SEKARAT TAPI MENOLAK AYAT

SEKARAT TAPI MENOLAK AYAT

MASAKAN EMAK LO ENAK BANGET.

Entah kenapa hari itu, tiba-tiba saja, saya kangen sama Tante Paula. Dia ibu dari temen saya, Viktor. Tante Paula adalah tokoh yang unik. Hobinya masak tapi nggak suka makan. Jadi setiap masak, dia menyuruh Viktor untuk mengundang teman-temannya datang untuk dijamu. Dan saya adalah orang yang paling rajin dateng. Abis masakannya enak banget.

Iseng-iseng saya WA Si Viktor, 'Vik, udah berapa bulan Emak lo nggak pernah ngundang makan lagi."

Nggak lama Viktor udah membalas, 'Om Bud. Mami sakit parah. Mohon doanya, ya.'

'Heh? Sakit apa, Vik? Gws, ya.'

'Mami kena kanker kelenjar getah bening, stadium 4. Om Bud. Kata dokter udah nggak ada harapan lagi.'

'Astagfirullah. OK, kalo gitu week end depan gue ke rumah ya.'

Hari Sabtu sore, saya mampir ke rumah Viktor. Saat pintu terbuka, ternyata Viktor yang menyambut saya, "Eh, elo, Om Bud. Yuk masuk."

Di dalam rumah ada cukup banyak orang berkumpul. Rupanya kakak-kakak Viktor yang sudah berkeluarga semuanya berkumpul. Saya menyalami mereka satu persatu.

"Om Bud ini kenalin Pak Aziz, beliau adalah ustad keluarga kami. Mulai hari ini, Pak Aziz akan membaca Qur'an supaya Mami bisa pergi dengan tenang."

Saya menyalami ustad itu, seorang tua dengan jenggot panjang sedada. Kepalanya memakai kupluk. Wajahnya cerah dan selalu tersenyum. Usianya mungkin sudah mendekati 70 tahun namun masih sangat bugar. Di sampingnya ada seorang anak muda yang bertugas sebagai asisten Pak Ustad.

"Gue boleh masuk ketemu Tante Paula?" tanya saya.

"Silakan, masuk aja. Tapi tolong dimaklumi ya, Mami udah susah berkomunikasi," sahut Viktor.

Dengan rasa prihatin, saya masuk dan duduk di samping ranjang Tante Paula. Wajahnya sangat pucat. Matanya terbuka tapi kosong, menandakan bahwa dia tidak sedang memandang ke arah mana pun.

Saya meraih tangan Tante Paula dan menggenggamnya. Si Tante tidak membalas menggenggam. Tubuhnya sudah tidak bertenaga untuk melakukan hal itu. Matanya juga tidak memberikan reaksi apa pun.

"Sore, Tante. Ini Budiman Hakim. Tante bisa mengenali saya, kan?"

Tidak ada reaksi.

“Lupa, ya? Itu, loh, Budiman Hakim temennya Viktor yang makannya paling banyak. Kalo kata Viktor, mah, saya rakus kalo ketemu masakan tante."

Masih tidak ada reaksi.

"Abis gimana nggak rakus? Masakan tante enak banget. Siapa, sih, yang nggak jadi rakus kalo ketemu masakan Tante," kata saya lagi sambil mengelus-elus tangan keriputnya.

Dengan gerakan slow motion, pandangan mata Tante Paula beralih ke saya. Melihat reaksinya, saya tersenyum dan melanjutkan, "Tau, nggak? Udah berapa bulan Tante nggak ngundang kami makan. Kita semua kangen banget sama masakan Tante.”

Kali ini Tante Paula tersenyum tipis. Saya bahagia sekali melihat senyum itu dan berkata lagi, "Tante cepet sembuh ya. Saya janji akan mendoakan kesembuhan tante. Saya akan mendoakan Tante setiap sholat di sujud terakhir."

Tiba-tiba Viktor masuk ke dalam kamar bersama Ustad Aziz dan asistennya. Rupanya pembacaan ayat suci sudah mau dimulai. Saya bangkit dari tempat duduk namun Viktor mencegah, "Lo nggak usah ke mana-mana, Om Bud. Duduk aja di situ. Kayaknya Mami seneng lo ajak ngomong."

"Oh, okay-okay."

Nggak lama kemudian, Sang Ustad mulai melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya merdu sekali. Saya selalu kagum sama orang yang bisa mengaji dengan suara semerdu itu.

Sekonyong-konyong sesuatu yang tak terduga terjadi. Tante Paula meremas tangan saya keras sekali. Saya keget dan memandang ke arahnya. Badan Tante Paula bergetar hebat. Napasnya terengah-engah. Mulutnya berkomat-kamit seperti mengatakan sesuatu namun tidak ada suara yang terdengar dari mulutnya.

“Mami...Mami kenapa Mami?” Viktor yang juga kaget mendekati ibunya, "Mami...kenapa, Mam?"

Sebetulnya saya mau menyingkir dan memberikan tempat saya pada Viktor akan tetapi tangan Tante Paula yang mencengkeram tangan bukan main kerasnya.

“Nggak papa, Mas Viktor. Biarin aja. Kayaknya iblis di dalam tubuh Ibu sudah kepanasan dan ingin keluar. Nanti juga Ibu akan tenang kembali.” Kali ini asisten ustad yang berbicara.

Viktor makin bingung. Bagaimana mungkin dia tega membiarkan Ibunya kelojotan seperti itu. Namun di saat yang lain, dia berpikir apa yang dikatakan oleh Sang Asisten masuk akal juga. Dia cuma bisa bengong tanpa tau harus melakukan apa. Sementara Si Ustad seperti tenggelam di dunianya sendiri dan terus mengaji.

Tiba-tiba, Tante Paula melepaskan tangannya dari genggaman saya. Secepat kilat dia meraih kerah baju saya dengan keras dan menarik saya sehingga kepala saya nempel di kepala Tante Paula. Dengan suara terengah-engah dia berbisik namun semua orang bisa mendengar dengan jelas, “Bud, suruh yang mengaji untuk brenti.....suruh dia brenti....brenti.”

Selesai menyelesaikan kalimatnya, Tante Paula pingsan. Viktor tambah panik. Dia buru-buru meminta Pak Aziz untuk berhenti mengaji. Sang Ustad menurut. Dia berhenti mengaji dan menutup kitabnya.

Sang Asisten langsung protes karena menurut dia reaksi yang dialami oleh Tante Paula justru menunjukkan kebaikan. Dia masih berkeras bahwa roh halus dalam tubuh Tante Paula akan segera keluar.

Semua orang masuk ke dalam kamar dan Viktor menceritakan apa yang terjadi. Rapat keluarga pun dilangsungkan di dalam kamar tertutup. Karena bukan keluarga, Pak Aziz, asistennya dan saya tentu saja tidak diikutsertakan. Sekitar setengah jam, semua orang keluar dari kamar dan mengumumkan hasil rapat: Acara pengajian ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan.

Melihat suasana tegang seperti itu, saya memutuskan untuk pamit. Keluarga ini tentunya butuh ketenangan untuk menyikapi masalah itu.

Waktu terus berjalan. Pekerjaan kantor lagi banyak sehingga saya nggak sempat memonitor apa yang terjadi selanjutnya. Nggak terasa setahun berlalu begitu saja.

Saya sedang shooting sebuah iklan untuk ditayangkan di Youtube. Di saat itulah Viktor menelpon. Wah, udah lama banget Viktor nggak ngasih kabar. Bagaimana dengan ibunya? Ah, mungkin dia hendak mengabarkan bahwa ibunya meninggal.

“Halo, Vik. Apa kabar?” tanya saya.

“Alhamdulillah gue baik. Om Bud, lo besok bisa ke rumah nggak?"

"Besok bisa. Ada kabar apa, Vik?" tanya saya berusaha tidak gegabah bertanya.

"Mami masak dan minta gue ngundang minimal 4 orang buat jadi testernya?”

“Wah? Tante Paula udah sembuh? Alhamdulillah....”

“Berkat doa lo, Om Bud. Bisa dateng kan?”

“Bilang sama Tante Paula, gue pasti dateng, Masakan Emak lo enak banget.”

Besoknya di rumah Viktor sudah berkumpul 5 orang teman sebagai tester. Semuanya sudah mengosongkan perut agar bisa menampung sebanyak mungkin makanan yang dimasak Tante Paula, Suasana sangat menyenangkan. Tante Paula terlihat sangat sehat. Sepertinya beliau sudah sembuh total.

“Emak lo berobat ke mana, Vik? Alhamdulillah udah sehat, ya,” kata seorang teman.

“Mami berobat di Jepang. Di sana dia menjalankan terapi autofagi. Dan ternyata cocok. Mami bisa sembuh tanpa menjalankan kemoterapi.”

"Wuiiiih...luar biasa," kata saya dengan nada bersyukur.

Terapi autofagi adalah sebuah metode penyembuhan yang memanfaatkan mekanisme tubuh untuk memakan sel-sel rusak. Caranya adalah dengan melakukan puasa panjang dengan disiplin tinggi. Puasa autofagi bisa dilakukan sampai berhari-hari. Kita boleh minum dan makan suplemen akan tetapi tidak mengonsumsi makanan padat. Karena tidak mendapat asupan makanan, kankernya pun mati. Hebat banget. Bagi keluarga Viktor, ini mukjizat yang tak terduga.

“Ayo makanan sudah siap. Semuanya makan yang banyak ya,” kata Tante Paula sambil membawa mangkok sayur ke meja makan.

Tanpa dikomando dua kali pasukan kelaparan dengan rakus langsung menyerbu. Hanya dalam hitungan menit mangkok itu kering kerontang.

"Hihihihi..." Tante Paula geli banget ngeliat kelakuan barbar kami, "Jangan takut, boys, masih ada sepanci di dapur. Tante ambilin ya."

"Sabar, Om Bud. Napas dulu. Makannya kalem aja, ntar keselek," kata Viktor.

"Gue selalu kalap kalo makan di sini. Masakan Emak lo enak banget." sahut saya.

"Setuju," kata seorang teman, namanya Martin, "Masakan Emak lo enak banget."

Suasana di rumah Viktor sangat menyenangkan. Semua orang makan dengan bernafsu. Tante Paula juga terlihat bahagia sekali. Senyum manis tidak pernah lepas dari mulutnya.

“Tante, saya boleh tanya, nggak? tanya saya.

“Boleh, Bud. Kamu mau tanya apa?”

Awalnya saya ragu-ragu tapi saking penasaran saya lontarkan juga, “Kenapa Tante waktu itu menolak untuk dingajiin?”

Semua orang menengok ke arah Tante Paula. Rupanya semua orang juga pengen tau tapi sungkan untuk bertanya.

“Hmmm itu situasi penuh dilema. Tante saat itu sedang berjuang melawan kanker itu, Bud. Tante nggak mau menyerah. Terus kamu dateng dan bilang masakan Tante enak. Kamu bilang Tante harus sembuh supaya Tante bisa masak lagi. Jadi Tante tambah semangat.”

“Terus-terus gimana Tante?” tanya temen yang lain penasaran.

“Waktu denger ada orang ngaji, Tante merasa semangat Tante dipatahkan."

Semua orang mendengarkan dengan takzim.

"Tante merasa semua orang menyuruh Tante menyerah dan mati aja dengan tenang.”

“Maap, Mami. Kami nggak bermaksud begitu,” selak Viktor sambil memeluk dan mengecup pipi ibunya.

“Iya, Mami ngerti, kok. Tapi kamu juga harus paham bahwa banyak orang sakit malahan jadi depresi saat dingajiin. Dia masih semangat berjuang untuk hidup tapi yang hidup malahan memintanya untuk pergi. Mami saat itu masih masih berjuang. Itu sebabnya Mami minta disetop ngajinya.”

Semua orang terdiam mendengar ujaran Tante Paula.

"Wah, ini perspektif baru dari sudut pandang Si Sakit. Semangat juang orang sakit kadang nggak selaras dengan niat baik dari orang di sekitarnya. Keren, Tante," kata Martin.

"Gue juga baru denger pendapat ini." kata temen lain lagi, "Image pengajian memang sering dimaknai sebagai ritual pengantar kematian."

"Betul. Cocok untuk si sakit yang sudah siap mati tapi belom tentu cocok buat yang masih berjuang untuk hidup," Viktor berkata.

"Tante mau terus terang. Ada satu lagi yang membuat Tante mampu bertahan hidup. Bentuknya berupa mantra yang punya andil besar atas kesembuhan Tante."

"Weits apa mantranya, Tante?" Semua orang langsung penasaran.

"Masak nggak tau? Kan mantranya kalian yang bikin," kata Tante Paula tersenyum penuh arti.

"Mantranya kami yang bikin? Apa itu?" Semua orang kebingungan.

"Masakan Emak lo enak banget!" kata Sang Tante sambil tertawa.

"Hahahaha....sangat setuju. Mantra itu memang sangat ampuh buat Mami." kata Viktor.

Kami semua sudah sering diundang makan oleh Tante Paula. Namun acara kali ini buat saya adalah yang terbaik. Udah dapet asupan masakan lezat, eh, dapet asupan ilmu kehidupan. Alhamdulillah.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.