KW

Terinspirasi dari kisah nyata.

KW


Cerita ini sudah lama terjadi.
Aku sedang berada di Mall bersama dua kakakku, Dina dan Didi.
Kami sedang asik melihat-lihat di sebuah toko buku.
Aku mengenakan atasan yang mirip baju designer Italia, hadiah dari kakakku Dina.
Dipadukan dengan celana Jeans yang modelnya saat itu lagi trendy. Walaupun aku beli versi murahnya di Mangga dua. Ban pinggang Channel  KW.  Tas yang tergantung di pundakku juga modelnya keren. Mirip tas designer, tapi tentu saja KW. 
Maklum masih muda, walaupun bokek, tapi ingin tampil keren.

Kedua kakakku sedang sibuk melihat buku di bagian lain.
Ada seorang pria disampingku yang kelakuannya agak aneh. Melirik ke aku terus.
Dia berkemeja putih yang lengannya digulung, berdasi, celana panjang hitam, dan sepatu kulit. Cara berpakaiannya seperti pekerja kantor. Tapi wajahnya tidak menunjang. Keliatan seperti kampungan dan tidak berpendidikan.
Aku agak risih, lalu aku berjalan ke tempat lain. Tapi sepertinya pria ini mengikuti aku. Beberapa kali aku pindah tempat, dia ikut pindah. Tadinya aku pikir cuma pria iseng.
Tapi akhirnya ketahuan tujuannya.
Dia berusaha mengambil dompet dari tasku, lalu berlari.
“Copet, Copet!” teriakku panik.

Didi yang mendengar teriakanku segera berlari mengejar copet itu.
Yah kecopetan lagi deh, baru juga beberapa minggu lalu aku kecopetan.
Memang resiko kalau penampilan keren, jadi mengundang copet.


Tak lama kemudian kakakku kembali ke toko buku.
“Nih dompet kamu!” kata Didi mengembalikan dompetku.
“Makasih ya!” kataku.
“Tapi isinya tinggal lima ribu, udah diambil dia sisanya!, Memang kamu tadi bawa uang berapa?” kata Didi.
“Emang cuma bawa lima ribu doang!” jawabku.

“Hah? cuma lima ribu doang?, Kenapa tadi nggak bilang? Capek capek gue kejar tuh copet, kan bahaya!,  Kalau tau cuma lima ribu mah biarin aja dicopet.” kata Didi.
“Tapi paling nggak KTP-nya nggak ilang, jadi nggak repot ngurus KTP lagi.
Kartu kartunya masih ada semua?” tanya  Dina.
“KTPnya nggak ditaruh di dompet.” kataku.
Aku memang punya kebiasaan  tidak pernah menaruh kartu identitas di dompet, tapi ditaruh di tempat terpisah di tas.
“Kartu ATM  juga nggak dibawa!” kataku.
Semua kartu tabungan, kartu ATM selalu kusimpan di rumah, tidak pernah kubawa pergi. Aku juga tidak memiliki Kartu Kredit saat itu.
“Isi dompetku cuma uang lima ribu doang, nggak ada kartu apapun” kataku.
“Tapi paling nggak dompet kamu kembali, nggak usah beli dompet lagi.” kata Dina.
“Emang dompetnya mahal?” tanya Didi.

Dompetku memang terlihat mahal, tapi sebetulnya murah banget, kubeli di Mangga dua juga.
“Dompetnya lima ribuan juga.” kataku.
Dina tertawa.
“Ah dasar, cape-capein aja gue kejar copetnya!” keluh Didi.
“Tapi berarti tuh copet jujur juga, dia ngakunya isinya cuma lima ribu.” kata Didi.

“Tapi kasihan dia digebukin teman-temannya, pada nggak percaya isi dompet kamu cuma lima ribu!” kata Didi.
Berita menarik ini, lalu aku minta Didi menceritakan kejadian selengkapnya.

“Dia larinya cepat banget, susah kukejar. Gue masih di lantai atas, dia sudah ada di lantai bawah. Ada banyak temannya di situ.” kata Didi.
“Gue jadi takut lihat gerombolan copet, jadi gue cuma nonton saja dari lantai atas.” kata Didi.


“Mana mungkin cuma segitu, pasti udah loe tilep sendiri, mana duitnya, cepat balikin!” kata teman si copet.
“Jangan serakah loe ambil sendiri, kita kan kerja kelompok!” kata copet lain.
“Mana kartu ATMnya, kartu Kreditnya?”
“Engga ada kartu apapun, cuma duit lima ribu doang!” kata si copet baju putih.
“Mana mungkin, cewek kayak begitu nggak punya kartu apapun, cuma bawa lima ribu?” temannya curiga.
“Mana ada orang ke Mall cuma bawa lima ribu, Nipu pake otak oi!” kata temannya yang lain.
Seorang temannya mulai menonjok si baju putih.
“Mana duitnya, balikin!” teriak si penonjok.
“Emang segitu doang!” jawab si baju putih.
Si penonjok menonjok kembali si baju putih berkali-kali.
“Ampun, ampun,… gua nggak bohong, emang cuma segitu!”
“Loe kira gua percaya sama copet?” temannya marah dan terus menghujani si baju putih dengan tonjokan.
Teman temannya yang lain terus sibuk mengeroyok si baju putih dengan marah.
Si baju putih dipukulin, ditendangin hingga berdarah-darah.

Rupanya dompetku terlempar jauh saat mereka berkelahi.
Kesempatan itu dimanfaatkan Didi untuk mengambil dompetku dan berlari kembali ke toko buku.

Mendengar cerita Didi, aku yang sempat kaget dicopet, agak terhibur sedikit.
Habis Lucu, walau kasihan juga copet itu dikeroyok temannya sendiri.
Tapi itu salahnya sendiri. Kenapa salah pilih target?
Penampilanku mungkin terlihat mahal. Tapi aku ini orang paling pelit, tidak suka belanja di Mall.
Ke Mall bisanya cuma untuk cuci mata dan jajan doang. Uang yang kubawa cuma pas-pasan untuk jajan dan ongkos bus. Saat itu lima ribu  cukup untuk jajan di food court.
Kasihan tuh copet, mau nipu malah tertipu.
Udah capek capek dia nyamar jadi orang kantoran, akhirnya nemu korban yang nyamar jadi orang kaya, pake barang KW semua.


Aku ingat beberapa minggu lalu aku juga kecopetan.
Saat itu kejadiannya di dalam bus. Saat aku pergi ke kantor.
Aku sih tidak melihat copetnya. Baru kusadari ketika sampai kantor.
Aku mau memakai lipstick, tapi dompet kosmetik-ku hilang.
Isi dompet kosmetik itu cuma 1 lipstick aja. Itupun lipstick murah yang hampir habis.
Teman teman wanita di kantorku tidak mungkin mencurinya, mereka dari keluarga berada. Dan siapa sih yang mau mencuri lipstick murah bekas yang hampir habis?
Jadi pasti copet di bis.
Anehnya dompet uangku masih ada di tas.
“Kok bibirnya pucat hari ini?” tanya teman sekantorku.
“Iya, dompet kosmetik gue dicopet, nggak bisa pake lipstick!” kataku.
“Ngapain nyopet dompet kosmetik?” tanya temanku.
“Mungkin dikiranya itu dompet duit.” kataku.
Kami terpingkal-pingkal.
“Dasar copet bego!, Makan tuh lipstik bekas!”

 


 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.