Ini Dadaku, Mana Dadamu

Ini Dadaku, Mana Dadamu
Pelukan hangat Indonesia (Foto: Sekretariat Presiden))

Tulisan S. Maduprojo, Founder dan Penulis Catatankaki.Net

Beberapa hari lalu, Presiden RI Joko Widodo berkunjung ke Eropa. Ini bukan kunjungan biasa. Menaiki kereta, Jokowi dan Ibu Negara Iriana beserta sejumlah pengawal kali ini blusukan ke daerah perang Ukraina, yang sedang dibombardir tentara-tentara Rusia. Di Ukraina, Jokowi bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan menyempatkan diri mengunjungi salah satu kota di sana yang porak-poranda akibat perang. Ini merupakan kunjungan pertama pemimpin dari Asia ke wilayah perang tersebut. Setelah bertemu dengan Zelenskyy, Jokowi terbang ke Rusia menemui Presiden Rusia Vladímir Vladímirovich Pútin.

Terlepas dari pro-kontra kunjungan tersebut, harus diakui bahwa Jokowi punya nyali. Pengamat militer Connie Rahakundini Bakri, dalam sebuah acara di Kompas TV, bahkan menyebutkan kehadiran Jokowi di sana sangat berisiko, dari sudut keamanan. NATO memilih kebijakan setengah kaki, kata Connie, menggunakan Artikel “4,5”, artinya bisa memakai Artikel 4 atau Artikel 5—kesepakatan yang menjamin “pertahanan kolektif”; jika ada serangan ke salah satu sekutu akan dianggap serangan ke seluruh pihak. Menurut Connie, perangnya tidak jelas dan chaos pun sewaktu-waktu bisa terjadi. Connie bahkan membandingkan kunjungan Jokowi dengan Presiden Soeharto pada 1995 ke Bosnia-Herzegovina saat kedua negara itu dilanda kecamuk perang. “Beda. Perang di Bosnia saat itu jelas, perang etnis. Nah, ini di Ukraina, enggak jelas,” tutur Connie. Jokowi juga pernah berkunjung ke Afganistan pada 2018, ketika di sana sedang terjadi serangan bom secara masif oleh kelompok teror. Satu kisah yang menarik, ketika Jokowi meminta pengawalan dengan panser anti-peluru, permintaan itu sempat disanggupi. Tapi, sesampai di sana, kesepakatan itu tidak dilaksanakan dengan alasan, kalau Jokowi dijemput panser anti-peluru dan dikawal sebegitu ketat, citra Kabul sebagai kota yang tidak aman akan mengemuka!


Jiwa-jiwa pemberani seperti yang dilakukan Jokowi mengingatkan saya pada kisah sejumlah rekan saya yang jurnalis. Mereka ditugasi meliput perang di Afganistan pada 2001, perang di Suriah pada 2012, serta perang di Filipina pada 2017. Segala kisah mereka membuat saya seperti orang yang kecil nyali. Menjadi mereka belum tentu bisa atau malah tidak bakal bisa. Meliput berita di tengah konflik, desingan peluru, bombardir bom, dan bertaruh nyawa. Tak jarang mereka harus menyamar untuk mendapatkan berita-berita yang dibutuhkan untuk liputan, atau disarankan menikahi wanita di sana. Atau, sebut saja kisah para petualang yang berkeliling dunia. Sudah pernah kan membaca pengalaman Agustinus Wibowo, seorang petualang, pengembara, backpacker, yang menembus batas di wilayah Asia Tengah? Kisahnya dalam buku Selimut Debu menceritakan pengalamannya yang luar biasa selama bertualang di wilayah itu. Keberanian-keberanian semacam itu tentu saja hanya dimiliki oleh segelintir orang.

Sifat pemberani ini juga tertanam di jiwa-jiwa para prajurit yang bertugas di wilayah perang atau konflik. Juga para pengusung kemerdekaan RI dahulu. Orang-orang pemberani ini, dalam psikologi, mampu mengkonversi keberanian menjadi kekuatan yang luar biasa.

Dalam ajaran agama Islam, ada definisi keberanian yang disebut
syaja'ah. Keberanian ini mengacu pada keberanian yang positif, berani membela kebenaran. Ada ukuran-ukuran untuk sifat syaja'ah ini, di antaranya bersikap benar, bijaksana, dan mampu mengendalikan emosi. Syaja'ah berperan penting saat seorang muslim menghadapi bahaya, kesulitan, atau kondisi buruk lainnya.

Mungkin orang-orang pemberani semacam Jokowi, para jurnalis perang, petualang, ataupun para tentara itu sudah merdeka dari rasa takut. Mereka seperti ingin bilang ke banyak orang, “Ini Dadaku, Mana Dadamu!” Kalimat itu diucapkan proklamator Soekarno yang terkesan menantang negara-negara asing saat itu, terutama negara-negara kapitalis yang banyak menyengsarakan rakyat di dunia ketiga. Sesungguhnya, Bung Karno juga tidak ingin bersikap sombong terhadap negara lain, tapi menunjukkan kewibawaan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.

Lalu, kalau anak-anak muda yang berani menantang maut dengan menghadang truk-truk yang sedang melaju kencang itu, mereka pemberani juga, kan? Aihhh, itu mah soal lain… (S. Maduprojo)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.