Kereta Api Kipas angin Sumur tua Ikan hiu Zombi Wiski

Ikan Hiu Kereta Api Sumur Tua Kipas Angin Zombi Wiski.
Otakku serasa tumpul. Om Bud memberi tugas mengarang bebas dari enam kata yang agaknya dipilih acak sedapatnya beliau. Karangan bebas adalah jenis tulisan yang tidak pernah lagi kubuat semenjak lebih dari dua puluh tiga tahun lalu, setelah terbebas dari PR pelajaran Bahasa Indonesia. Selama rentang lebih dari separuh hidupku itu, aku banyak menulis. Ada masanya aku banyak menulis untuk berbagai kegiatan, ada pula satu dekade otakku kosong dan jemariku jauh-jauh dari keyboard. Namun yang pasti, tidak ada satupun karangan bebas di antara banyak tulisan-tulisan itu.
Aku bukan penulis fiksi, kataku. Pelajaran terakhir tentang membuka ruang imajinasi, bertemu dan mengalami hal-hal imajiner adalah sesuatu yang sulit bagiku. Otakku kiri sekali, kata adikku. Bukan simulator dan kreator (yang baik). Kutambahkan sendiri dua kata itu biar tidak terlalu buruk. Tapi mau bagaimanapun, tugas adalah tugas, komitmen adalah komitmen.
Kusimak karya teman-teman sebelum mengerjakan tugas ini. Ketiganya memilih KERETA API sebagai tokoh utama dengan gambaran suram. Karya Andra sangat keren, berasa seperti cerpen yang dulu sering kubaca di Jawa Pos. Meski aku tidak yakin Andra, dengan umur yang masih belasan tahun, pernah berhadapan dengan wajah kereta api yang tidak sedap dipandang. Terutama kelas ekonomi yang tarif jarak jauh Kediri - Jakarta Manggarai cuma Rp. 45.000 pada tahun 2006. Itulah kali pertama aku menumpang kereta api. Penumpang berjubel, mungkin banyak penumpang gelap tanpa tiket. Pedagang asongan keluar masuk menjajakan barang dan yang paling menyebalkan adalah yang tetiba minta uang sehabis kibas-kibas kemoceng padahal kami tidak meminta dan tidak pula ada sampah berserak di bangku kami.
Karena kami membayar murah, kami harus rela menunggu giliran dapat jatah rel. Kereta berhenti bisa sampai hitungan jam demi memprioritaskan mereka yang mau membayar lebih mahal. Tidak ubahnya angkot, kereta ekonomi waktu itu tidak dilengkapi AC. Panas sekali saat berhenti. Tapi aku sama sekali tidak berandai membawa KIPAS ANGIN karena tidak ada kipas angin di rumah kami. Kalaupun ada, memangnya mau dapat listrik dari mana untuk menghidupkannya. Belum ada kipas angin dengan energi baterai atau colokan USB ke bank daya.
Jangan lupakan toiletnya yang bau dan sering kehabisan air. Ketika berhenti di area persawahan, banyak yang keluar untuk mencari tempat nongkrong sambil merokok. Mungkin pipis juga di situ. Barangkali ada SUMUR TUA untuk sekadar cuci tangan. Atau malah tidak cebok tidak pula cuci tangan. Entahlah, aku tidak pernah melihatnya sendiri.
Panas, bau, sumpek, dan berisik. Bila tidak mampu beradaptasi dengan kondisi lalu tidak bisa tidur, bersiap saja keluar seperti ZOMBI. Kulit kusam, rambut lepek, badan lengket bau asem, dan mata panda. Juga ditambah kelaparan karena bajet jajan tidak ada. Perjalanan dari rumah sampai rumah tujuan di Depok memakan waktu hampir dua puluh empat jam, sedangkan bekal yang dibawa hanya untuk sekali makan dan uang cuma untuk sekali jajan. Susah dan capek tapi asyikin saja. Tubuh muda dan sehat tidak akan tepar hanya karena sehari menderita di kereta ekonomi.
Jauh sekali dengan tampilan kereta api sekarang yang rapi, bersih, dingin, dan tepat waktu, meski masih ada beberapa yang sandaran bangkunya vertikal 90°. Perjalanan terasa nyaman dinikmati sambil nonton untuk membunuh waktu. Anak-anak bermain game atau menonton IKAN HIU baby shark dan emaknya menonton pertunjukan orang minum soju, bukan WISKI. Tidak perlu khawatir kehabisan daya karena colokan listrik sudah tersedia. Tapi harga tiketnya tidak lagi ramah, nyaris sepuluh kali lipat untuk kelas yang sama. Begitulah, ada harga ada rupa.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.