Diselamatkan Pak Otti di Gunung Salak

Eulogi untuk almarhum dosenku, Prof. Dr. Mundardjito, Bapak Arkeologi Moderen Indonesia, yang akrab dipanggil Pak Otti. Beliau berpulang pada 2 Juli 2021, jam 12.40.

Diselamatkan Pak Otti di Gunung Salak
Foto koleksi Anton Rex Montol – praktek penggalian jurusan arkeologi FSUI di Komplek Candi Sewu, DI Yogyakarta. Anno 1981. Pak Otti di ujung sebelah kiri, menghadap kamera.
 
"Nanti bikin film judulnya ‘Nunun Terjerat Tali Sendiri’," kata Pak Otti dengan wajah jahilnya yang khas.
 
Sementara, yang namanya Nunun hanya nyengir-nyengir polos. Sebab musabab kenapa Pak Otti berkomentar demikian adalah, karena Nunun selalu berkalungkan tali. Tak berhenti di situ, pada tali itu selalu tersangkut pena (lebih dari satu), pensil (lebih dari satu juga), setip, penggaris 30 cm, stepler, dan entah apa lagi. Pokoknya, alat tulis apapun yang bisa kita temukan di sebuah meja tulis, bisa kita temukan juga pada tali yang bergelantungan di leher Nunun.
 
Kejadiannya berlangsung pada pertengahan 1981. Waktu itu, anak-anak arkeologi angkatan 1980 sedang praktek lapangan (penggalian) di Kompleks Candi Sewu, DI Yogyakarta. Untungnya, Nunun tak sekalian menyangkutkan rol meter, petel dan cetok, tiga 'senjata' para penggali. Tali yang dipakai Nunun itu adalah tali kasur yang juga dipakai untuk menandai kotak galian. Pun, Nunun juga tak membawa kalung wasiatnya itu ke kotak galian. Hanya dikenakannya di luar kotak. Sejak sore setelah kami mandi dan bersih-bersih, sampai malam hari saat kami harus membuat laporan harian. Tidur ya dilepas juga, tentunya. Namun, itu sudah cukup untuk membuat Pak Otti terkesan sampai keluar isengnya.
 
Ucapan Pak Otti itu, lengkap dengan raut wajah beliau yang jahilnya khas, sangat terpantek di memori dalam kepala saya meski masa sudah berlalu sekian dekade lamanya. Kenang-kenangan yang sangat menyenangkan hati. Ketika kabar mangkatnya Pak Otti merebak, cerita itu langsung saya bicarakan di grup WA angkatan kami. Nunun, yang heran karena saya masih ingat, lalu mengingatkan saya pada satu cerita lain. Pada saat penggalian itu rupanya gigi saya sakit. Pak Otti ditemani Nunun pun mengantar saya ke dokter dengan mobil. Namun, entah kenapa, kami batal ke dokter gigi tujuan. Malah berbelok ke sebuah restoran ayam goreng yang terkenalnya sampai ke Jakarta. Makan enak ditraktir Pak Otti deh.
 
Masih pada saat penggalian itu juga, Pak Otti telah memberi pengetahuan dan makna baru akan singkatan BBC. Sebelumnya, saya mengenal BBC sebagai singkatan dari British Broadcasting Corporation. Dari Pak Otti saya mendapat pengertian lain, yaitu Bamboo Banana Coconut. Tercengang juga saya mendengar penjelasan Pak Otti tentang itu. Terkagum-kagum sih tepatnya. Koq bisa ya sampai ke sana. Dalam pemahaman saya—maafkan kalau ternyata salah—BBC-nya Pak Otti merupakan ciri-ciri atau tanda-tanda akan keberadaan pemukiman manusia.
 
“Kalau ada tiga jenis tumbuhan itu, atau bahkan satu saja, berarti di dekatnya ada pemukiman manusia. Apalagi kalau ada aliran sungai,” demikian kira-kira ingatan saya atas apa yang dikatakan Pak Otti di pertengahan 1981 tersebut.
 
Kira-kira setahun setelah penggalian tersebut, saya dan teman-teman saya pergi mendaki Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat. Saat turun dari gunung itu, entah bagaimana, saya terpisah dari rombongan. Sendirian pula. Panik, tentu saja, terlebih karena saya sangat lemah dalam membaca tanda-tanda arah, bahkan bisa terbalik-balik. Saya tak juga memegang peta dan kompas (kalau pun pegang, saya rasa tak guna juga karena buruknya pemahaman saya akan arah hahaha...).
 
Rasa panik semakin menohok, tapi lalu tiba-tiba saya ingat rumus BBC-nya Pak Otti. Maka, mulailah saya mencari unsur-unsur BBC tersebut di sekitar saya. Dengan berpegang pada kenyataan bahwa kontur tanah atau dataran yang saya tapaki menurun terus, saya berharap akan segera menemukan BBC-nya Pak Otti dan sekaligus pemukiman di kaki gunung.
 
Ah, benar saja! Saya mulai menemukan rumpun-rumpun bambu. Semangat kembali membara, harapan semakin membesar. Saya terus turun menerabas semak—jalan setapak sudah lama hilang. Tak lama, rumpun-rumpun pisang mulai terlihat juga. Semangat semakin besar. Dan, kemudian rumah-rumah penduduk pun terlihat. Senangnya! Atas petunjuk penduduk setempat, saya tiba di jalan aspal yang cukup ramai dan dilewati oleh banyak angkot. Saya naik salah satu angkot yang rutenya melewati daerah tempat kami harus berkumpul. Beruntung sekali! Satu jam lamanya perjalanan saya dengan angkot itu. Rupanya, cukup jauh juga saya tersasar, melambung jauh dari titik yang seharusnya.
 
Rasanya seperti diselamatkan oleh Pak Otti. Ah, bukan! Saya benar-benar telah diselamatkan dari gunung itu oleh Pak Otti. Benar-benar saya bersyukur. Saya tak ingat, apakah saya pernah melaporkan peristiwa tersebut kepada beliau atau tidak. Atau, apakah saya pernah mengucapkan terima kasih atas ‘pertolongan’ beliau tersbut. Kalau belum, semoga Bapak mendengarnya lewat doa-doa saya untuk Bapak ya, Pak. Al fateha…
 
Harus diakui bahwa saya tidak benar-benar dekat dengan Pak Otti. Selain menjadi muridnya di mata kuliah Metodologi Arkeologi serta saat praktek penggalian, saya tak mengikuti kuliah-kuliah beliau lainnya. Baik di kelas, mau pun di lapangan. Dosen pembimbing skripsi saya juga bukan Pak Otti, melainkan murid beliau, almarhum Mas Ronny. Karena itu, saya yakin bahwa setelah saya lulus beliau pasti sudah tak ingat lagi siapa saya. Tapi, saya sangat salah! Bahkan, Pak Otti selalu menyapa duluan, di saat saya baru saja hendak membuka mulut untuk menyebut nama beliau.    =^.^=
(Nina Masjhur – 0780030184)
 
[Tulisan ini diterbitkan dalam buku Pak Otti dalam Kenangan (Kumpulan Tulisan), 2021, halaman 117)
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.