Remaja Flexitarian

"HA? Anakmu kamu ajak vegetarian???" Mas Hari melotot ke arahku. Tak memberiku kesempatan menjelaskan, dia menghujaniku dengan entah berapa pertanyaan. Cecaran lebih tepatnya. Aku memilih diam.
Kamu tahu anak kecil perlu nutrisi yang baik? Kalo dia kurang gizi bagaimana? Kalo perkembangan fisik dan mentalnya terganggu, bagaimana? Kalo kamu yang vegetarian, terserah, tapi dia masih anak kecil! Trus dia makan apa? Kamu ngawur!!!
Akhirnya dia berhenti. Mungkin ga enak hati karena mencecarku di muka umum. Mungkin juga dia sadar bahwa itu urusan keluargaku. Atau dia ingat, bahwa aku keras kepala.
Kejadian itu berlangsung ketika anakku umur 1 atau 2 tahun. Mas Hari dan keluarganya mengajak kami makan bersama di pantai Jimbaran, tempat orang enjoy menikmati seafood di kala matahari terbenam.
Kami, maksudku adalah anakku dan aku, yang vegetarian. Lacto ovo. Lalu, kenapa tidak menolak ajakan di awal? Sudah jelas itu tempat makan seafood?
See, ada beberapa alasan. Yang paling utama adalah, aku tidak suka merepotkan orang lain. Lagian, biasanya selalu ada saja menu yang vegetarian friendly. No big deal. Lagian, aku kadang malas beragumen, meskipun sebenarnya di otakku ada rak penuh referensi ilmiah. Tinggal di-klik aja. Hahaha.
Yang orang tidak banyak tahu, sebenarnya sejak awal aku memberikan janji kepada anakku. Jika dia sudah cukup umur, dia bebas menentukan, apakah dia tetap vegetarian atau tidak.
Cukup umur itu usia berapa?
Dulu kupikir samain saja dengan batas umur mulai punya KTP. Tetapi beberapa waktu berselang, aku berpikir ulang. Aku memilih untuk mengenalkannya pada dunia sebelah.
Anakku suka berteman dan berkegiatan dengan banyak orang. Dia juga suka makan. Dia kini sudah remaja. Ada beberapa kali dia hang out sama teman-teman. Itu kegiatan yang sangat disukainya. Tentu saja tanpa induknya. Paling pol, induknya antar jemput jika diperlukan.
Ya, aku memilih jadi orang yang mengenalkannya pada makanan nonvegetarian. Why not? Lebih baik induknya yang tahu persis, daripada anaknya melakukan secara sembunyi-sembunyi.
Perlu digarisbawahi, bahwa membesarkan anak secara vegetarian itu tidak 100% lancar. Setidaknya buatku. Kalo cuman dicecar orang seperti di awal tulisan ini sih, ga masalah. Justru yang super ngeselin itu yang diam-diam ngasi makanan nonvegetarian ke anakku di balik punggungku. Beberapa kali kejadian, terutama ketika anakku masih kecil dan aku kerja kantoran. Beberapa pengasuhnya melakukannya.
Anyway, kini saatnya. Meskipun sebenarnya aku ga rela, hahaha, tapi I kept my promise.
Aku membebaskan anakku memilih, karena separuh genetik anakku dari babenya, yang justru omnivora. Hahaha. Bukan urusan omnivoranya per se, sih. Yang selama ini kuamati, yang namanya urusan makan itu erat kaitannya sama budaya.
Budaya dari garis babenya, tidak hanya urusan makan yang omnivora itu tadi. Terutama dalam urusan-urusan adat, selalu saja ada poin berbentuk hewan yang dipakai. Membaca hati ayam yang disembelih adalah salah satu ritual yang aku tahu. Menghindarinya buatku adalah mudah. Tetapi, buat anakku? Entahlah.
Setidaknya, kalau anakku memilih menjadi vegetarian atau vegan bahkan, itu adalah keputusan dia. Bukan karena induknya says so. Akan lebih fair buat dia menjalankan yang dia pilih.
"Ga enak, Ma," jawabnya ketika anakku makan ayam bakar untuk pertama kalinya. "Alot!" sambungnya. Hahaha. Ia mengunyah dan tidak menyukai tekstur daging ayam.
Kalo ada nasi berkat datang ke rumah, dulu biasa aku oper ke anak kos sebelah, atau orang lain, atau juga ke anabul, ketika masih ada. Sekarang, itu jadi bahan perkenalan anakku ke makanan nonvegetarian. Kadang aku belikan sesuatu yang kuperkirakan dia bakalan suka rasanya.
"Enak, Ma," komentarnya ketika mencicip siomay, pempek, gelatin ayam, juga krupuk ikan.
Rupanya ia menyukai makanan dari bahan hewani yang empuk, dan tidak terlihat lagi bentuk aslinya. Hahaha. Kayaknya ini gara-gara kubelikan buku tentang veganisme dari seorang penulis sekaligus ilustratornya: Ruby Roth. Anakku tidak menyelesaikan membaca buku itu, hanya skim lihat ilustrasinya. Ga tega katanya. Sepertinya itu terekam dalam pikirannya.
Foto: rase
Sekarang aku mendampingi dia jadi flexitarian. Kadang vegetarian, kadang tidak. Tidak ada jadwal atau hari khusus. Untungnya pencernaan dia baik-baik saja. Tidak seperti aku, yang selalu diare ketika terkontaminasi. Di awal, memang aku jadi ikut makan menu nonvegetarian, setidaknya cicip sebelum dia makan. Hahaha. Dasar induk yang overprotective! Akunya sakit perut, anakku baik-baik saja.
Ya wis, aku stop jadi juru cicip. Aku hanya mastiin higienitasnya saja, karena makanan nonvegetarian itu kami beli yang sudah ready. Tidak! Aku tetap tidak akan memasak menu nonvegetarian di rumah.
Yang kulakukan, adalah selalu memberikan penjelasan tentang makanan-makanan itu. Asal bahannya, prosesnya, dan hal-hal yang perlu dia ketahui.
"Siomay itu termasuk dimsum, atau dumpling. Ada banyak macamnya, dan banyak negara punya versinya. Varian isinya antara lain daging ayam, udang, babi, juga sapi. Bentuknya juga macam-macam."
Kurang lebih begitu.
Sebenarnya, kalo aku sih pengennya dia jadi vegan. Supaya aku juga bisa mendorong diriku jadi vegan. Kesulitan terbesarku ketika pengen vegan adalah soal lempar sandal ke kecoak, atau men-smash nyamuk dengan mosquito hitting swatter (ini tertulis di tangkai raket - baru tahu). Kalo anakku jadi vegan buddy, kayaknya bakalan lancar. Hehe. Alasan banget, ya?
Begitulah. Anakku sementara flexitarian supaya nantinya dia bisa menentukan, apakah lanjut vegetarian bahkan vegan, atau sebaliknya. Her choice. Bukan suruhan induknya.
Cinta itu membebaskan, kata orang bijak. Meskipun sulit, itu yang sedang kulakukan. Mendampingi anakku untuk nantinya dia bisa menentukan pilihannya. (rase)
Selamat Hari Anak Nasional 23 Juli 2021
PS: mungkin sudah ada yang bisa menebak, aku sejak lama menyisipkan pesan sponsor di anakku: dogs are friends, not food.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.