MALAM CAP GO MEH

MALAM CAP GO MEH

Tanpa terasa sudah hampir 2 tahun kami menjalani hidup di Jakarta lagi. Bedanya adalah, kalau biasanya isi rumah hanya 4 orang; Papa, Mama, A Koh dan saya, sekarang ada dua anggota keluarga baru, yaitu Cindy dan Ratmi, Mbaknya Cindy. Karena saya bekerja sebagai Tour Leader Freelance, maka saya perlu seorang asisten perempuan untuk menjaga Cindy di kala saya sedang bekerja.

Papa saya bernama Yo Chay Hin, biasa dipanggil dengan Pak Yo. Papa memiliki 3 bengkel kecil, yang satu bengkel mobil, yang satu lagi bengkel motor dan yang terakhir bengkel sepeda. Di samping itu beliau juga membuka showroom mobil bekas. Usianya 62 tahun. Badannya kurus tapi padat dan sehat. Meskipun orangnya pendiam dan agak kaku, Papa mempunyai teman cukup banyak.

Mama berusia 60 tahun. Saya jauh lebih dekat dengan Mama daripada Papa. Mama membuka usaha katering di rumah. Tidak ada yang perlu diherankan karena selain hobi memasak, Mama adalah koki yang hebat. Apapun yang dimasak Mama pasti rasanya enak. Jadi secara umum, penghasilan kedua orangtua kami lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan keluarga sehari-hari.

Kakak saya A koh usianya 28 tahun. Dia adalah sarjana lulusan Fakultas Ekonomi dari sebuah perguruan tinggi swasta yang letaknya di daerah Grogol. Sampai sekarang dia belum bekerja. Kegiatannya sehari-hari adalah pecinta alam. Minimal dua kali sebulan dia kembali ke alam, kadang naik gunung, rock climbing, menyusuri pantai, masuk ke goa-goa dan sumur. Dia juga aktif berpartisipasi dengan team SAR (Save and Rescue) untuk menyelamatkan pendaki-pendaki yang hilang karena tersesat di perjalanan.

Saya adalah anak bungsu. Tinggi saya 162 CM dengan berat 52 Kg. Mata saya sipit dan rambut saya panjang melewati bahu dengan poni di bagian depan. Usia saya selisih 5 tahun dengan A Koh. Saya juga tidak terlalu dekat dengan A Koh tapi tidak berarti kami tidak saling menyayangi. Keluarga kami bukanlah keluarga yang ekspresif namun di dalam hati masing-masing kami berempat sangat meyakini bahwa kami adalah keluarga yang berbahagia.  

Sekarang ini Mama sedang sibuk memasak dibantu oleh ibu-ibu tetangga. Banyak sekali yang beliau masak karena tidak lama lagi akan ada perayaan Cap Go Meh. Sebagai keluarga Cina, Cap Go Meh itu penting buat kami. Lontong Cap Go Meh tentu saja menjadi hidangan utama. Lontong di hari Cap Go Meh sudah merupakan atribut yang harus ada seperti ketupat di Hari Lebaran.

Keluarga Cina sangat menghargai adat istiadat dan tidak pernah melupakan akar budayanya. Meskipun sudah beranak pinak sampai lebih dari 7 generasi, pihak orangtua masih memberi nama Cina ke anaknya.  Akibatnya orang Cina umumnya mempunyai dua nama, 1 nama Indonesia dan 1 lagi nama Cina. Agak aneh memang, karena seringkali orangnya sendiri sudah tidak lagi menguasai bahasa nenek moyangnya.

Keluarga kami sendiri sudah 6 generasi  menetap di Indonesia. Seperti keluarga Cina lainnya, kami masih merayakan hari-hari besar dari tanah leluhur. Seperti saat ini, keluarga besar kami sedang merayakan Cap Go Meh di rumah nenek. Suasana ramainya bukan alang kepalang. Untung rumah nenek sangat besar sehingga mampu menampung sekian banyak sanak saudara yang datang. Nenek senang sekali bila dikunjungi oleh sanak saudaranya. Maklumlah dia memang selalu kesepian sejak kakek meninggal 8 tahun yang lalu.

Buat Anda yang bukan orang Cina, mungkin ada yang belum tahu apa itu Cap Go Meh. Orang tentunya lebih akrab dengan Imlek daripada Cap Go Meh. Jadi begini; Imlek adalah Tahun Baru Cina yang dihitung dengan perputaran bulan. Orang Cina merayakan tahun baru selama 15 hari. Jadi kalau dihitung dari tahun baru Imlek, tanggal 15 adalah hari terakhir perayaan tahun baru. Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkien, bila diterjemahkan secara harfiah adalah Cap = 10, Go = 5 dan Meh = malam. Jadi Cap Go Meh adalah malam ke 15. Dalam istilah Mandarin orang sering juga menyebutnya dengan Yuan Shiau Ciek.

Imlek adalah hari pertama tahun baru. Ciri khas makanan Imlek adalah kue keranjang. Ada juga yang bilang dengan kue Cina atau dodol Cina. Kue keranjang merupakan santapan wajib dan hanya bisa ditemukan setahun sekali. Disebut kue keranjang karena memang cetakannya berupa keranjang dengan bolong-bolong kecil. Sehari sebelum Imlek sampai dua minggu berikutnya, Mama mengharuskan kami semua makan kue keranjang dulu sebelum makan nasi. Ritual ini sekaligus doa agar kami selalu mendapat rejeki dan senantiasa beruntung sampai setahun ke depan. 

Cap Go Meh adalah hari terakhir tahun baru. Itu sebabnya, Cap Go Meh biasanya dirayakan besar-besaran. Komunitas Cina akan berkumpul dan berpesta, membakar Hio, menyalakan kembang api, mengadakan pertunjukan barongsay dan malamnya diakhiri dengan melepaskan lampion ke udara. Waktu saya masih sekolah di Amerika, acara pelepasan lampion ini ternyata juga lumayan terkenal. Di negeri Paman Sam, malam Cap Go meh lebih dikenal dengan sebutan Lantern Festival.

Perayaan Cap Go Meh, sering juga dijuluki hari Valentinenya orang Cina. Mengapa demikian? Karena saat Cap Go Meh sering dijadikan ajang pencarian jodoh buat perempuan yang masih jomblo. Jadi tidak heran, tiap perayaan Cap Go Meh, di rumah nenek banyak sekali saudara-saudara perempuan berkumpul dan berharap mendapat jodoh. Saudara-saudara yang memiliki anak lelaki lajang pun membawa anaknya untuk memilih calon isteri yang cocok.

Suasana pesta meriah riuh rendah. Setiap kali ada pemuda ganteng datang, perempuan-perempuan langsung berkasak-kusuk lalu tertawa cekikikan entah karena apa. Saya sendiri sudah punya anak tapi karena tidak mempunyai suami, nenek sering mencoba menjodohkan saya dengan cowok yang dirasanya cocok.

“Yoyoooo...!!!!” teriak nenek memanggil.

“Ya Omaaa...!!” Saya yang sedang asyik membaca novel juga berteriak dari dalam kamar.

“Yoyo, ayo keluar! Kenalin ini A Shiong, anaknya Pak Tan.” Nenek kembali ingin mengenalkan saya dengan seorang pemuda.

“Iya sebentar, Oma!” Tuh kan! Lagi-lagi nenek mencoba jadi Mak Comblang. Setiap tahun tidak jemu-jemunya dia berusaha mencarikan suami untuk saya. Tapi untuk menghargai nenek, saya hampiri juga lelaki itu. Walaupun masih memakai sandal jepit tak  apa-apalah. Malas juga rasanya menggantinya dengan sepatu.

“Yoyo.” Saya menyalami pemuda itu.

“A Shiong,” sahut si pemuda menggengam tangan saya. Bibirnya tersenyum. Wajahnya tidak terlalu tampan tapi terlihat menyenangkan. Dari lekukan bibir dan bentuk matanya terlihat jelas dia seorang yang cenderung ambisius. Pakaiannya perlente. Usianya mungkin seumuran dengan saya.

Percakapan pun berjalan dengan basa-basi membahas keluarga kami, keluarga dia, keluarga saya, keluarga Anu, hubungan dengan keluarga Anu lainnya, yang biasanya menelusuri family tree untuk mengetahui kedekatan keluarga masing-masing. A Shiong nama lengkapnya adalah Tan Shiong Peng. Berasal dari keluarga she (marga) Tan.

“Kok kamu dipanggilnya A Shiong. Harusnya kan, A Peng. Shiong kan suku kata kedua?”

“Hahaha… nama kamu Yo Tung Hay, kan? Tau nggak? Nama kamu itu nama cowo, loh?” sahut A Shiong tidak mau kalah.

“Kalo itu panjang ceritanya,” kata saya ikut tertawa.

“Yang lebih lucu lagi nama kecil kamu Yoyo. Mana ada nama kecil diambil dari menggandakan she?”

“Hahahahaha…!” Suasana pun mulai cair gara-gara kami berdua main ledek-ledekan nama.

Kembali kami terlibat dalam pembicaraan tentang marga kami dan bergosip lagi tentang marga anu menikah dengan marga anu. Ternyata marga anu menikahkan anak-anaknya dengan marga anu supaya bisa melancarkan bisnisnya. Pokoknya sudah persis acara gosip di TV-TV lokal.

“Ngomong-ngomong kamu masih muda dan cantik, tidak keliatan sama sekali kalau sudah punya anak.” Tiba-tiba A Shiong mulai mengeluarkan jurus pertamanya.

“Ah, saya sudah ibu-ibu, kok. Memang Oma sudah cerita apa saja tentang saya?” sahut saya.

“Tidak banyak. Sudah berapa tahun umur anakmu, Yo?”

“Bulan depan 3 tahun. Tapi ngomongnya belum lancar sampai sekarang.”

Sedang asyik-asyiknya merangkai percakapan, sekonyong-konyong Cindy datang menenteng-nenteng sepatu lalu menaruh sepatu itu di depan saya. Tanpa mengucap sepatah katapun lalu dia ngeloyor lagi ke belakang. Rupanya Cindy ingin mamanya memakai sepatu kalau sedang menerima tamu. Sesuatu yang memang selalu saya ajarkan padanya.

“Hahaha...anakmu  pinter amat? Balik modal kamu, Yo.” A Shiong terkekeh-kekeh melihat kelakuan Cindy.

“Balik modal? Maksudnya?” tanya saya kebingungan.

“Kita kan merawat anak supaya suatu hari nanti dia yang merawat kita di masa tua nanti”.

“Oh nggak begitu...” Saya mencoba memotong tapi A Shiong terus melanjutkan kalimatnya.

“...Cindy baru kamu piara 3 tahun tapi sudah bisa mengantarkan sepatu buat kamu. Makanya saya bilang kamu balik modal.”

“Oh, bagian itu saya nggak sependapat.”

“Bagian mana yang kamu maksud?”

“Saya tidak akan mengizinkan Cindy merawat saya ketika usia sudah lanjut nanti.”

“Lho, kok aneh? Bukannya kita punya anak agar nantinya dia mengurus kita?”

“Bukan! Saya nggak mau dia menyia-nyiakan waktunya untuk merawat saya. Masih banyak hal lain yang lebih berguna daripada hal itu.”

“Kalau misalnya suami kamu sudah nggak ada? Siapa yang ngurus kamu?”

“Saya akan mengurus diri saya sendiri.”

“Kalau kamu sudah tua dan sakit-sakitan bagaimana?”

 “Saya akan sewa perawat untuk membantu saya.”

“Kalau kamu nggak mendapatkan suster yang cocok bagaimana?”

“Saya akan masuk rumah jompo supaya punya teman dan tidak mati sendirian.”

“Saya  merasa cara berpikir kamu aneh. Lalu buat apa kamu punya anak?”

“Punya anak itu sesuatu yang sangat membahagiakan saya. Karena itu, saya juga ingin membahagiakan dia.”

“Tunggu dulu! Logikanya sama, bukan? Kamu merawat dia sekarang supaya nanti dia yang merawat kamu?”

“Merawat saya belum tentu membahagiakan dirinya.”

“Lalu bagaimana caranya membuat dia bahagia?”

“Caranya adalah dengan mendukung dia mengejar cita-citanya.”

“Kamu akan melarang dia mengurus kamu? Itu serius?”

“Mengurus saya akan menghambat dia mencapai cita-citanya. Saya nggak mau jadi penghalang kesuksesannya. Saya ingin dia menikmati hidup. Saya ingin dia berbahagia. Itu saja.”

“Saya masih nggak bisa menerima cara berpikir kamu. Maaf ya, Yo.”

“Intinya, saya merawat Cindy bukan untuk pamrih.”

“Tapi..”

 “Hanya karena saya merawat dia, tidak berarti dia punya kewajiban untuk merawat saya kelak.”

“Maaf, saya tetap tidak sependapat...” kata A Shiong lagi.

“Hubungan ibu dan anak itu adalah hubungan kasih sayang. Bukan bisnis. Makanya saya nggak setuju dengan istilah kamu tentang ‘balik modal’ tadi.”

A Shiong membisu. Percakapan itu ternyata terlalu berat untuknya. Saya pun malas untuk berbicara lagi. Lama kami berdua terdiam. Karena cukup sulit untuk menyambung percakapan, A Shiong akhirnya pamit pulang. Saya mengantarkannya sampai ke pintu.

 Saya rasa dia tidak akan pernah datang lagi.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.