PILIHAN DAN HARAPAN

PILIHAN DAN HARAPAN

Siapa mengira, jika kepulanganku ke rumah setelah tiga tahun di negeri orang berakhir dalam suatu perjodohan yang tak pernah kusangkakan. Aku tak pernah mengira, jika gadis yang telah lama kuinginkan, akhirnya akan kudapatkan. Mungkin baginya, ini akan menjadi perjodohan biasa saja dan mungkin saja menyebalkan. Namun, bagiku tidak. Karena tanpa sepengetahuannya, dia sudah singgah di hati berpuluh tahun lamanya. 

Dia memang tomboi. Gadis tak biasa, tapi menarik hati, bagiku. Tak ada sikap kewanitaan di dirinya, membuat ibuku sebenarnya sedikit tak ikhlas jika aku jadi mempersuntingnya. Mata sipit dengan rambut panjang dan gaya lonjak-lonjakan serta sangat cuek sering membuatku senyum-senyum sendiri jika memperhatikannya dari kejauhan. Ya, dia Sukma. Gadis desa sebelah yang sering bebarengan di mikrolet saat pulang sekolah dulu. Sekarang, katanya, dia sukses menjadi seorang sarjana Teknik. 

Bayangkan! Seorang wanita dan sarjana Teknik. Dia tentunya bisa merakit bom dan semacamnya. Fisik mungkin wanita, tapi otaknya lebih memakai logika daripada perasaan. Dan entah kenapa itu membuatku semakin tergila-gila. 

Perjodohan akhirnya berlanjut. Aku berhasil menikahinya dan perjalanan kami dimulai. 

Sudah 10 tahun lamanya, dia belum juga hamil dari benihku. Padahal tak hentinya aku berusaha sebaik mungkin menjaga stamina, baik di ranjang maupun di luar. Agar bisa segera mendapat keturunan dengannya. Sebagai laki-laki normal tentu sangat membahagiakan jika ada benih bertumbuh pada wanita yang dicintai. Namun, sepertinya berbeda dengan yang dirasakan istriku. Sukma tak terlihat mendambakan hal itu. Dia tak pernah terlihat murung, bersedih bahkan menangis. Agar kami berusaha lebih. Suara sumbang dari keluarga dan handai tolan terus membombardir kami dengan kata-kata tajam yang menyakitkan.  Namun, dia masih terlihat tegar.  

“Kamu periksa berdua deh, kayaknya kalian gak normal,” kata mereka. 

“Makanya, cari istri yang cewek beneran. Dia sudah terpapar radiasi kali. Siapa tahu kan? Makanya mandul.” timpal yang lain dengan tawa terkikik, entah bagian mana yang menurut mereka lucu.  

“Kamu kenapa gak periksa dulu sebelum nikah sama dia? Iya kalau kamu, gimana kalau istrimu sendiri yang bermasalah? pisah aja gimana? atau cari istri lagi? Laki-laki kan boleh beristri lebih dari satu.” cecar yang lain, tak kalah berempati.  

Hanya ucapan istighfar yang selalu hati ini sebut jika kata-kata panas itu menghujam dalam dada. Sejujurnya aku bisa saja terluka, karena bagaimanapun, aku juga terlibat.  Namun, wajah datar dari Sukma, membuat hati ini bertahan. Dia saja yang wanita terlihat kuat,  tentu diri ini sebagai pria harus lebih kuat. Karena firasatku mengatakan, jauh di dalam dirinya, juga sama rapuhnya seperti yang kurasakan.  

“Sesungguhnya Allah bersama prasangka hambaNya.” Begitulah sabda Rasulullah SAW yang kudengar dari pengajian yang selalu kuikuti setiap minggunya. 

Ya, aku harus tawakal, terus berprasangka baik, dan berjuang. Demi seorang anak yang tawa tangisnya begitu kuimpikan. Hingga datanglah hari yang tak pernah terkira, menjadi hari di mana firasatku memang tak salah tentang Sukma. Wanita tomboi itu ternyata juga memiliki naluri yang sama untuk menjadi seorang ibu. 

Saat itu, hujan sangat lebat, kilat menyambar diiringi dengan suara keras dari rintikan air dan suara di langit. Berpadu menyatu. Menggelegar. Memekakkan telinga bagi siapa saja yang masih berani di luar rumah. Ada seorang Bidan tiba-tiba datang memasuki halaman rumah. Namun, ternyata dia tidak datang secara tiba-tiba. Dia datang karena sebuah permintaan besar dari seorang Sukma--istriku sendiri yang tak pernah kusangka ternyata dia memang segila itu.


“Maaf Bu Sukma, ini adalah bayi laki-laki yang sehat dan normal. Orang tua bayi ini tidak menginginkan kehadirannya. Saya kasihan padanya. Oleh sebab itu, saya bertekad membawa bayi ini untuk menyerahkan pada Bu Sukma sesuai permintaan Ibu kala itu. Sehingga, meski kondisi cuaca seperti ini, saya gigih menggendongnya agar bisa leluasa menyerahkannya pada Bu Sukma tanpa ada yang mengetahui. Hanya kita, dan Allah yang tahu. Insyaallah. Semoga saya tidak salah memilih seorang ibu untuk bayi ini, karena saya yakin Bu Sukma adalah wanita baik yang amanah,” tutur Bu Bidan dengan gigi gemeletuk tapi terdengar tulus itu.

Jas hujan bewarna hitam yang membalut tubuh Bu Bidan, menjadi saksi bisu akan adanya bayi di baliknya. Bayi itu dibungkus rapat dalam gendongan selimut tebal yang hangat. Meski wajahnya sedikit mendapat tetesan air hujan dari lubang-lubang jahitan gendongan yang melilitnya, tetap saja si bayi tak terusik ketenangannya untuk tertidur pulas dalam balutan. 

Masyaallah. Aku terpaku. Bayi yang kini ada pada pangkuan istriku, menggeliat. Dia terlihat nyaman dan pulas. Pipi gembulnya yang merona dan bibir merahnya yang ranum, membuat hati ini berdesir. Dadaku tiba-tiba terasa nyeri, ingin segera menangkupnya, memilikinya. Sukma menatapku dengan sendu. Wajah yang selama ini jarang menunjukkan emosi, sekarang beradu cantik dengan air mata yang mengalir pasrah di pipinya itu. Matanya masih menatapku dengan syahdu. Serasa berharap, aku memberikan anggukan sebagai pertanda juga setuju dengan apa yang dia pikirkan. 

Kilatan cahaya di matanya, memberi semangat berbeda dalam diri. Sebagai imam, aku akan membawa kemanapun yang terbaik untuk wanitaku. Meski terasa berat di depan. Namun, melihat bayi mungil yang masih terbungkus selimut itu memberi secercah harapan. Bahwa aku tak salah memilih Sukma. Semua akan baik-baik saja. Kami akan baik-baik saja.  

“Terimakasih Bu Bidan, kami menerimanya. Semoga bayi ini membawa kebarokahan dalam keluarga kami dan kami akan menjaganya sama seperti terlahir dari tubuh ini.” 

Suara Sukma memecah keheningan dalam suasana yang pilu. 

Mata yang basah akan tetesan air hujan pada tepi jilbab bidan desa itu bersirobok menatapku dan Sukma. Bergantian. Terlihat bulir air mata yang akan jatuh pada pipinya. Seulas senyum di bibirnya, mengungkapkan terimakasih yang amat besar atas kerelaanku dan Sukma menerima bayi itu. 

Hari demi hari kulalui dengan gembira. Akhirnya aku menjadi seorang ayah. Hadirnya Indra—nama bayi ini, membawa suasana yang berbeda. Meski ibuku sempat tak menyetujui keberadaan Indra. Namun, lama kelamaan, beliau juga dapat menyayanginya sama seperti cucu sedarahnya yang lain. Indra tumbuh menjadi anak yang menggemaskan dengan kepintaran yang mumpuni. 

Mungkin, inilah yang dinamakan takdir. Tak pernah kukira perjalananku menerima perjodohan dari seorang gadis yang sudah kusukai jauh di masa lalu akan berjalan serumit ini. Meski jalan terjal berliku mewarnai perjalanan kami. Namun, aku tetap tak menyesal akan pilihanku pada Sukma. Toh pada akhirnya, dunia tak akan mengira. Jika anak laki-laki dengan mata sipit dan lesung pipit itu adalah anak angkat kami? Karena nyatanya, kulit, bentuk wajah dan kacamata yang menempel di matanya, membuat siapapun merasakan kemiripan dengan wanita yang kupilih menjadi istriku.

Jika suatu hati nanti, bayi itu mengetahui yang sebenarnya, biarlah itu menjadi tikungan terjal dari perjalanan indah kami yang selanjutnya. Karena bagaimanapun, akhirnya aku mengerti. Sukma pun tak pernah berharap hal ini terjadi dalam hidupnya. Dan aku juga tak menyesal karena sudah memilihnya sampai waktuku berhenti dengan sendirinya.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.