Komunikasi ‘Terlalu Sayang’, Membuat Laki-Laki Gagal Jadi Petarung Kehidupan

Komunikasi ‘Terlalu Sayang’, Membuat Laki-Laki Gagal Jadi Petarung Kehidupan

Kasih sayang yang berlebihan bisa membunuh kemandirian seorang anak

Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan Ia belajar berkelahi

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan Ia belajar rendah diri

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan Ia belajar menyesali diri

(Dorothea Low Nolte –Anak Belajar dari Kehidupan)

 

                Seperti apakah pendidikan orangtua padamu, dulu di masa kecil? Galak, ringan tangan memukul, cerewet, membiarkan dirimu semau-maunya atau mengekang seketat-ketatnya?

Selagi kalian berpikir untuk menjawabnya, saya ingin mengisahkan diri saya sendiri. Saya adalah bungsu dari lima bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Karena saudara saya banyak, tiap kali melakukan sesuatu, kakak selalu membantu. Sebagai anak kecil, rasa ingin tahu saya cukup tinggi, namun semua berakhir dengan kata-kata ibu, “Jangan, ini tidak boleh” atau “Itu tidak boleh”

 

Hidup Selalu Dilayani

Makin beranjak besar, hak saya untuk melakukan apa yang sesuai dengan bakat dan keinginan saya, tetapi lagi-lagi ibu mengatakan “Kamu ikut kakakmu saja, berlatih Taekwondo” padahal saya enjoy banget sama teman-teman untuk bermain sepakbola.

Makin beranjak besar lagi, pilihan-pilihan untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak saya, masih merupakan hal tabu. Saat ke toko membeli sepatu, semua ‘restu’ harus seizin kakak saya. Dalam arti kalau saya naksir sepatu berwarna merah, tetapi kakak saya bilang itu jelek dan Ia memilihkan sepatu yang berwarna biru, tapi saya tidak suka, maka itu tetap menjadi keputusan yang harus saya terima.

Seharusnya saya senang, saya memiliki kakak-kakak yang perhatian, selalu mengurus kehidupan saya. Tak perlu menjadi anak raja atau anak orang kaya jika kita punya saudara yang selalu menyeterikakan baju, mengelap sepatu hingga menyuapi. Cukup jika saya punya saudara yang banyak dan perhatian pada saya. Apalagi saya bungsu, termuda yang sekaligus terlemah dan butuh pertolongan dalam segala hal. Namun saudara-saudaraku tak menyadari, seharusnya saya sudah tumbuh semakin kuat dan seharusnya mengurangi sedikit demi sedikit ketergantungan dari orang lain demi kehidupan mandiri di masa mendatang.

                Keinginan untuk melepaskan diri dari ketergantungan itu datang seiring dengan naluri, bahwa saya bukan anak kecil lagi yang harus tergantung dengan kakak-kakak saya, tetapi tiap kali hendak melakukan sesuatu, suara ibu yang mendahului, “Eh jangan nanti kotor” atau “Eh nggak usah deh nanti tanganmu kena pisau, minta tolong kakakmu saja ya”

 

Menjerumuskan Tanpa Sadar

                Kecerewetan itu nampaknya bagus, seluruh saran dan anjurannya agar saya menahan diri untuk tidak berinisiatif melakukan sesuatu membuat hidup saya selalu terlayani, tetapi kelak akan menjadi mimpi buruk ketika kelak saya beristri dan tiba-tiba harus mengatsi masalah-masalah dalam rumah tangga yang sungguh sepele, namun karena saya tidak punya pengalaman dan belajar, jadilah saya tidak mampu melakukannya.

                Jika di masa kecil kalian tidak boleh hujan-hujanan, tidak boleh main pasir, kemana-mana harus pakai sandal, tidak boleh megang palu dengan segenap akibat yang bisa ditimbulkan, tidak boleh main sama anak tetangga yang nakal, itu artinya orangtua anda sangat perhatian, protektif lebih tepatnya. Mungkin juga karena orangtua terlalu sayang pada kita, sehingga seujung rambutpun tidak boleh tersentuh bahaya. Nampaknya itu baik, walau sebetulnya mereka sesungguhnya tengah menggali lubang kubur anaknya sendiri dari ketidakmampuan melakukan hal-hal yang seharusnya mudah dilakukan, tetapi karena anak tak memiliki kemampuan, Ia pun tak sanggup mengatasinya.

                Padahal kelak, anak-anak itu akan menghadapi masalah yang lebih besar, yang tidak mungkin teratasi jika kita tidak belajar dari masalah-masalah yang ringan terlebih dulu.

                Anak-anak yang terlalu dimanja orangtuanya sama buruknya dengan anak-anak yang setiap hari dicaci maki, dihajar habis-habisan oleh orangtuanya yang pemarah, atau dihina dan lain sebagainya. Dalam psikologi tingkah laku, seorang anak yang dibesarkan dalam kondisi seperti itu akan menciptakan pengalaman traumatik di masa lalu.

 

Dibesarkan Dengan Ketakutan

                Adalah JB Watson, seorang psikolog pernah mengatakan “Berikanlah aku anak yang sehat dan cerdas dan akan kudidik dengan caraku dan kujadikan seperti mauku” Apa yang diucapkan ini tidak main-main. Ia mengambil seorang anak bernama Albert untuk dididik dengan caranya—padahal Ia tengah dijadikan kelinci percobaan dari metode psikologi yang kelak menjadi penemuan besarnya. Albert yang cerdas, penyayang pada binatang diberi peliharaan seekor tikus putih, setiap kali Albert hendak menyentuh binatang itu, sebuah lonceng yang memekakkan telinga dipukul keras sekali sampai memekakkan telinga.

                Di hari berikutnyapun sama, semakin keras pukulannya, membuat Albert pada akhirnya mengingat, apa yang hendak dia lakukan pada tikus kecil akan berdampak buruk. Lama-lama setiap kali melihat tikus kecil Ia jadi jijik, bahkan pada binatang lain serupa tikus yang memiliki bulu lembut, jangankan menyentuhnya, melihatnyapun jijik karena  rasa trauma akibat pengalaman buruknya di masa lalu.

 

Kemanjaan itu Racun

                Barangkali kita memang dibesarkan dari ekonomi yang mapan, orangtua dan saudara-saudara kita sangat perhatian dan penyayang pada kita, tetapi itu sama buruknya seperti lonceng yang dibunyikan pada saat Albert hendak mengelus tikus putih kesayangannya. Jika hal itu diulang terus menerus, sampai seseorang itu dewasa, Ia akan merasa itulah rumusan hidup, selalu berlimpah, selalu senang, selalu dituruti tanpa melihat sisi perjuangan dan banyak luka didalamnya.

                Inilah kesalahan komunikasi dari orangtua terhadap anak yang perlu diperbaiki. Adakalanya seorang anak perlu survive dengan kehidupannya sendiri, biarlah Ia bereksplorasi untuk mencari pemecahan dari masalah yang dihadapinya sendiri, orangtua tinggal mengawasi dan pendampingan.

                Atau sesekali adakanlah kompetisi, “Jika nilaimu sempurna, maka kubelikan sepeda” itu contohnya dan lain sebagainya, kelak si anak akan belajar dan siap berkompetisi.

                Sebagai seorang guru, saya pernah melihat murid saya seusia SMP tidak bisa menalikan sepatunya sendiri. Anak-anak itu bukanlah anak-anak yang kurang kasih sayang, tetapi justru memberikan kasih sayang yang kebablasan selalu memberikan apa yang mereka mau tanpa usaha sama sekali.

Salah Didik

Kadang ini menjadi kesalahan orangtua sendiri, ketika si anak menginginkan mangga di atas pohon, orangtua memanjat sendiri ke atas pohon dan memberikannya pada anak. Padahal jika ingin membuat anaknya kelak jadi petarung kehidupan yang tangguh, berikanlah galah dan lihatlah usaha anak untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan galahnya. Oleh ahli parenting, itu salah didik namanya.

                Kesalahan didik ini akan berakibat fatal dan mengubah perilaku dari komunikan (orang yang menerima pesan) Jika pesan yang kita sampaikan salah, tentu akan berakibat pada perubahan perilaku yang salah pula, entah itu cara pandang, sikap, hingga perbuatan. Sedari dini orangtua harus paham segala sesuatu yang berlebihan memang tak baik, sekalipun itu kasih sayang, over protektif dan lain sebagainya. Anak harus dipahamkan juga, orangtua tidak selamanya ada, kekayaan tidak selalu berlimpah, perubahan-perubahan akan terjadi lebih cepat dari kedipan mata, dan anak-anak harus siap untuk berjuang atau menghadapi masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain.

                Tiba-tiba saya terkenang Dorothea lagi, barangkali jika Ia masih hidup di masa sekarang, Ia akan menambah satu lirik lagi puisinya yang telah diterjemahkan ke 35 bahasa itu

                “Jika anak dibesarkan dengan kemanjaan, maka Ia akan menjadi orang yang lembek dalam menghadapi kehidupan.”

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.