Sakti
Cerita fiktif ini terinspirasi dari kesaksian seorang mantan dukun yang sudah bertobat.

Jam 11 siang, ruangan itu sudah penuh dengan pasien.
Kebanyakan dari mereka sudah menunggu sejak subuh.
Walaupun pintu belum dibuka, mereka rela menunggu diluar.
Pasien masih terus berdatangan, banyak yang tidak kebagian duduk dan berdiri di depan rumah. Antriannya panjang hingga memenuhi lorong jalan.
Pasien berikutnya dipanggil masuk.
“Mbah, saya jatuh cinta. Tapi selalu ditolak. Saya sakit hati mbah.
Gimana caranya supaya dia suka sama saya mbah?” kata pemuda itu.
Sakti mengambil sebuah botol kecil dan memberikannya pada pemuda itu.
“Nih, pake ini seperti minyak wangi. Dijamin dia pasti jatuh cinta sama kamu!”
“Terima kasih mbah, berapa harganya mbah?”
“Serelanya saja.” kata Sakti.
Sakti tidak mematok harga. Tapi semua pasiennya sudah tahu. Paling sedikit satu juta. Kalau kurang dari satu juga, lain kali akan ditolak masuk oleh petugas.
Pemuda itu menyodorkan sebuah amplop.
“Botolnya kecil sekali mbah, kalau sudah habis gimana?”
“Kalau sudah habis ya datang lagi ke sini!” kata Sakti.
“O iya mbah, maaf saya pertanyaan saya bodoh. Terima kasih mbah, Saya pamit dulu ya.” Pemuda itu segera keluar.
Sakti berusaha agar tiap pasien dilayani dengan cepat. Karena antian selalu panjang.”
Petugas membawa pasien berikutnya.
“Pagi dek, begini….” kata pasien itu.
“Panggil mbah! Kamu Pasien baru ya?” kata petugas menegur pasien itu.
Pasien itu terlihat bingung sejenak. Karena Sakti masih bocah, tapi disuruh dipanggil Mbah.
“Oh maaf, Mbah” katanya.
Sakti masih berumur 10 tahun. Tapi kesaktiannya tidak kalah dengan dukun dukun lain yang sudah Tua. Dia sudah berguru pada kakeknya sendiri sejak berusia 7 tahun.
Kakek nya adalah dukun terkenal di kota mereka. Kakek sudah berumur 88 tahun. Tapi tidak bisa meninggal bila belum menurunkan Ilmunya.
Diantara 10 anaknya dan 60 cucunya. Cuma Sakti yang memenuhi syarat. Karena cuma Sakti yang lahir pada satu pahing, angka keramat.
Jadi walaupun baru 7 tahun Sakti sudah dilatih keras oleh kakeknya.
Bertapa di hutan, tidak makan berbulan bulan.
Kakeknya mengisi Sakti dengan beberapa roh penjaga.
Diantaranya roh Mbah Agung yang sudah berusia beberapa abad.
Makanya semua pasien diminta memanggil bocah itu dengan sebutan Mbah. Untuk menghormati Mbah Agung yang menghuni raga Sakti.
“Mbah ada yang mencuri kotak perhiasan saya mbah, saya mau tahu siapa pencurinya.” kata pasien itu.
Sakti memejamkan matanya dan membaca mantra.
Dilihatnya di bola kristal dengan jelas seperti menonton film.
Seseorang mengambil perhiasan itu.
“Yang ngambil tetangga kamu, namanya Joko” kata Sakti.
“Sudah saya duga, saya memang curiga, soalnya dia sering main kerumah saya.” kata pasien itu.
“Terima kasih mbah!” pasien itu menyelipkan sejumlah uang dan keluar.
Pasien berikutnya seorang pengusaha kaya yang sudah menjadi langganan Sakti. Dia selalu meminta Sakti memajukan usahanya dan membangkrutkan saingan saingan bisnisnya.
Pasien setelah itu seorang pemilik restaurant.
“Ini gantung centong merah ini di dekat kuali tempat masak, jangan pernah dicuci dan jangan pernah dipindah!” kata Sakti.
“Saya akan kirim jin-jin ke restaurant kamu, biar mereka bisa meludahi makanan. Dijamin pelanggan akan ketagihan makan di restaurant kamu.” kata Sakti.
Jam menunjukkan pukul 12. Sakti sudah lapar.
Sakti memberi kode kepada Petugas.
“Sudah cukup untuk hari ini, Besok bisa datang lagi!” kata petugas pada para pasien.
Terdengar keluhan para pasien yang sudah antri lama. Tapi mereka patuh membubarkan diri dengan tertib.
Sakti memang cuma mau praktek dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang saja.
Dalam 3 jam saja, dia sudah menghasilkan banyak uang.
Minimal 100 juta sehari.
Karena masih kecil, Sakti masih ingin bermain main. Tidak ingin bekerja seharian.
Sakti makan siang bersama Neneknya. Kakeknya sudah meninggal beberapa bulan lalu. Begitu pula kedua orang tuanya.
“Enak pecel lelenya Nek!” kata Sakti sambil menikmati makanan kesayangannya.
Tapi Neneknya tidak menjawab. Nampaknya termenung sedang sedih.
“Kenapa Nek, kok bengong aja?” tanya Sakti.
“Mobil Nenek yang hadiah dari kamu itu hilang!” kata Neneknya.
“Tenang Nek, nanti Sakti cari siapa pencurinya!” kata Sakti.
“Jangan jangan, nggak usah, biar nenek lapor Polisi aja” kata neneknya.
“Kenapa nek?, Kan nenek tahu saya bisa ngeliat, buat apa lapor Polisi?” tanya Sakti.
“Bayarannya nanti lebih mahal!” kata nenek.
“Nenek tahu semua ilmu kakekmu itu bayarannya mahal.
Kalau kamu melihat siapa pencurinya dengan bantuan Jin. Nanti Jin itu minta bayaran nyawa dari salah satu keluarga kita.” kata Nenek.
“Makanya nenek nggak pernah minta harta dari Jin. Walaupun Nenek tahu Jin-Jin milik Kakekmu bisa memberikan harta berlimpah. Pasien-pasien Kakekmu banyak yang kaya raya, bahkan ada yang konglomerat.” kata Nenek.
“Karena semua harta yang diberikan Jin itu sebetulnya hanya harta pinjaman, dari anak cucu kita yang belum lahir. Kita jadi kaya raya, tapi nanti anak cucu kita miskin. Nenek nggak mau membuat anak cucuku miskin.” kata Nenek.
“Ayo cepat dihabiskan makannya, Nenek mau pergi ke Kantor Polisi!” kata nenek.
“Tapi Polisi di dekat rumah kita juga pasien langganan saya Nek. Mereka suka nanya kasus pencurian ke sini!” kata Sakti.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.