Menyaksikan keraguan atas budaya bangsa sendiri

Memegang budaya jawa bukan berarti anda kejawen. Mengapa? Karena warisan leluhur adalah khazanah pengetahuan yang luar biasa untuk dituturtinularkan. Ada sebuah prediksi dari para sepuh, bahwa kelak, jawa ilang jawane. Artinya orang jawa kehilangan identitasnya. Pertanyaan sederhananya, seberapa banyak generasi penerus yang mahir, paling tidak memiliki keinginan untuk mempelajari aksara jawa, mengenali kembali sejarah jawa, baik dalam serat-seratnya, maupun lelaku mamayu hayuning bawana?
Sayangnya, ketika ada saudara kita atau komunitas yang mempelajari kejawaan atau kenusantaraan, klaim yang muncul adalah “kejawen”, mistis, mbah dukun, dan lain sebagainya. Artinya apa yang menjadi identitas ketimuran tidak sepenuhnya dijadikan dasar pijakan dalam kehidupan. Karena memang lebih keren (anggapannya) ketika bisa menguasai Bahasa asing, bergaya parlente, modern dan agamis tentunya.
Para Wali Sanga ketika berbaur dengan masyarakat jawa justru ikut serta bahkan campur bawur dengan kultur daerah yang mereka tempati. Walaupun pada akhirnya terjadi akulturasi budaya. Tetapi tidak meninggalkan kejawaan yang menjadi identitas masyarakat sebelum islam datang kemudian.
Anggapan “kuno” ketika salah satu diantara kita belajar tentang jawa agaknya menjadi aanggapan yang turun temurun sampai hari ini. Kita bisa melihat dari pemeran pembatu dalam sinetron-sinetron di dunia pertelevisian kita. pemeran pembantu pasti terkesan jawani, sedangkan mereka yang menjadi lakonnya adalah mereka yang modern, intelek, religious, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, pemberian nama terhadap anak-anak kita misalnya ketika ada unsur kejawaannya, tidak jarang menjadi bulian teman-teman yang Namanya lebih modern (bisa kebarat-baratan atau kearab-araban).
Artinya ada dikotomi yang membentuk pagar besar antara realitas kejawaan dengan sebuah bayangan modernisasi yang kemudian menutupi identitas budaya asalnya. Padahal, jika di kembalikan kepada abad ke XVI-XIX Jawa menjadi pusat peradaban nilai baik sosial budaya, pun sosial keberagamaan yang sarat akan nilai luhur. Para ulama’ jawa menjadi pusat belajar agama di masa lalu ketika islam sudah mandarah daging di masyarakata jawa.
Ketika hari ini para intelek barat berbondong-bondong mempelajari kejawaan dan kenusantaraan, kita justru enggan melihat, bahkan melirik saja emoh. Gamelan, serat, carangan, wayang beber, upacara-uapacara, dan lain sebagainya hanya menjadi kemegahan sejarah yang pernah dimiliki. Guyonanya, kalau sudah di klaim negara lain seperti wayang dan reog di beberapa tahun yang lalu, baru hati tergerak untuk membela mati-matian.
Sebenarnya, jika memang gerakan kembali kepada kultur menjadi misi kedepan, maka kurikulum Pendidikan perlu diprioritaskan terhadap materi-materi kultur, baik jawa maupun bangsa yang lain di Nusantara. Pelajaran Bahasa daerah perlu menjadi prioritas atas Pendidikan bangsa kita. tentu tidak hanya pada aspek kebahasaannya saja, melainkan budaya dan tradisinya.
Untuk menepis anggapan-anggapan seperti di atas memang perlu ada upaya membangun kesadaran akan tradisi dan budaya sebagai warisan intelektual yang luhur. Jawa dan bangsa-bangsa di Nusantara tidak hanya sebatas warisan sejarah, kesemua itu adalah aset peradaban yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Unggah-ungguh, petitah petitih, kesusastraan, kesenian dan lain sebagainya adalah ruang yang perlu dibuka kembali kesadarannya di dalam diri generasi penerus.
Memang tidak mudah untuk menanggulangi modernisasi dan kemajuan teknologi. Tetapi, selagi ada upaya membangun filter di dalam ruang Pendidikan, baik Pendidikan di sekolah ataupun di dalam keluarga maka akan muncul kesadaran tersebut. Karena yang terpenting adalah kenal akan identitas bangsanya. Masalah yang akhir-akhir ini muncul adalah masalah moral keberagamaan, di mana hal ini dipicu oleh egoisme identitas tertentu.
Masalah agama, masalah modernitas, masalah gender, masalah ekonomi adalah bagian dari lupa akan identitas diri bangsanya, yang jawa kehilangan jawanya, yang madura kehilangan maduranya, yang sunda kehilangan sundanya pun bangsa yang lain. Sehingga Nusantara hanya menjadi identitas di atas kertas saja. Paling tidak untuk menumbuhkan kemanusiaan maka perlu pengenalan kembali terhadap jati diri bangsanya.
Keragaman adalah anugerah, oleh karena itu tidak salah jika menjaga anugerah yang indah dari Yang Maha Indah. Budaya adalah bagian dari keindahan sebuah keragaman. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menjaga keindahan itu adalah dengan membangun kesadaran untuk menjaga dan melestarikan budaya dan peradaban warisan leluhur. []
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.