Selebriti Ndesoku....

Selebriti Ndesoku....

       Akhirnya aku sampai di kediaman Mawar. Ya, aku melalukan perjalanan panjang ke sudut kecil di lereng gunung Slamet, untuk mengantar Mawar ke peristirahatan terakhir. Mawar teman SMA ku meninggal dunia karena kanker paru paru. Aku cuma bisa menatap dari jauh ketika jasadmu dikubur beserta tangis anak-anakmu.

       Kepergian Mawar membangkitkan kenangan beberapa tahun yang lalu. Kisahnya kubagi disini:

 

       Tiba tiba tadi sore ada dering telepon dari nomor yang tidak kukenal. Biasanya males mengangkat telepon di hari kerja dari orang yang tak kukenal. Ah palingan nawarin kartu kredit atau asuransi. Tapi hari ini lain.

       Ya, telepon dari seseorang yang membangkitkan memori masa laluku. Mawar yang selama ini hilang dari tempolong kepalaku.

       Selebriti dari ndesa, begitu sosok Mawar muda adalah gadis cantik anak pejabat kaya di kota kelahiranku. Paket lengkap, cantik, kaya dan rajin sholat. Surga mana yang kau dustakan? Parasnya ayu mirip artis Issabella Adjani. Tubuhnya ranum indah seperti taman ayodya di cerita Mahabarata. Auranya memancarkan rona bercahaya. Maka jangan salahkan jika aku adalah salah satu secret admirer si Mawar. Aku yang saat itu sering berkhayal menjadi ayah bagi anak anakmu. Ah, rasanya seperti mimpi, seperti pungguk yang menatap bulan.

       Mawar menelepon dengan suara melankolis; bercerita tentang hari harinya. Tentang keluarganya, tentang sakit paru paru yang diidapnya. Tentang kondisinya. Tentang perjalanan hidupnya. Berkabar dalam gelak, terkadang isak, Mawar bertutur tentang 28 tahun tak berkabar di jagat raya medsos. Mawar yang harus berjuang menghidupi keluarganya sebagai wanita penghias malam. Di ujung obrolan dia melirih:

“Mas …apakah kamu mau jadi malaikat penolongku ?”

       Pertanyaan yang absurd, penuh dengan koding dan sarat intrepetasi. Lelaki mana yang tetap defend jika seseorang yang pernah kaudamba berharap menyambung kisah masa depan. aku mencoba menguatkan diri dengan berkata:

       "Aku gak bisa Mawar. Aku senang dekat denganmu, tapi sepertinya kita harus mengakiri cerita ini, sebelum kita memulai menulis naskahnya. Semoga kau bahagia ya." Aku memberanikan diri mengakhiri hubungan dengannya.

       Sudah 3 tahun Mawar tidak berkabar denganku. 

       Perbincanganku dan hubungan singkatku dengan Mawar menyadarkanku bahwa hidup terus mengalir meskipun sepertinya baru kemarin kita melewati masa remaja. Masa berseragam abu penuh kenangan. Kita berkembang dan belajar dari apa yang telah lewat. Dan sampai disini, terkadang kita mengagumi diri kita sendiri. Bukan ini bukan suatu narsisisme yang kemudian datang setelah memutuskan sesuatu yang penting – melibatkan kenangan, rasa dan reuni disana, semuanya. Melainkan suatu kesadaran baru bahwa bagaimanapun, mekanisme kedirianku emoh ditundukkan untuk menjadi sekedar sahaya.

       Sepele, gak penting? Atau terlalu melodramatis? Ah, terserah saja. Karena semua rasa bahagia, kecewa, kesal, marah, dan lainnya nyata kurasakan pada masa lalu dan masa yang akan datang. Kenangan yang tertinggal di masa lalu menjadi penghalang kita untuk menyadari bahwa sesungguhnya hidup terus mengalir.

       Kata orang hidup mirip laju kora kora di Dufan. Swing …swing…kadang diatas, kadang dibawah…Mawar yang dulu kecantikannya dipuja puji pria se kabupaten, bak selebriti; begitu rapuhnya sekarang. Kanker paru paru akhirnya mengalahkanmu.

       Selamat jalan rembulanku itu telah pergi...

Tabik....

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.