Ini Dia 6 Tips Komunikasi Efektif pada Anak : Tanpa Teriakan, Tanpa Bentakan

Sebagai orangtua, kadangkala kita pernah marah pada anak. Sebab kelelahan sehabis seharian bekerja, akibatnya melampiaskan emosi pada anak. Namun, efektifkah komunikasi lewat teriakan dan bentakan sebagai upaya mendisiplinkan anak? Atau malah cara demikian justru mem-bully anak kita sendiri?

Ini Dia 6 Tips Komunikasi Efektif pada Anak : Tanpa Teriakan, Tanpa Bentakan
Sumber foto : www.pexels.com

       Jujur saja, sebagai orangtua, saya masih minim pengetahuan tentang pola pengasuhan anak. Usia anak saya baru 5 tahun. Dengan usia seumur jagung itu pulalah saya baru menjadi seorang ibu.

       Meski demikian, saya selalu berusaha menahan emosi manakala sikap anak tidak sesuai harapan saya. Masih berusaha menjalin komunikasi yang efektif agar pesan saya diterima baik oleh anak saya.

       Saya masih berusaha tidak membentak. Masih berusaha tidak berteriak - teriak pada wajah mungil tak berdosa itu. Masih berusaha mempraktekkan wejangan dan rentetan ilmu pola pengasuhan anak yang mayoritas didapat dari orangtua, saudara, dan teman-teman yang sudah berpengalaman. Pun, ilmu dari para pakar parenting yang didapat dari internet.
          Semua masalah orangtua dengan anak bisa diselesaikan dengan komunikasi. Pertanyaannya, komunikasi yang bagaimana dan seperti apa? Tentunya bukan dengan ancaman dan kekerasan. Melainkan dengan komunikasi yang baik, tanpa teriakan dan tanpa bentakan.

         Sebabnya, membentak akan berpengaruh negatif terhadap tumbuh kembang anak dan psikologis anak jangka panjang. Diantaranya :

1. Membentak akan membuat anak tidak mau mendengarkan orangtua. Saat membentak, orangtua sebenarnya sedang mengaktifkan salah satu bagian pada otak anak yang berfungsi untuk pertahanan dan perlawanan. Ketika anak mendengar bentakan, ia akan ketakutan, melawan orangtua, atau justru kabur. Ini bisa mengganggu perkembangan anak. Daripada memarahinya dengan nada bicara yang keras, yuk, ajak anak berdiskusi, saat ia melakukan kesalahan.
2. Membentak akan menjadikan anak merasa tidak berharga. Kita mungkin pernah merasa jika membentak anak akan membuatnya lebih menghormati kita. Padahal, sebaliknya, anak yang terlalu sering dibentak, justru merasa dirinya tidak berharga. Anak juga manusia. Tentunya anak juga merasa ingin disayangi dan dihargai, apalagi dengan orang terdekatnya, termasuk orangtuanya.
3. Membentak salah satu bentuk penindasan terhadap anak. Sudah tahukah Ayah dan Bunda, bila membentak anak adalah salah satu bentuk penindasan atau bullying? Ya, bullying tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah saja, tapi bisa terjadi di rumah. Dampaknya juga mirip dengan dampak bullying. 
4. Membentak bisa merenggangkan hubungan orangtua dengan anak. Saat anak terlalu sering dibentak, dampaknya, anak bisa merasa sedih, malu, dan tidak disayang lagi. Sehingga, tak heran bila anak tidak mau terlalu dekat lagi dengan kita, orangtuanya. Apalagi, bila kita tidak mau mendengar alasan anak terlebih dahulu. Anak juga bisa merasa tidak dimengerti bahkan oleh orang terdekatnya sendiri, dalam hal ini, kita sebagai orangtuanya.
5. Membuat anak tidak mau menghormati orangtua. Membentak anak adalah bentuk dari kita, orangtua yang tidak menghargai anak sendiri. Sehingga, anak pun menjadi tidak bisa menunjukkan rasa hormatnya kepada orangtua.
6. Menciptakan perilaku yang sama pada anak di masa depan. Mengutip Child Development Journal, anak yang terlalu sering dibentak akan tumbuh menjadi orang yang lebih agresif secara fisik maupun verbal. Sebabnya, sedari kecil, anak telah terbiasa melihat perilaku kasar baik secara fisik maupun verbal dari orangtua sebagai bentuk penyelesaian masalah. Jika bentakan diikuti dengan kata-kata yang menyakitkan atau menghina, anak akan kehilangan kepercayaan diri dan hidup dalam kegelisahan. Sehingga, ketika anak telah dewasa, dan menghadapi masalah, solusi yang terpikirkan adalah perilaku kasar dan tidak akan ragu membentak orang lain. Selain itu, saat dewasa nanti, akan lebih berisiko mengalami gangguan perilaku dan depresi akibat trauma masa kecilnya.


Oleh karenanya, simak yuk, 6 tips komunikasi efektif pada anak. Mayoritas sudah saya praktekkan dan memang benar efektif adanya.
1. Gunakan suara yang datar dan bahasa yang mudah dimengerti anak.
Meskipun kita dalam kondisi kesal dan marah karena keteledoran sang anak, sebisa mungkin, berkomunikasilah dengan suara yang lemah lembut tanpa berteriak dan disertai bentakan. Ingatlah, anak masih belum mengerti apapun di dunia ini. Anak adalah makhluk baru yang serba ingin tahu. Cobalah mengarahkannya dengan bahasa yang mudah dimengerti. Tenangkan dahulu diri kita bila sedang merasa kesal dan marah, agar anak-anak tak menjadi sasaran kemarahan.
2. Saat mulai berbicara dengan si kecil, kita dapat menggunakan analogi cara berpikir anak. Kita juga dapat memberikan pemahaman kepada anak mengenai perilaku yang boleh dan tidak boleh secara nyata dengan memberikan penjelasan logis. Misalnya, ketika mengajak anak untuk mandi berikan alasannya, karena dengan mandi badan menjadi sehat dan segar. Kita juga bisa memberikan contoh nyata, sebab anak akan melakukan apa yang sering dilihatnya. Menanamkan nilai-nilai baik pada anak juga bisa melalui buku cerita, dongeng, atau menonton film singkat mengenai kebiasaan baik yang bisa menjadi contoh dan diterima oleh anak.
3. Sebelum berbicara, dapatkan perhatian anak. Berkomunikasi dengan posisi tubuh sejajar dengan anak dan lakukan kontak mata. Gunakan bahasa (kata-kata) yang positif, tidak negatif. Kemudian, mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian, dan meresponnya dengan bahasa tubuh. Misalnya, dengan gumamam empati (“Oh,” “Ya,” “Hmm,” “Lalu”)
Gunakan ucapan yang membahagiakan (positif), seperti :
“Ibu dan Ayah menyayangimu, Nak.” 
“Ibu dan Ayah kangen sama kamu, Nak.”
“Bagaimana harimu, coba ceritakan kepada Ibu?”
“Terima kasih, ya, Nak, sudah membantu Ibu.”
“Maafkan Ibu, ya, karena lupa menemanimu main tadi.”
“Kalau kamu butuh apapun, bilang saja pada ibu.”
4. Hentikan semua aktivitas apapun (termasuk tinggalkan ponsel) saat kita berbicara dengan anak. Pegang kedua tangannya lalu minta anak berdiri menghadap kita atau duduk di hadapan kita saat ingin berbicara dengan anak. Pastikan anak terpusat perhatiannya pada kita yang hendak berbicara. Setelah anak terpusat perhatiannya, mulailah ajak bicara dengan lembut. Contoh: “Sayang, Ibu mau berbicara sebentar. Dengarkan baik-baik ya…” (sambil tetap memegang tangannya).
5. Anak di atas 5 tahun harus sudah dikenalkan dengan konsekuensi. Yuk, mulai dengan hal-hal yang sepele dan ringan agar anak merasa tidak berat dalam menjalaninya. Misalnya, saat anak bermain. Berikan aturan yang jelas untuk membereskan mainannya jika mereka telah selesai menggunakannya. Jika mereka tidak melakukannya, berikan konsekuensi untuk dikurangi jatah jam menonton televisi dan lain sebagainya.
Contohnya, “Jika kamu tetap tidak mau membereskan mainanmu sendiri, mulai hari ini dan seterusnya kamu hanya boleh menonton TV selama 2 jam dalam sehari.” Kemudian, beritahu sanksi yang akan anak jalani jika melanggar kesepakatan tersebut.
6. Saat semua yang sudah dilakukan terasa tidak mempan untuk memberitahu anak, gunakan cara “bisikan”. Misalnya, membisikkan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. “Kakak sayang, masih mau nonton TV kan? Mama ingatkan Kakak ya, kalau besok Kakak masih mau nonton TV, mainannya dibereskan dulu ya." Jika sang anak tetap tidak mengindahkan usaha kita sebagai orangtua dan melakukan pelanggaran secara kontinyu maka sudah tidak perlu banyak bicara lagi, lakukanlah tindakan yang riil. Contohnya, dengan mengamankan TV agar mereka tidak bisa lagi menonton TV saat itu. Hal ini perlu dilakukan untuk menunjukkan sikap tegas dan konsistensi kita sebagai orangtua dalam mendidiknya.

Berikut ini contoh kalimat - kalimat positif yang bisa disampaikan orangtua pada anak : 

Saya pun teringat kembali dengan pesan Ibu Elly Risman, Senior Psikolog dari Univ. Indonesia dan Konsultan Parenting Nasional. Diantaranya :
"Ketika kita tidak mau bersusah payah mendidik dan mengasuh anak sejak kecil, kelak mereka akan menyusahkan saat kita tua nanti."


"Kalau Anda dititipi anak Presiden, beranikah Anda membentaknya sedikit saja? Enggak berani, kan? Nah, sekarang yang nitipi, jauh lebih berkuasa dari Presiden, yaitu Tuhan. Beranikah Anda memarahinya, bahkan memukulnya? Jika Anda pernah melakukannya, kira-kira apa jawaban Anda ketika ditanya pemiliknya? "


Pun, pesan dari think.parenting : 
"Tak perlu menjadi orangtua yang ditakuti anak, karena anak akan patuh padamu dengan keterpaksaan. Jadilah orangtua yang "dekat dengan anak", maka anak akan mengikutimu dengan senang hati."

Komunikasi yang terjalin lewat ancaman dan kekerasan, malah bisa memicu konflik. Namun, komunikasi yang baik, tanpa teriakan dan tanpa bentakan, justru bisa menjadi suplemen menambah harmonisnya hubungan orangtua dan anak. Nah, bagaimana menurut Ayah dan Bunda? Yuk, mari kita sama - sama berusaha menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Tentunya, tanpa teriakan dan tanpa bentakan, ya :)


Referensi :
1. https://m.bisnis.com/kabar24/read/20180826/79/831549/pola-asuh-cara-mendisiplinkan-anak-tanpa-teriakan-dan-kekerasan Diakses pada tanggal 6 Januari, pukul 05.11 WIB
2. https://www.ayahbunda.co.id/balita-psikologi/membangun-komunikasi-efektif-dengan-anak #:~:text=Berkomunikasi%20dengan%20posisi%20tubuh%20sejajar,penuh%20perhatian%20ketika%20anak%20berbicara
Diakses pada tanggal 6 Januari 2021, pukul 05.29 WIB
3. www.buahatiku.com/cara-efektif-mendidik-anak-tanpa-berteriak-membentak/ Diakses pada tanggal 6 Januari 2021, pukul 05.25 WIB
4.https://hellosehat.com/parenting/anak-6-sampai-9-tahun/akibat-anak-sering-dibentak-orangtua/ Diakses pada tanggal 6 Januari 2021, pukul 05.19 WIB

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.