lainnya ikut hadir dalam pengadilan itu, mereka meminta MK untuk menolak petisi itu. Mereka berargumen bahwa tidak benar, Batasan dalam  melakukan poligami bertentangan dengan kebebasan beragama, poligami tidak “islami” seperti yang dinyatakan oleh pembuat petisi.

Menurut mereka, hampir mustahil seorang suami mampu melaksanakan pasal-pasal tersebut yang memastikan semua istri diperlakukan secara adil. Praktik poligami sama dengan diskriminasi terhadap perempuan, yakni mensubordinasikan mereka, juga menempatkan mereka pada resiko kekerasan domestik.

Pada Oktober 2007, akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusannya. MK menolak petisi dari Insa dengan alasan bahwa perkawinan Islam adalah monogami. Keputusan itu menegaskan kalau poligami tidak termasuk dalam ibadah, melainkan masuk dalam kategori hubungan sosial (Muamalah).

Jadi negara tidak hanya memiliki kewajiban dalam mengatur poligami agar bisa memastikan tercapainya tujuan pernikaha itu, yaitu sakinah. Selain itu, syarat-syarat yang membatasi poligami yang ada di dalam Undang-undang tidaklah bertentangan dengan hak ibadah, atau diskriminasi. Argumen dari Insa sendiri mengenai perzinahan dan pelacuran hanyalah dugaan Insa sendiri.

Kelompok-kelompok perempuan menyambut baik keputusan MK menolak petisi tersebut. Ada banyak orang yang menginginkan pelarangan poligami. Mereka ingin membuat syarat-syarat yang memperketat dan membatasi praktik poligami, sehingga mereka yang melakukan pernikahan poligami tanpa izin dari pengadilan agama menghadapi sanksi-sanksi yang lebih kuat.  

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.