AGS ARYA DIPAYANA

Waktu kuliah, saya punya temen, namanya Ags Arya Dipayana. Dia biasa dipanggil dengan sebutan Mas Adji. Saya sendiri biasa manggil dia dengan sebutan Agung. Nah, ada sejarahnya kenapa saya manggil dia begitu.
Jadi gini ceritanya. Sebelum kuliah, saya udah denger kalo di Sastra Perancis itu situasinya borju. Ceweknya cantik-cantik dan cowoknya dandy-dandy. Gitu gosipnya. Sementara saya orangnya slordig, eh pada tau slordig, gak? Slordig itu artinya sloppy, eh sloppy apa ya bahasa Indonesianya? Cuek? Serampangan? Bodo, ah....Hehehehehe...
Hari pertama kuliah, saya sengaja dateng agak pagian. Duduk merokok di depan ruang kuliah sambil mengamati setiap yang datang. Wah, bener, loh, ceweknya cantik-cantik semua. Gayanya rata2 stylish. Beberapa di antaranya sepertinya dandan kayak ke pesta...padahal cuma ke kampus.
"Maap, Mas. Boleh pinjem koreknya?" Tiba-tiba seorang laki-laki menyapa.
"Boleh, dong," sahut saya sambil nyodorin lighter ke orang tadi.
Saat dia menyalakan rokok, saya mengamati orang tersebut lekat-lekat. Rambutnya berantakan cenderung kribo. Entah berapa purnama orang ini gak pernah keramas. Bukan hanya kutu tapi kecoak mungkin juga bisa bersarang di sana.
Dia memakai baju kotak-kotak coklat yang sudah lusuh. Entah gak sempet disetrika atau memang dia belum mandi dan bajunya sudah dipakai tidur sejak kemarin malam.
Celana jeansnya sudah buras, sepertinya sudah beberapa bulan gak pernah dicuci. Minimal ada 3 bolong yang sempat saya temukan di sana. Dan kakinya memakai sendal jepit yang sudah tergolong lansia.
'Ini orang kalo bukan tukang kebon pasti OB di kampus ini,' saya mencoba menganalisa berdasarkan semiotika.
"Makasih, Mas," kata orang itu lagi sambil mengembalikan lighter.
Yang bikin aneh, tukang kebon ini bukannya pergi eh dia malahan duduk di sebelah saya. Lalu tanpa sungkan dia nanya lagi, "Tahun ini berapa cowoknya di angkatan kita?"
"Angkatan kita? Maksudnya?" tanya saya kebingungan.
"Sastra Perancis itu selalu dikit cowoknya. Nah, tahun ini ada berapa kecuali kita?"
"Kecuali kita? Emang elo Sasra Perancis juga" tanya saya makin bingung.
"Iya. Emang Mas pikir saya siapa?" tanyanya.
"Oh, maap. Gue pikir eh gue kira....elo dosen." kata saya sekenanya sambil menatap sendal jepitnya.
"Kumis dan jenggot saya memang membuat saya keliatan lebih tua," katanya tersenyum. Nah, akhirnya saya menemukan hal baik pertama darinya; senyumnya sangat menyejukkan.
Belum sempat berkenalan nama, tau-tau dosen udah dateng. Semua mahasiswa berebutan masuk ke dalam kelas mencari tempat duduk yang mereka anggap strategis.
"Sebelum kuliah dimulai, coba tolong bacain absen dulu, "kata Sang Dosen menoleh ke arah saya, "Iya kamu yang cowok. Tolong absenin yang keras ya."
"Okay, Mbak," sahut saya berjalan ke depan kelas mengambil lembaran absen.
"Jangan panggil saya 'Mbak' panggil saya 'Madame'...."tukas Si Dosen lagi.
Madame? Tsaaaah...Madame kebakaran kaleeee!!! Dengan suara keras saya memanggil semua nama di atas kertas tersebut. Semua nama disusun menurut abjad. Di mulai dari huruf A. Di baris ketiga, saya meneriakkan sebuah nama, "Agung Setiadji Arya Dipayana!"
Dan 'Si Tukang Kebon" mengangkat tangannya tinggi-tinggi diiringi dengan senyumnya yang menyejukkan tadi. Saya membalas senyum itu dan semakin menyukainya. "OK, nama lo Agung, ya. Nama Agung bagus banget. Artinya 'Besar'.
Sejak hari itu, kami pun bersahabat. Kembali saya menemukan banyak kebaikan dari dirinya. Ternyata Agung adalah penyair, penulis cerpen dan sering menulis di Majalah HAI. Dia juga punya program sandiwara di TVRI namanya Kiki dan Komplotannya. Belakangan dia menjadi sutradara di kelompok Teater Tetas yang dia dirikan sendiri.
Karena hubungan kami udah deket, saya coba nasihatin dia, "Gung, lo pake sapatu dong. Gak asyik banget ngeliat lo nyendal jepit gitu."
"Gue gak tega memenjarakan kaki gue sendiri, Bud. Biarkan mereka bebas menyapa matahari, bercengkerama dengan udara."
Saya cuma bisa garuk-garuk pala mendengar kalimatnya. Ya, gitu, deh, jawaban seniman. Dan, lucunya, suatu hari Agung mendirikan group musik akustik dan dia mengajak saya untuk bergabung karena mereka membutuhkan pemain ukulele. Saya menerima tawarannya.
"OK, nama goup kita "Sendal Jepit Group'. Jadi semua harus memakai sendal jepit. Termasuk elo, Bud." kata Agung lagi.
Saya tersenyum mengiyakan. Apa susahnya pake sendal jepit doang. Abis manggung kan bisa ganti pake sepatu lagi. Dan sekali lagi saya terkagum-kagum. Lagu yang dibawakan ternyata ciptaan Agung sendiri. Salah satu yang paling saya suka adalah yang berjudul : Parjalanan. Lagunya begin:
"Wahai gembala, penunjuk jalan, menuju terang
Bawalah aku pergi, menuju padang di mana semua
dimulai, semua diakhiri. Eloi, Eloi, lama sabakhtani..."
Enak ya? Hehehehehe...
Lulus kuliah, saya ketemu lagi sama Agung. Kami sama-sama berprofesi sebagai copywriter. Dari Leo Burnett saya pindah ke Ogilvy tempat Agung bekerja. Jadi, deh, kita ngumpul lagi. Dan percaya gak? Meskipun kami bekerja di perusahaan multinasional, di gedung perkantoran mewah di lantai 16, Agung masih memakai uniform kebesarannya: Sendal Jepit butut.
"Lo masih sendal jepitan, Gung? Emang kaki lo bisa menyapa matahari dan bercengkerama dengan angin di dalem gedung?" tanya saya takjub.
"Ngomong lo udah kayak Si Alan, menyembunyikan sarkasme dalam ironi," sahutnya masih dengan senyumnya yang legendaris itu.
Alan yang dimaksud Agung adalah Alan Couldrey, Creative Advisor kami yang berasal dari Londo Inggris. Konon Alan ini memang sudah emosi sama sendal jepitnya Agung. Namun setiap kali kepergok sama Alan, Agung selalu berkilah, "Saya abis aholat. Makanya pakai sendal."
Kalo udah ngomongin soal agama, Alan gak berani macem-macem. Sebagai bule dia gak bisa bedain mana Islam yang bener dan mana yang kadrun. Ngeri juga kalo digebukin rame2 diiringi alunan suara takbir. Repot, dong. Alan mengalah karena dia tau kalo presentasi dengan klien, Agung selalu memakai sepatu.
Nah, suatu hari ada klien mau dateng ke kantor. Agung lupa kalo ada presentasi sama orang itu. Padahal materinya belom dikerjain sama sekali. Dia manggil saya minta bantuan. Berkat kerja sama yang kompak, kami berdua berhasil menyelesaikan materi presentasi itu. Alhamduuuuuu....lillaaaaaah.
Saking excitednya, Agung berlari ke ruang meeting dan tau gak? Dia lupa memakai sepatunya. Jadi, deh dia presentasi di depan klien dengan sendal jepit. Padahal Si Alan pasti juga hadir di meeting tersebut, HAHAHAHAHA...
Lagi beres2 di kubikelnya Agung, tiba-tiba Alan nongol dan menyapa saya, "Bloody Man, what are you doing here?"
Entah kenapa dia selalu manggil saya bloody man. Saya cuma menjawab, "Nothing. And you? What are you doing here?"
"Nothing. I just want to put a note on his table," kata Alan sambil menempelkan post-it. Abis itu dia minggat tanpa permisi.
Saya melirik ke arah catatannya Alan. Di sana terbaca kalimat pendek,
"Dear Adji, I know your feet are beautiful. But I am afraid our client doesn't have the same opinion as me. Please buy shoes..."
HAHAHAHAHAHAHA....
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.