Jangan Memanggilku Jeng

Dalam Bahasa Jawa, jeng itu versi pendek dari diajeng, yang artinya dik untuk perempuan.

Jangan Memanggilku Jeng
Ilustrasi dibuat dengan aplikasi Canva

Aku selalu mengaku sebagai orang Jawa, biar gampang, meskipun jika dirunut, tentu saja darah Jawaku tidak murni. Kemungkinan di negri ini, bahkan di dunia ini, yang berdarah murni hanyalah You Know Who dan para pendherek-nya. Haha.

 

Masa kecil kuhabiskan di desa nenek, di kaki Gunung Sumbing. Di sana, apalagi saat itu, hampir semua orang berbahasa Jawa. Bahkan aku sangat canggung saat awal masuk sekolah karena harus belajar bahasa Indonesia. Bisa mbayangke to?

 

Nah, setelah itu sempat berpindah ke kota lain di Jawa juga. Meskipun sama-sama di Jawa Tengah, beda kota ternyata logat dan dialek juga berbeda. Istilah pun berbeda-beda. Contohnya, ngendhuk sama ngeyup itu sama-sama artinya berteduh (supaya tidak kehujanan), tetapi dipakai di kota berbeda. Njagong artinya duduk di kota asal ibu saya, tetapi di kota yang kami tinggali sekarang, artinya pergi ke acara pernikahan (njagong manten). Nah, kan? Haha.

 

Ketika pindah ke Yogyakarta, kota yang lebih besar lagi, yang dibilang sebagai pusatnya budaya Jawa (selain Sala), lain lagi ceritanya. Di sana, bahasa yang digunakan lebih halus. Adem sekali denger orang berbicara halus begitu. Jangan salah ya... Bukan hanya kaum priyayi yang bicara halus, tetapi termasuk tukang parkir, tukang becak, pedagang di pasar, alias kaum proletarnya. Guyonannya juga laen. Mereka seneng banget bercanda memakai plesetan. Yang kelompok muda, paling hobi pakai basa walikan


Dayi. Dab. Lotse. Pisu. Sahan


Itu beberapa contoh kata-kata, dari basa walikan, yang sering terdengar dalam percakapan sehari-hari. Masih banyak lagi lainnya. Hanya saja, karena aku tidak tinggal di sana sejak kecil, aku perlu waktu lebih lama untuk nangkep basa walikan. Justru teman-teman, yang meskipun bukan orang Jawa, tetapi tinggal di Yogyakarta (apalagi sejak kecil) lebih cepat menguasai basa walikan ini. Lucu, ya?

 

Aku bahkan tetap memakai bahasa Jawa dengan teman yang bukan orang Jawa, hanya karena kami kenal di Yogyakarta dan terbiasa pakai bahasa Jawa. Sebaliknya, aku tetap memakai bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang Jawa, karena aku kenalnya bukan di Jawa. Haha.

 

Urusan logat dan dialek tidak hanya urusan bahasa lisan, tetapi juga tulis. Masih banyak tulisan berbahasa Jawa bersliweran yang kulihat. Novel, geguritan, dan cerkak, setidaknya masih ada saja yang bisa kubaca. Ada majalah berbahasa Jawa yang masih eksis, ada juga beberapa koran yang setia memajang cerkak (cerita pendek dalam bahasa Jawa) mingguan. Dalam bahasa Jawa tulis, terbaca juga dialeknya. Terutama yang sangat bisa dibedakan adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang pasti lumayan berbeda diksi.

 

Nah, yang aku baru nyadar beberapa tahun terakhir ini, ternyata mata dan telingaku sensitif soal bahasa Jawa. Ketika membaca tulisan dalam bahasa Jawa yang tidak mengikuti kaidah, ih! rasanya gatel banget pengen ngoreksi. Iya, bahasa Jawa juga memiliki aturan macam PUEBI dalam bahasa Indonesia. Sikilku loro (kakiku dua) itu berbeda dengan sikilku lara (kakiku sakit), adalah contohnya.


"Emailmu wis tak tampa, Jeng," begitu kata rekan kerjaku. Sekilas tidak ada yang aneh dengan ucapannya. Dia bilang bahwa email dariku sudah dia terima. Masalahnya, dia menyebutku Jeng.


Dalam bahasa Jawa, jeng itu versi pendek dari diajeng, yang artinya dik untuk perempuan. Nah, tau sendiri kan, meskipun aku bukan pendukung feodalisme (meskipun juga rada-rada ga percaya dengan demokrasi, haha) tetapi ternyata aku risi dipanggil jeng oleh yang lebih muda dariku. Hahaha. Buatku, lebih baik dia memanggilku langsung nama, tanpa embel-embel sapaan yang tidak tepat.


Sedihnya, ada juga teman, yang menurutku (seharusnya) sangat paham dengan tata bahasa Jawa, terbukti dengan fasihnya dia berbahasa Jawa, biasa memanggilku dengan sebutan Jengsay. Bukan soal tambahan say di belakang jeng, tetapi soal jeng-nya itu. Karena dia, seperti kasus eks rekan kerjaku, jauh lebih muda dariku. Cocoknya dia panggil aku mbaksay, ato mbaksis. Bahkan aku lebih legawa kalo dia memanggilku mbakbro, misalnya.

 

Tapi aku tidak langsung protes dipanggil jeng. Hehehe. Protesnya pake nulis ini saja. Jadi kalo mau panggil aku jeng, pastikan umurmu lebih tua, yaaa. (rase)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.