Resensi: Aristoteles, Socrates, Plato: Sebuah Biografi
Hal praktis yang bisa didapatkan dari belajar filsafat yaitu meningkatkan kemampuan kita untuk introspeksi dan mengasah kepekaan.
Pertama kali mendengar istilah filsafat—kalo tidak salah—waktu zaman SMP. Saat itu ada kawan yang bercerita tentang novel “Dunia Sophie” yang isinya bersentuhan dengan filsafat, tapi saat itu saya belum penasaran dengan filsafat. Kemudian, memasuki dunia perkulihan saya semakin sering mendengar tentang filsafat dari abang-abangan yang sering berdiskusi di lorong-lorong sekitaran kampus. Hal tersebut memicu rasa penasaran saya terhadap disiplin ilmu yang satu ini.
Buku ini adalah buku filsafat yang pertama kali saya konsumsi, isinya cukup ringan untuk awam yang ingin memulai berkenalan dengan filsafat sebelum mendalaminya lebih jauh. Sama persis seperti judulnya, buku ini menceritakan tentang biografi dari tiga tokoh penting dalam dunia filsafat klasik. Selain itu, buku ini juga memuat tentang pokok pemikiran tiga tokoh tersebut yang dipaparkan secara sederhana dan mudah dimengerti.
Dimulai dari Socrates, sosok yang menekankan pada metode dialektika. Dialektika merupakan suatu cara untuk menemukan kebenaran dengan cara berdialog atau tanya jawab. Dalam metode dialektika, Socrates tidak menerapkan pola pembelajaran dengan cara menjelaskan, tapi dia menerapkan pola dengan melempar pertanyaan demi pertanyaan hingga sampai pada satu solusi yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pada dasarnya, dialektika merujuk pada debat dengan tujuan utamanya adalah menolak argumen lawan atau membawa lawan kepada argumen lain sehingga munculnya kontradiksi. Tujuannya yaitu supaya bisa menemukan kebenaran yang universal dan membangun suatu solusi. Berdialektika adalah suatu proses menambah pengetahuan. Sebagai manusia yang memiliki akal budi, kita harus memiliki pengetahuan, karena menurut Socrates yang membuat manusia melakukan kejahatan adalah ketidaktahuan.
Selanjutnya yaitu Plato yang merupakan murid dari Socrates. Dalam kajian pemikirannya, Plato cenderung fokus pada kajian tata negara. Hal yang membuat Plato cenderung membahas kajian tersebut yaitu karena kekecewaan dia atas sistem pemerintahan pada saat itu yang gagal dalam menegakkan keadilan sehingga mengakibatkan gurunya, Socrates, harus dihukum mati dengan minum racun. Latar belakang itulah yang memicu pemikiran Plato untuk mengkaji dan merumuskan konsep negara yang ideal. Plato menganggap bahwa dengan negara yang ideal maka keadilan akan tercipta dan akan mewujudkan kemakmuran pada Masyarakat.
Buku ini juga menjelaskan tentang cara berpikir Plato yang cenderung abstrak, idealis, dan tertarik terhadap hal-hal yang sulit dinalar oleh kebanyakan orang, contohnya yaitu pemikirannya tentang dunia ide. Plato percaya bahwa terdapat sebuah dunia di mana kebenaran sejati dapat ditemukan dan bersifat abadi, itulah yang dimaksud oleh Plato tentang dunia ide.
Dan yang terakhir yakni Aristoteles yang merupakan murid dari Plato. Namun, meskipun dia anak didiknya Plato, tapi ada beberapa pemikiran yang justru bersebrangan dari gurunya, salah satunya yaitu tentang dunia realitas. Plato cenderung berpikir abstrak dan idealis, sedangkan Aristoteles memiliki cara berpikir yang pragmatis dan solutif. Contohnya adalah mengamati permasalahan sehari-hari yang tertangkap oleh indra manusia, itulah yang dimaksud dunia realitas oleh Aristoteles.
Dia dikenal sebagai filsuf yang memiliki kemampuan berpikir secara sistematis yang mana hal tersebut menjadi kekuatan dalam ajarannya. Kemampuan tersebut sangat berguna dalam menyelesaikan permasalahan sehari-hari sampai permasalahan bernegara. Hal tersebut dipaparkan juga dalam buku ini, karena perihal keluarga dan perihal negara itu merupakan satu kesatuan yang saling terhubung. Maksudnya gimana? Jadi, menurut Aristoteles keluarga adalah perluasan dari individu, desa adalah perluasan dari keluarga, kecamatan adalah perluasan dari desa, dan seterusnya, hingga mencapai tingkat negara. Di sini negara merupakan perluasan dari beberapa tingkatan yang tadi sudah disebutkan. Oleh karena itu, keluarga adalah hal yang sangat mendasar dalam negara.
Tingkat keluarga merupakan fondasi yang dapat membangun intelektualitas dalam bermasyarakat. Hal tersebut bisa terjadi karena keluarga adalah sekolah yang paling utama dalam membangun nilai kebaikan dalam individu. Dengan cara berpikir sistematis seperti itu maka cukup jelas bahwa antara keluarga dan negara itu memiliki benang merah. Itulah ciri khas dari Aristoteles, pola pikir yang sistematis dan solutif bisa membantu kita dalam merunutkan masalah sehingga bisa mendeteksi celah kesalahannya.
Kurang lebihnya itulah beberapa gagasan dari tiga filsuf klasik yang bisa saya rangkum dari buku ini. Tentunya gagasan tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekian banyaknya gagasan yang tercantum di buku ini maupun di buku yang lain. Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa hal praktis yang bisa didapatkan dari belajar filsafat yaitu meningkatkan kemampuan kita untuk introspeksi dan mengasah kepekaan.
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, buku ini cukup ringan dan mudah dipahami sehingga bisa dijadikan sebagai referensi jika ingin mendalami dunia filsafat.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.