Jangan Paksa Aku Sekolah!

Bagi Farel, adikku, sekolah adalah hal-hal yang ditunggu setiap hari. Dia juga anak yang pintar dan peringkatnya selalu jauh di atasku dulu. Dia selalu peringkat dua dan aku juga, peringkat dua dengan tambahan nomor lain dibelakangnya. Kadang aku gemas melihat anak ini. Kelihatannya jarang belajar tetapi selalu bisa dapat peringkat. Apa mungkin otaknya seperti spons tebal dan otakku setipis plastik yang tidak bisa menyerap sama sekali?
Tidak seperti biasanya, Farel bangun terlambat bahkan ogah-ogahan walaupun aku sudah menarik selimutnya. Dengan mata tertutup, ia menarik selimut lalu tidur lagi.
"Rel, bangun loh, ini udah siang," omelku.
Tidak ada jawaban.
"Loh, anak ini gimana sih? Mah, mamah, Farel nggak mau bangun," Aku mengadu kepada mama.
Farel masih tidak mau beranjak dari tempat duduknya.
"Farel..." suara meninggi terdengar dari luar kamar.
"Aku nggak mau sekolah lagi," kata Farel dengan nada malas.
"Mah, Farel katanya nggak mau sekolah lagi," aduku.
"Ayo dek, nanti mama marah loh." Aku melembutkan suaraku agar bisa membujuknya.
"Pokoknya aku nggak mau sekolah"
Tiba-tiba mama datang membawa sapu. Mengancam akan memukul adikku ini jika tidak mau bangkit dari tempat duduknya.
"Awas, kalau belum mau bangun, siap-siap aja gagang sapu ini mendarat di kepalamu."
Begitulah mama. Mama bisa dibilang cerewet dan galak. Mendapat ancaman seperti itu, Farel langsung bergerak. Dengan terpaksa ia mengambil handuk, lalu berjalan menuju kamar mandi. Seiring langkahnya menuju kamar mandi, aku masih mendengar gerutunya kalau ia tidak mau sekolah.
Singkat cerita, Farel sudah pulang dari sekolah. Mukanya muram dan tidak bersemangat.
"Nah, kenapa lagi ini?" tanyaku.
"Sudah kubilang aku nggak mau sekolah, tetapi kalian maksa-maksa," bentaknya sambil melemparkan tasnya ke lantai.
Aku yang tidak menduga reaksinya tidak terima dan balas membentaknya.
"Eh, begitu caramu menjawab kakakmu?" Aku mencubit lengannya.
Mukanya memerah dan aku melihat mata Farel berkaca-kaca tetapi berusaha menahan tangisnya.
"Hah, nangis, nangis, dibentak dikit aja langsung nangis," ledekku.
Farel melengos masuk ke kamarnya. Diam-diam aku menempelkan daun telingaku di daun pintu kamarnya. Aku mendengar Farel sesenggukan. Farel benar-benar menangis, pikirku. Tidak seperti biasanya dia seperti ini, bahkan biasanya dia tidak akan mau kalah beradu mulut denganku.
Sampai sore Farel tidak mau keluar kamar.
Makan malam bersama adalah hal wajib didalam keluarga kami. Kali ini Farel bertingkah lagi dan tidak mau keluar kamar sebelum mama yang turun tangan menggedor-gedor pintu kamarnya.
Dengan wajah masam dan mata bengkak ia terus menunduk.
Aku yang pada dasarnya memang suka menjahili adikku satu-satunya ini malah berkata, "Lihat anakmu, Ma, betul-betul kayak cewek, kalau nangis, ngurung diri, aku aja nggak begitu"
Farel menggebrak meja. Kami semua terkejut. Dia diam saja. Wajah mama sudah tidak enak. Mama ikut-ikutan membanting sendoknya.
"Kami ini minta dihajar atau bagaimana, hah? Kalau kamu ada masalah, bilang! Jangan kayak perempuan, ngambek,"
"Gitu aja kalian semua, entah itu di jalan, di sekolah, di rumah, semua bilang aku kayak cewek,"
Kami semua terdiam. Farel benar-benar lupa diri atau kami yang kelewat kaget. Farel membentakku itu sudah biasa, tetapi Farel tidak pernah berani meninggikan suara kepada orang tua. Setelah itu ia berlari meninggalkan ruang makan.
Mama yang tersulut emosi ingin segera menyusulnya, untung tangan papa cepat menahan mama. Ia memberi isyarat untuk menenangkan diri.
Setelah makan malam, kami memutuskan untuk mengajak Farel mengobrol. Aku dijadikan umpan untuk memancing Farel membukakan pintu. Farel mendengarkan omonganku.
"Dek, ada masalah ya di sekolah?" kataku dengan nada rendah.
Ia tidak menjawab. Ia menarik selimut menutupi wajahnya.
"Ngak papa, cerita aja dek, mama nggak marah lagi kok," aku memainkan mata ke arah mama dan papa.
"Pokoknya, aku nggak mau sekolah lagi." balas Farel.
"Kenapa?" kali ini papa yang buka suara.
"Semua orang bilang aku kayak cewek"
Dari wajah mama dan papa, kami memikirkan hal yang sama. Kami sudah menemukan pemicunya.
"Siapa yang bilang begitu di sekolah?" tanya papa lagi.
"Setap pagi, kalau di jalan, aku ketemu anak SD yang bilang aku bencong, aku harus nunduk dan menurunkan topiku kalau mau berpapasan dengan mereka. Aku malu kalau teman-teman atau kakak kelas lihat aku lagi diledekin. Di kelas juga, kadang-kadang guru mengejek cara bicaraku. Katanya aku berbicara kayak cewek dan teman sekelas akhirnya ikut-ikutan,"
"Lah, masa anak SMA sama anak SD aja takut, tinggal pukul kepalanya, apa susahnya?" mama menyeletuk.
Aku yang sudah mengerti titik permasalahannya, memberikan isyarat kepada mama. Mama secara tidak sengaja sudah menyinggung Farel lagi.
"Jadinya mau gimana?" tanyaku.
"Aku nggak mau sekolah, kalian nggak usah paksa aku lagi."
Papa menarik selimut Farel.
"Ayo duduk dulu, dari tadi kami coba mendengarkan kamu. Sekarang giliran Farel dengar kata papa. Nggak sopan kalu ngomong membelakangi orang tua."
Farel menurut.
"Sekarang Farel lihat papa dulu," perintah papa.
Farel menurut. Ia melihat papa dengan ragu. Sesekali ia menunduk karena tidak berani melihat papa dengan lama.
"Serius, Farel nggak mau sekolah lagi?"
Farel mengangguk.
"Lihat papa dulu, baru jawab," kata papa lagi. Farel mendongak.
"Jadi, Farel nggak mau sekolah lagi?"
Sekarang Farel tidak mengangguk ataupun menggeleng. Ia hanya mennunduk.
"Berarti papa bisa simpulkan, Farel masih mau sekolah," Papa jeda sebentar lalu melanjutkan lagi, "Farel takut ya?"
Kali ini Farel mengangguk mengiyakan perkataan papa.
"Jadi mau gimana? Farel mulai besok perlu diantar?"
"Jangan," dengan cepat Farel menolak.
"Kalau begitu bagaimana?"
Farel akhirnya mulai tenang, "Nanti kalau diantar, mereka jadi punya bahan untuk ledekin aku lagi"
"Tapi kamu nggak perlu berpapasan dengan anak kecil tadi," sambungku.
"Tapi aku lebih nggak tahan kaau makin banyak teman-teman di sekolah yang ledekin," jelasnya.
"Nah, jadi bagaimana dong?" pancing papa lagi.
"Farel akan usahakan tidak memedulikan yang anak kecil tadi dan akan berusaha terlihat tenang kalau di ejek teman-teman," jawabnya.
"Nah. Itu poinnya. Jangan biarkan orang terus memandang rendah kamu, melihat kamu lemah. Semakin Farel terlihat lemah, berarti kamu mengiyakan ejekan mereka. Mereka akan puas. Mau digituin?"
"Nggak, Pah" jawab Farel singkat.
"Baik kalau begitu Farel kalau mau lanjut makan, makan dulu, terus istirahat. Besok papa mau lihat Farel lebih siap ke sekolah."
Farel mengangguk. Papa mengajak aku dan mama keluar. Kami kembali ke ruang makan melanjutkan acara makan yang sempat tertunda. Papa langsung mengingatkan aku dan mama untuk lebih berhati-hati saat menghadapi Farel. Peralihan dari SMP ke SMA memang masa-masa yang rentan katanya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.